©Jika sebuah rasa itu terlihat. Maka kita tidak membutuhkan indera lain selain penglihatan. Dan menghilangkan indera perasa.©
---
Dinan membuka pintu mobilnya kemudian dia turun. Dia hanya ingin memastikan bahwa Nirmala benar-benar sampai pada tujuan.
Hari ini Nirmala memaksa ingin mengendarai sepeda motor sendiri, jadi dia tidak mengantarkan ke sekolah saat sepupunya itu memiliki jadwal piket di hari libur. Dinan sebenarnya tidak seprotektif itu dengan Nirmala dulu, namun sejak perempuan itu kecelakaan beberapa bulan yang lalu Dinan semakin memperketat pengawasan. Dia tak ingin kembali kecolongan.
Dinan melihat Amira yang sedang berjalan menunduk, dia sempat heran karena wajah perempuan itu nampak sayu dan lelah. Dan yang membuat dia semakin heran Amira datang dari arah yang tidak biasa dia lakukan dan ingatannya membawanya kepada hari di mana dia mengembalikan baju Amira yang dia bawa, saat dia berkunjung ke rumah kontrakan Amira sudah tidak pulang sekitar empat hari, itu tandanya dia tidak pulang ke kontrakan setelah dijemput sang kakak.
"Kemana perempuan itu pulang?" Dinan bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian dia kembali masuk ke dalam mobil dan menjalankan.
Dinan mengendarai mobilnya menuju sebuah kawasan perumahan yang dekat dengan sekolah, dia akan menemui teman lama yang pindah rumah. Dia dengan pelan memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Dia keluar tak lupa menekan tombol kunci mobilnya.
Dinan menatap rumah minimalis yang nampak sepi. Dinan sedikit heran karena biasanya kalau pindah rumah akan ramai namun keadaan rumah itu berbeda. Dinan membuka gerbang yang tingginya hanya sebatas pinggangnya. Dinan masuk kemudian dia melihat pintu rumah terbuka dia sedikit heran.
"Assalamualaikum, Dinan!" Dinan menoleh ke arah samping rumah, di sana berdiri seorang lelaki dengan pakaian sederhana. Kaos putih dan celana panjang hingga atas mata kaki.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Dinan sambil menjabat tangan.
"Sorry, rumah masih rusuh. Mari silahkan!" Dinan duduk di kursi yang ada di teras.
"Maaf, istri sedang beres-beres di dalam." Dinan mengangguk.
"Bagaimana kabarmu? Lama gak ketemu."
"Baik. Kamu gimana?" jawab Dinan balik bertanya.
"Alhamdulillah, baik." Farid menatap wajah Dinan sejenak kemudian dia mengangguk.
"Ada lowongan kerja di tempat kamu?" Dinan menatap sejenak.
"Kamu bukannya ada usaha keluarga?" Dinan berkata dengan tenang.
"Mau memajukan pendidikan Indonesia." Faris berkata dengan nada bercanda, Faris sosok yang humoris berbeda dengan Dinan yang cenderung pendiam.
"Mau menunggu setengah tahun lagi, sambil menghabiskan masa ajaran baru ini?" Dinan menatap serius.
"Bisa sih, toh saya masih terhitung pengantin baru jadi bisa nikmati masa pacaran." Dinan mengangguk.
"Baiklah nanti sebelum tahun ajaran baru. InsyaAllah." Faris menatap wajah Dinan dengan tenang.
"Apa yang membuat hatimu gelisah." Dinan menatap Faris dengan tersenyum masam, dia sudah sangat dekat dengan Faris bahkan dulu saat kuliah dia bisa dibilang kembar dampit Faris, karena seringnya kebersamaan.
"Biasa, tetap masih sama." Faris menatap wajah Dinan dengan senyum penuh simpati.
"Halalkan atau tinggalkan."
"Tapi masa lalu masih sangat sulit. Apa lagi psikis yang baru saja menghadapi kegagalan." Faris menatap cepat ke arah Dinan, sedang Dinan berdecak kecil saat melihat wajah Faris.
"Yakinkan dengan mendatangi keluarga, tunjukan keseriusanmu." Dinan tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Kamu benar, bahkan aku masih mendekati gadis itu. Dia gadis yang sulit untuk dimengerti." Dinan membuang muka saat menatap Faris yang sedang tersenyum miring.
"Aku dengan senang hati kamu gunakan."
---
Dinan masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu, rumah nampak sepi karena tadi dia diberitahu bahwa sang ibu dan keluarga adiknya sedang pergi. Dinan melangkah masuk kemudian menutup pintu kembali. Dia melepas sepatu kemudian berganti dengan sendal.
"Apa bunda akan menyukai Amira?" tanya Dinan sambil menyeduh teh di dapur. Dia menghela napas panjang.
Selama ini Dinan terlalu sibuk dengan dunianya sendiri hingga melupakan fakta bahwa dia membutuhkan pendamping. Usianya sudah hampir menginjak angka tiga puluh, namun dia masih tetap tak memiliki ketertarikan pada sosok bernama wanita. Baginya cukup dengan adanya bunda, adik dan juga Nirmala. Karena menurutnya tiga wanita itu sudah membuat dia ketar-ketir karena sifat protektifnya.
Semuanya berubah, saat dia melihat seorang perempuan yang begitu tangguh, padahal gadis itu sangat rapuh di matanya. Ingatannya pada sore itu saat dia sedang duduk di sebuah kursi di kafe, dia melihat ada sesosok perempuan yang duduk sendiri, hal yang sangat langka karena kebanyakan wanita pasti membutuhkan sahabat namun gadis itu sendiri. Dia merasa ada magnet sendiri sehingga membuat matanya setia mengikuti gerakan sekecil apapun yang dilakukan oleh wanita itu.
Awalnya Dinan tidak menyadari bahwa wanita itu adalah salah satu rekan kerjanya yang sempat ditawari tumpangan oleh Nirmala di pagi itu, dia pikir dia orang lain karena pagi itu dia melihat gadis dengan penuh semangat berbeda dengan gadis yang saat ini sedang dilihatnya. Wanita itu nampak rapuh dan butuh penyanggah.
Lama-kelamaan Dinan tak acuh dengan semua hal tentang gadis itu, sehingga kejadian yang tak dia duga dia lakukan. Tepat pada acara gelar karya, dia sosok yang terkenal tak pernah berbaur dengan keramaian tiba-tiba turun dan meninggalkan rapat hanya untuk mengikuti acara gelar karya. Hal ini membuat Dinan resah sendiri sehingga dia kadang melakukan perbuatan yang ada di luar nalarnya.
Seolah semua telah direncanakan, dia kembali di tempat-tempat yang tak terduga dengan gadis itu, seorang guru yang nampak pendiam namun ramah dan penuh kasih sayang. Dinan mulai terpesona hingga dia melakukan hal yang membuat dirinya dengan sadar menggenggam tangan gadis itu dan memasang badan untuk melindungi. Semua itu sudah cukup bagi Dinan menyadari bahwa dia memiliki ketertarikan nyata.
Dinan menghela napas, dia bingung untuk mengambil langkah. Karena dia sadar bahwa saat dia menikah bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk sang bunda. Dinan besar dari keluarga broken home, namun semua itu tidak membuat Dinan tumbuh menjadi individu yang tidak baik bahkan justru sebaliknya. Dinan sejak kecil selalu mengutamakan perasaan sang ibu dari pada perasaan dirinya sendiri. Jadi, jika dia ingin melangkah ke jenjang serius dengan Amira dia harus mendapatkan persetujuan dari sang ibu.
Amira, satu nama yang beberapa Minggu ini masuk ke dalam daftar prioritas, dia ingin gadis bernama Amira itu tumbuh menjadi wanita yang kuat sekuat sang ibu. Karena, dia yakin bahwa masalah yang tak dia ketahui tentang diri Amira bukan masalah sederhana namun masalah yang menguras perasaan dan tenaganya. Dia ingin Amira tangguh dan kuat menghadapi kejamnya dunia.
Dinan menyeruput teh yang ada di cangkir dengan pelan, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia berpikir bahwa sang ibu akan menyukai Amira karena Amira adalah sosok menantu idamannya sebab Amira pandai memasak dan bisa menjadi guru masak yang baik bagi sang ibu. Dinan tersenyum tipis saat ingat kejadian beberapa hari yang lalu sebelum dia pergi study tour. Sang ibu menanyakan kesediaan Amira untuk mengajarinya memasak, dia berharap Amira mampu mencuri hati sang ibu sehingga membuat langkahnya semakin mudah. Tapi Dinan melupakan satu hal, keluarga Amira.
Dinan mendesah lelah saat menatap ponselnya, ada satu pesan dari yang tidak dia harapkan masuk, dia menunduk kemudian dia mengambil kunci dan dompet yang ada di nakas. Dia segera berdiri kemudian berjalan meninggalkan kamarnya. Dia harus menjelaskan banyak hal kepada Nirmala tentang semuanya supaya tak ada kesalahpahaman.
---
Share this novel