--Allah memberi cobaan pasti ada hadiah dibalik kesabaran menghadapinya. Dan Allah tak akan menguji hamba melampaui batas kemampuan.--
Amira terduduk di depan teras masjid yang ada di sebuah perumahan. Tadi dia datang ke salah satu rumah karena diminta mengajari anak perempuan seorang ibu yang akan menikah, memasak. Kemudian saat pulang dia mencari masjid karena sudah memasuki waktu sholat asar.
Amira berdiri kemudian mengambil tas yang ada di tangga dan membawanya melangkah keluar dari gerbang. Amira merasa gelisah saat dia lupa jalan yang harus dia ambil. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi masjid nampak sepi karena sholat berjamaah sudah bubar sejak beberapa saat yang lalu.
"Tadi aku lewat mana ya?" Amira melangkah mendekati yang sebelah kanan masjid.
"Tadi aku dari kanan atau kiri masjid?" Amira menggaruk kepalanya bingung. Amira memang memiliki kesulitan mengingat jalan, jadi dia sering kali tersesat di saat pergi seorang diri ke tempat yang asing atau tempat yang belum pernah dia jamah sama sekali.
"Nanti aku jalan ke sana kalau buntu gimana?" Amira menghentakkan kakinya, dia menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada orang yang bisa dia tanya.
"Bu Amira." Amira merasa ada yang memanggil namanya, dia langsung membalikan badan dan di sana dia melihat Dinan dengan versi berbeda. Jika biasanya Dinan mengenakan pakaian formal, saat ini Dinan mengenakan sarung dan baju Koko berwarna coklat tua.
"Pak Dinan,"seru Amira kelewatan bahagia, dia bahagia bukan karena bertemu dengan Dinan namun karena dia memiliki titik terang untuk bertanya jalan pulang.
"Iya, apa yang Bu Amira lakukan di sini?" Amira menatap wajah Dinan sejenak kemudian dia menghela napas, sejak kejadian makan siang bersama waktu gelar karya bulan lalu dia memang tidak bersinggungan lagi dengan Dinan. Hal ini membuat Amira merasa diserang canggung tiba-tiba.
"Saya tersesat," jawab Amira sambil meringis. Dia merasa tak nyaman dengan tatapan Dinan yang menurutnya menggelikan.
"Tersesat ya?" Dinan bertanya dengan nada ringan.
"Iya, saya memiliki kebiasaan lupa jalan." Dinan menatap wajah perempuan berjilbab di depannya dengan heran.
"Jadi sering tersesat?" tanya Dinan, Amira mendongak kemudian tersenyum tipis.
"Gak sering juga, hanya jika saya berada di wilayah asing." Amira menunduk kemudian memainkan dua tangannya.
"Ikuti saya," kata Dinan membuat Amira mendongak namun yang dia lihat hanya punggung lebar Dinan yang berjalan di depannya.
"Ayo!" Dinan membalikan badannya, Amira mengangguk kemudian berjalan sambil setengah berlari untuk menyusul langkah Dinan.
"Bapak tinggal di sini?" Amira mengutuk bibirnya yang seenaknya saja bergerak tanpa dia duga.
"Iya, rumah ibu saya." Amira mengangguk kemudian berjalan sambil menunduk. Dia mendongak saat dia sudah berada di depan gerbang.
"Ini rumah siapa?" tanya Amira bingung.
"Rumah ibu saya. Mari masuk!" Amira menoleh ke kanan kemudian ke kiri dia bingung harus melangkah masuk atau berbalik mencari jalan untuk pulang.
"Tunggu apa lagi?" Amira menatap Dinan tak yakin.
"Masuklah, nanti saya antar kamu pulang," kata Dinan.
"Kenapa nanti?" tanya Amira dengan nada tak sabar, dia menutup mulutnya yang sekali lagi bergerak tanpa diduga.
"Karena kendaraan ada di rumah. Saya harus ambil kunci, dompet dan izin kepada ibu saya," kata Dinan. Amira mendongak kemudian melangkah masuk ke dalam perkara rumah.
"Di rumah benar ada ibu pak Dinan kan?" tanya Amira sambil menatap ke sekeliling, dia tidak pernah menyambangi rumah lelaki, jadi wajar jika dia curiga apa lagi pengalaman memberi kesan yang pahit pada perjalanan cintanya.
"Iya, kamu tidak percaya. Ayo kita buktikan!" Dinan menarik tangan Amira, membuat Amira panas dingin dan napasnya tidak teratur.
"Assalamualaikum," salam Dinan membuka pintu dan masih menggandeng tangan Amira masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab seorang paruh baya yang muncul dari pintu dalam.
"Sudah pulang, Nak?" Ibu Dinan menatap tangan sang putra membuat Amira sadar dan segera melepas tangannya dari tangan Dinan.
"Sudah Bun, ini Amira Bun." Mata ibu Dinan menatap penuh minat dan mengeluarkan binar bahagia.
"Ini yang guru boga itu ya?" tanya ibu Dinan membuat Amira menatap wajah cantik dan keibuan itu dengan terkejut. Ah, ibu Dinan lebih cocok menjadi ibu Nirmala karena wajah keduanya sangat mirip.
"Kamu duduk dulu, saya ganti baju dan nanti saya antar." Amira mengangguk kemudian menoleh ke arah ibu Dinan.
"Ayo duduk, kita berbincang sambil menunggu Dinan." Amira mengangguk canggung kemudian duduk di kursi panjang. Dia berbincang dengan ibu Dinan banyak hal tentang dapur. Mulai dari beberapa resep hingga tips-tips saat di dapur.
----
"Terima kasih sudah diantar sampai rumah dengan selamat." Amira berkata sambil melepas sabuk pengaman.
"Sama-sama," jawab Dinan sambil mengamati lingkungan sekitar.
"Maaf saya tidak bisa menawarkan untuk mampir," kata Amira tidak enak hati. Dinan menoleh kemudian mengangguk.
"Sekali lagi terima kasih. Lain waktu," kata Amira tidak dilanjutkan. Dinan menatap heran.
"Oh tidak jadi, saya permisi!" Amira segera membuka pintu dan turun dari mobil, dia menutup pintu kemudian berdiri di pinggir memberi akses mobil Dinan untuk berjalan. Mobil Dinan berjalan setelah membunyikan klakson dua kali dan disambut anggukan oleh Amira.
Amira menghela napas, dia mulai berpikir ada apa dengan dirinya? Entah disadari atau tidak dia merasa ada yang terasa tak nyaman di pikiran dan hatinya. Amira berusaha menepis segala hal yang menjadi prediksi pemikirannya, dia tidak akan mempercayai itu semua.
Amira membalikkan badannya kemudian dia menghadap rumah kontrakan yang sebagai tempat singgahnya selama beberapa tahun berjalan. Dia merasa sayang jika harus meninggalkan tempat bersejarah itu, namun dia juga sudah tidak sanggup jika harus tinggal di sini yang jauh dari lokasi tempat dia mengajar. Bukan hanya sekedar fisik yang tidak sanggup, namun juga secara finansial. Transportasi Amira hampir memakan separuh gaji Amira. Mungkin ide dari Nirmala untuk menawarkan kepada salah satu mahasiswi yang membutuhkan adalah ide yang harus dia pertimbangkan untuk saat ini.
"Ciye, gebetan baru Mbak?" sapa Lana salah satu penghuni kontrakan.
"Bukan, rekan kerja." Amira melepas sepatu sambil duduk.
"Rekan kerja? Kok lama banget di dalam." Lana berkata pelan dengan nada menggoda.
"Oh, ada pembicaraan saja," kata Amira sekenanya, hanya itu yang ada dipikirannya.
"Gebetan juga gak papa kok Mbak yang terpenting sama-sama single." Amira mendongak kemudian menggelengkan kepalanya.
"Oh ya Lan, kalau ada teman kamu cari kontrakan. Mbak mau diganti separuh saja biayanya." Lana menatap Amira sedikit terkejut.
"Mbak mau pindah?" Amira mengangguk pasti.
"Iya kayaknya Lan. Gak sanggup kalau transportasi jauh," kata Amira, Lana mengangguk mengerti, dia tahu jika tempat kerja Amira sangat jauh dari tempat tinggalnya, tapi membiarkan Amira pindah dirinya sedikit tidak rela.
"Kemarin ada sih yang tanya, nanti coba Lana tanyakan." Amira mengaguk.
"Terima kasih ya," kata Amira kemudian pamit masuk ke dalam kamarnya.
Kontrakan Amira memang berbentuk seperti rumah pada umumnya, ada empat kamar, dapur, kamar mandi, ruang tamu dan garasi. Satu rumah ditempati empat orang, Lana adalah salah satu penghuni kontrakan Amira ada Dini dan Shafita juga namun sepertinya keduanya sudah sibuk mendekam di dalam kamar atau sibuk dengan urusan kuliahnya.
Amira menutup kembali pintu kamarnya, dia menaruh tas di atas meja kemudian dia berbaring. Dia menerawang mengingat kejadian makan bersama dengan Dinan yang berjalan lancar saat acara gelar karya.
"Bu Mira," panggil salah satu siswa boga yang tidak diketahui namanya oleh Mira, maklum Amira manusia biasa yang kadang lupa nama siswanya sendiri.
"Iya," jawab Mira sambil meletakan tumpukan pesanan makan siang guru-guru.
"Dicari pak Dinan," kata siswa yang ada di depan Amira sambil menatap wajah sang guru curiga.
"Oh, iya. Tolong ini di antar ke kantor ya," kata Amira menunjuk kotak makan.
"Terima kasih, pak Dinan di mana?" Muridnya menunjuk ke arah meja yang memang di sediakan untuk makan di tempat yang ada di luar tandu stan. Amira mengangguk kemudian berjalan mendekati Dinan yang nampak asik dengan buku yang dia baca.
"Maaf Pak?" Dinan mendongak kemudian dia menatap Amira.
"Sudah habis ya cakenya?" Dinan berkata secara terus terang.
"Oh, tadi saya sudah menyendirikan milik Bapak." Amira berkata dengan canggung.
"Duduklah," kata Dinan. Amira menggeleng kemudian dia berbalik untuk mengambil cake dan sari buah pesanannya.
Amira membawa nampan berisi dua gelas dan dua potong cake. Dia menaruh di meja kemudian menyajikan di depan Dinan.
"Apa ini? Brownies?" Amira duduk kemudian meminum sari buahnya sejenak sebelum menjawab.
"Iya, ini brownies chocolate original." Amira menggerakkan garbu untuk menikmati kue kesukaannya.
"Maaf kalau tidak sesuai dengan selera, Bapak." Dinan makan dengan lahap.
"Saya bukan orang yang suka pilih-pilih makanan." Amira mengangguk kemudian kembali makan dalam diam.
"Sejak kapan suka memasak?" Amira mendongak kemudian berdehem untuk membersihkan tenggorokan.
"Sebenarnya saya tidak suka memasak." Amira bisa melihat Dinan dengan santai mengangguk.
"Jadi mengambil kuliah jurusan yang kamu geluti karena terpaksa?" Amira menggeleng.
"Saya suka makan, jadi dari situ saya seolah memiliki sebuah tekat kalau saya harus bisa membuat makan yang enak." Amira kembali menyuap brownies ke dalam mulutnya.
"Mengapa rasa pahit yang dominan? Tapi ada sisa juga manisnya."
"Itu karena dalam pembuat brownies ini gula dan bubuk cokelat original hampir setara. Jadi rasa pahit dominan di setiap kecap potongan kue." Dinan mengangguk.
"Biasanya, bunda beli semuanya manis." Amira menatap kemudian tersenyum tipis.
"Bunda sangat suka memasak namun dia tidak pernah mendapatkan takaran resep yang pas." Amira menoleh sejenak kemudian dalam hati dia berpikir, memasak itu adalah perkara mudah selama kita mau terus berusaha. Tapi manusia memang memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Dan keduanya kembali terdiam hingga acara makan bersama selesai.
-----
Share this novel