22

Drama Completed 1265

~~> Mundur belum tentu kalah. Bisa jadi mundur adalah kekuatan untuk menggempur tembok pertahanan dengan tenaga yang lebih besar.

---
Amira duduk dengan tenang, sudah lama sekali rasanya dia tidak mengikuti acara semacam ini. Dia sering absen tiap kali ada rapat dinas, bukan untuk menghindari namun karena memang ada tugas lain yang mencegah dia datang. Seolah, alam tengah merencanakan.

"Mira, nanti makan bareng ya abis ini." Nirmala menoleh ke belakang.

"Iya," jawab Amira pelan. Dia sadar, merenggangkannya hubungan dia dan Dinan membuat merenggut pula hubungan Amira dengan Nirmala.

Amira tahu, jika pada diri Nirmala ada sesuatu yang tak biasa. Nirmala yang ceria dan banyak bicara seolah bertransformasi menjadi Nirmala yang ceria namun tak banyak bicara. Amira belum sempat berbincang banyak dengan Nirmala, karena kini Nirmala seolah memiliki kesibukan yang berlebihan.

Amira kembali diam, dia masih mengamati guru-guru yang nampak serius memandang ke depan. Hingga matanya tertuju pada punggung lebar dan tegak seorang, Ardinan Nawwaf. Dia menghela napas, jika ditanya soal hati dia akan berkata dengan tegas bahwa dia telah jatuh hati pada sosok yang menawarkan perlindungan untuknya. Namun, jika ditanya kesiapan. Dia juga akan menjawab dengan tegas bahwa dia tidak siap melangkah bersama Dinan.

Rapat usai setelah menarik kesimpulan bahwa akan ada pembentukan panitia ujian tengah semester. Amira tidak memikirkan banyak hal karena dia beranggapan bahwa dia tidak akan berkecimpung di dalamnya sebab itu bukan dunianya, dia lebih suka menjadi guru yang biasa.

Amira merapikan meja, kemudian dia mendongak saat melihat siku yang berada di mejanya.

"Ada apa?" tanya Amira menatap wajah lesu Nirmala.

"Lapar. Tadi belum sempat sarapan." Amira mengangguk kemudian dia memasukkan buku ke dalam tas tangan yang dia taruh kolong meja.

"Mau makan sekarang?" Amira menawarkan kepada Nirmala.

"Pingin. Tapi makan di warung sebelah jalan ya," kata Nirmala meminta dengan wajah melas.

"Kenapa tidak di kantin?" Amira menatap curiga Nirmala.

"Bosen dengan menunya." Amira mengaguk tanda setuju, dia tidak ingin membuat persepsi yang akan membuat banyak kata terbuang sia-sia.

Nirmala dan Amira berjalan menuju gerbang depan, keduanya masih saling diam tidak ada yang membuka suara.

"Mau kemana?" tanya Dinan yang berjalan di belakang keduanya.

"Mau cari makan." Amira melihat Dinan mengangguk kemudian berjalan cepat menuju mobilnya.

"Dinan si sederhana." Nirmala mengatakan itu dengan suara lirih, namun tidak membuat Amira tak mendengar.

"Kenapa Mbak?" tanya Nirmala.

"Lelaki itu pemikirannya sederhana sekali. Udah dua bulan bunda ada di luar kota tapi tak sedikit Dinan berubah. Dinan tetap Dinan dan dunianya." Nirmala berkata dengan mata lesu, dia sebenarnya sedikit prihatin dengan kisah Dinan. Dia tahu segalanya namun di depan Amira dia seolah, tuli, buta dan bisu tentang hubungan keduanya.

"Memangnya ibu pak Dinan kerja apa?" Amira menatap ragu.

"Enggak kerja, tapi bunda memang sudah ada rencana untuk tinggal di sana. Dulu rumah bunda asli kan di sana. Kalau rumah yang ditempati itu kan rumah Dinan." Amira kembali mengangguk.

Keduanya diam saat memasuki rumah makan sederhana yang ada di dekat sekolah. Kemudian keduanya duduk saling berhadapan dan disibukkan dengan berbagai menu pilihan.

"Kamu mau makan apa?" tanya Nirmala tanpa mengalihkan matanya dari selembar kertas daftar menu.

"Paket ayam kremes dan teh manis hangat." Nirmala mengangguk kemudian memberi tanda centang pada kertas yang sudah disediakan.

Setelah kertas pesanan diambil oleh pramusaji Nirmala mengeluarkan ponselnya.

"Bagaimana kalau kita mau tanya jawab?" Amira menatap Nirmala heran. "Begini kita saling tanya jawab begitu. Sebenarnya aku penasaran dengan hal yang terjadi antara kamu dan Dinan."

Amira terkekeh, dia pikir Nirmala sudah tahu semuanya dari Dinan. Karena keduanya adalah saudara namun jika mengingat Dinan yang nampak tak banyak bicara bisa jadi Nirmala tidak tahu apapun.

"Bagaimana?"

"Apa untungnya buat saya?" Amira bertanya dengan nada tak minat.

"Kamu boleh tanya apa saja dan tentang siapa saja kepadaku. Aku janji akan jawab dengan jujur." Amira nampak menimang sebelum dia menjawab.

"Baiklah," kata Amira membuat Nirmala terpekik senang.

"Aku duluan," kata Nirmala antusias. Amira hanya mengangguk tanda setuju.

"Ada hubungan apa antara kamu dan Dinan?" Amira menggelangkan kepalanya.

"Jawabannya?"

"Tidak ada hubungan. Hanya rekan kerja." Amira mengangguk Rama kepada Pramuka saji yang mengantarkan minum.

"Kamu yakin?"

"Et, hanya satu pertanyaan." Amira menatap Nirmala penuh kemenangan.

"Tapi itu belum jelas." Nirmala masih mencoba menego. Namun Amira teguh pada pendirian dia menggelengkan kepalanya tanda tak setuju.

"Baiklah," kata Nirmala akhirnya pasrah.

"Ceritakan hal yang membuat mbak murung?"

"Ditinggal kawin gebetan." Amira tersedak mendengarnya.

"Maksudnya?"

"Satu pertanyaan." Nirmala membalikan kata Amira dengan tersenyum tipis.

"Baiklah, giliran mbak."

"Apa Dinan pernah melamar kamu?" Amira menatap wajah Nirmala kemudian mengangguk.

"Demi apa? Tapi kenapa kalian tidak memiliki hubungan?"

"Ya, karena kami memang tidak berkomitmen." Amira menyingkirkan gelas yang ada di depannya. Sebenarnya dia tidak nyaman mengingat semua ini tapi harus bagaimana lagi dari pada mereka berdua hanya diam tanpa ada pokok pembicaraan.

"Jadi kamu menolak Dinan?" Amira hanya menaikan kedua bahunya tidak perduli.

"Ya Allah, pantas saja itu anak frustasi." Nirmala berkata dengan nada terkekeh geli. Dia tidak menyangka jika Dinan akan ditolak oleh Amira.

"Baiklah, kini giliran kamu," kata Nirmala. Amira menatap Nirmala dengan penuh selidik.

"Siapa lelaki yang Mbak Mala maksud?" Amira kembali meneliti wajah Nirmala.

"Lelaki yang mana?" tanya Nirmala santai.

"Yang meninggalkan Mbak?"

"Oh, gebetan?" Amira mengangguk.

"Nanti kamu juga kenal kalau dia sudah ngajar di sekolah kita."

"Jawaban macam apa itu." Amira tidak terima.

"Itu jawaban konkrit. Kalau kamu tidak berubah pikiran dan membiarkan Dinan mundur bertato kamu akan mengenalnya namun kalau kamu berubah pikiran kamu tak mengenalnya kecuali dia mah menikahiku." Tepat ucapan Nirmala berakhir tepat juga Pramuka saji mengantarkan makanan. Sehingga Amira tidak bisa mengajukan pertanyaan yang membuat dia bingung.

Amira akan tetap berkecimpung dalam pikirannya. Berubah pikiran? Amira yakin itu tidak akan dia lakukan dalam waktu dekat karena baginya pernikahan itu sakral jadi membutuhkan persiapan supaya terhindar dari satu kata yang membuat dia ketakutan, kegagalan.

Amira tahu bahwa setiap orang memiliki kegagalan tertentu dalam beberapa bidang berbeda namun dia juga tak ingin menepis bahwa kegagalan dalam sebelum pernikahan itu meninggalkan bekas yang tak bisa dilupakan begitu saja, apa lagi dengan catatan sang mantan yang lebih dulu menikah setelah berpisah dengan dirinya. Amira jadi berpikir apa jadinya jika kegagalan itu disebabkan oleh sebuah penghianatan? Mungkin dia akan jauh lebih takut melangkah lebih dari saat ini. Dia benci penghianatan oleh sebab itu dia selalu menghindari sikap berkhianat. Namun untuk cintanya kepada sosok sederhana ini berbeda, dia rela berkhianat untuk menjaga ketentraman hatinya.

---

Waktu berjalan tanpa mampu dicegah untuk berhenti sejenak menunggu seseorang mempersiapkan diri menghadapi hal yang ada di depan. Begitu pula dengan Amira, dia tidak bisa menghentikan waktu untuk membuat dia yakin melangkah maju saat Dinan menawarkan hubungan didasarkan pada hal yang benar.

Amira menaruh map di atas mejanya kemudian dia keluar dari ruang perencanaan. Dia ingin melihat anak-anaknya prektek di ruang pengelolaan makanan. Dia merasa tertekan dengan segala yang menimpanya akhir-akhir ini. Awal tahun yang harusnya dia buat untuk perancangan masa depan harus dia ubah dengan memikirkan kesiapan-kesiapan menghadapi Dinan dan lamaran.

"Bu, katanya pak Dinan mau pindah itu benar ya?" Amira menoleh ke salah satu anak didiknya yang sedang duduk di sampingnya.

"Siapa yang bilang?" Titis menggelengkan kepalanya.

"Kata anak-anak lain." Amira mengerutkan keningnya.

"Maaf saya kurang tahu." Amira berkata dengan tidak yakin. Dia tidak tahu sama sekali tentang Dinan dan kepindahan. Soalnya selama ini dia tidak pernah mendengar berita itu. Apa dia terlalu sibuk dengan perasaannya sendiri sehingga dia melupakan sekitarnya.

"Berarti belum positif mungkin." Amira hanya mengangguk dia kembali disibukan dengan pikirannya.

Amira beranjak dari duduknya kemudian mendekati Bu Rina yang sedang memberi beberapa penjelasan. Dia berdiri di samping salah satu kelompok untuk melihat hasil riasan kue yang dibuat.

"Katanya pak Dinan pindah karena mau nikah."

"Jangan gosip."

"Beneran, dia bakal nikah di luar kota jadi akan tinggal di luar kota."

"Tapi ada gosip juga kalau pak Dinan bakal jadi dosen di universitas Kota."

"Terus yang benar mana?"

"Jangan percaya gosip. Ingatkan gosip hoak yang menceritakan tentang hubungan pak Dinan dan Bu Mira?"

"Iya, aku kira itu benar tapi sampai saat ini gak terbukti.

Amira menghela napas, dia sungguh tak nyaman dengan pembicaraan anak didiknya. Dia segera berjalan menuju depan dan mengambil duduk.

"Kata anak-anak  kok pak Dinan mau pindah?" Rina duduk di sebelah Amira.

"Saya juga kurang paham, Bu." Rina menoleh ke arah Amira.

"Saya kira kalian dekat dan memiliki hubungan." Rina mengamati wajah Amira yang datar, dia jadi tidak yakin.

"Sama dengan Bu Rina, hubungan kami rekan kerja."

"Bukan diam-diam mau menikah kan. Nanti takutnya pak Dinan yang ngalah keluar dari yayasan supaya bisa menikah dengan Bu Mira." Amira  tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya.

"Enggak kok, Bu." Rina mengangguk kemudian dia berdiri dari duduknya karena ada yang memanggil. Amira menghela napas panjang. Dia sungguh merasa tak dianggap, entah perasaan seperti apa yang menghantam hatinya tapi dia tidak nyaman.

Hari ini Amira bersikap berbeda, jika biasanya Amira akan membantu anak-anak membereskan ruangan hari ini tidak. Dia memilih pulang lebih dahulu dengan tujuan supaya hatinya tenang. Namun sepertinya tidak karena baru saja dia keluar dari gerbang samping, dia mendengar suara klakson mobil dan saat menoleh dia melihat dengan jelas sosok yang sedang dia hindari membuka kaca mobilnya.

"Ada yang ingin saya bicarakan, bisa masuk!"

---

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience