°°Hidup itu bukan semua tentang masa lalu namun juga tentang masa depan. Bukan serta merta masa depan namun juga dengan masa lalu. Kita melangkah ke depan dan meninggalkan jejak di masa lalu. Kita menoleh ke masa lalu memperoleh pelajaran untuk masa depan.°°
----
"Terima kasih sudah membantu saya," kata Amira setelah meletakkan cangkir teh panas di atas meja.
Saat ini Amira dan Dinan berada di sebuah kafe kecil yang berada di dekat minimarket yang tadi Amira kunjungi. Awalnya tadi Amira sudah hendak pergi namun entah atas alasan apa Dinan menarik tangannya menuju kafe dan di sinilah keduanya saat ini.
"Saya pikir itu sudah ucapan untuk sekian kalinya yang saya dengar." Amira tersenyum menunduk malu.
"Maaf," kata Amira dengan canggung.
"Untuk?"
"Semuanya," kata Amira.
"Jadi ucapan terima kasih dari kamu itu sebuah kesalahan." Amira mendongak kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat. Entahlah dia tak ingin ada kesalahpahaman. Bukankah kadang masalah yang besar itu muncul dari sesuatu yang sederhana.
"Bukan, tentu saja bukan."
"Lalu mengapa kamu minta maaf?"
"Itu, itu karena saya...."
"Saya?" Dinan mengikuti ucapan Amira yang menggantung.
"Saya tidak tahu," kata Amira akhirnya setelah cukup lama dia berpikir namun tak jua mendapatkan kalimat yang tepat.
"Jangan meminta maaf atas kesalahan yang tidak kamu perbuat, atau jangan berterima kasih atas sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dilakukan." Amira mendongak menatap Dinan dengan polos, dia tidak mengerti maksud dari ucapan itu tapi tak urung dia mengangguk tanda setuju.
"Sudah lebih baik?" tanya Dinan. Amira menatap wajah Dinan dalam diam.
"Aku akan antar pulang jika sudah," kata Dinan lagi membuat Amira semakin heran, dia pikir Dinan mengajaknya kemari karena Dinan membutuhkan penjelasan tentang semua yang dia lakukan di minimarket, namun yang dia dapatkan hal yang berbeda.
"Bapak tidak bertanya?" Amira menatap wajah Dinan was-was.
"Bukankah saya sudah bertanya?"
"Benarkah?" Amira mencoba mengingat hal yang baru saja keduanya perbincangkan namun tak juga dia mendapati Dinan menanyakan perihal kejadian tadi.
"Ya bertanya, apakah perasaan kamu sudah lebih baik?" Amira menatap kemudian mengangguk.
"Mau pulang sekarang?" Amira menatap Dinan kemudian dia membuka mulutnya kemudian menutup kembali.
"Bagaimana?"
"Bapak tidak ingin tanya tentang dua orang tadi?"
"Tidak perlu, jika nanti hal itu mengganggu langkahku baru aku akan mencari tahu sendiri." Amira mengaguk-angguk kemudian dia menatap Dinan cepat.
"Atau kamu ingin bercerita kepada saya?" Amira menggelangkan kepalanya dengan cepat.
"Bukankah sudah jelas?" Amira mengangguk dengan tak yakin.
"Ayo, saya antar!" Amira berdiri dari duduknya walau sejujurnya dia masih penasaran dengan ucapan tak pasti Dinan."
----
Amira terdiam di depan pintu kontrakan sambil sesekali melirik ke arah mobil merah yang terparkir tak jauh dari gerbang kontrakan. Dia merasa tak asing dengan mobil itu, dia ingat benar bahwa mobil itu adalah mobil yang sama dengan mobil yang selalu ada di parkiran swalayan dekat halte dia menunggu bus saat pulang dari sekolah.
Amira dilingkupi dengan rasa was-was, dia merasa tak tenang. Dia bingung harus meminta tolong kepada siapa, karena di kota ini dia tinggal sendiri. Amira mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun kontrakan kondisi sepi karena Jan sebelas adalah jam produktif untuk kegiatan anak kuliah. Dia menghela napas kemudian kembali masuk ke dalam rumah.
Dia mengambil ponsel kemudian menelepon nomor yang dia kenal dekat di kota ini.
"Hallo, assalamualaikum." Sapa suara di seberang sana.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Amira sedikit tak yakin.
"Bu Mira?" panggil orang diseberang.
"Maaf Bu Mala, saya mau minta tolong boleh?"
"Boleh, Bu Mira baik-baik saja? Kenapa suara Bu Mira aneh?" Amira semakin gemetar dia takut dengan spikulasi yang ada di otaknya.
"Saya takut Bu," kata Amira dengan nada rendah.
"Bu Mira di mana?"
"Saya di kontrakkan."
"Saya segera ke sana." Amira menatap ponselnya yang sudah tidak tersambung dengan Mala. Ada ketakutan tersendiri pada diri Amira saat menyadari bahwa dirinya sendirian tak ada seseorang di rumah.
Amira duduk di dekat rak sepatu, dia merasakan was-was yang semakin meningkat, dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dan hal pertama dan terakhir dalam pikirannya adalah dia hanya mampu menangis.
"Yaa Allah," ujara Amira disela tangisnya. Amira menunduk takut, dia seperti kelinci yang sudah dikepung serigala. Amira hanya berdzikir di dalam hati berharap mampu mengurangi rasa takutnya.
Tok...tok...tok....
Suara ketukan pintu membuat Amira semakin ketakutan, dia takut sendiri namun dia sering sendiri. Dia takut kesunyian namun dia sering mensunyikan diri.
"Amira, Amira." Amira mendongak saat mengenal suara itu, itu adalah suara Mala. Sosok yang beberapa bulan ini dekat dengan dirinya baik di sekolah atau di luar sekolah.
Amira berdiri, dia menghapus airmatanya walau percuma karena tetap saja mengalir di pipinya.
"Bu Mala," panggil Amira sambil membuka pintu lebar, kemudian dia mengamati sekitar dan dia masih bisa melihat mobil merah itu di ujung sana.
Amira menyeret Nirmala masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh Doni. Amira menatap Doni dan Nirmala dengan heran.
"Oh, tadi Doni yang menjemput karena Dinan ada urusan." Amira mengangguk saja kemudian menutup pintunya dengan tergesa-gesa seolah takut ada orang yang akan masuk. Doni dan Nirmala saling berpandangan.
"Ada apa?" tanya Doni lebih dulu. Amira diam, dia menatap Doni dan Nirmala bergantian.
"Beberapa hari ini, aku merasa diikuti oleh orang. Pak Doni lihat mobil merah di depan, mobil itu mengikuti kemanapun aku pergi. Di mana saja aku melihatnya." Doni berjalan menuju jendela depan untuk mengintip, dia memang melihat ada mobil merah dengan kaca gelap. Saat dia akan keluar bertepatan juga mobil itu berjalan meninggalkan tempat dia berhenti.
Doni menatap mobil itu dengan seksama, dia ingat mobil yang terparkir di gerbang belakang sekolah dua hari yang lalu. Dan dia merasa mobil itu adalah mobil yang sama, tapi apa motifnya?
"Sudah tidak ada," kata Doni masuk.
"Jadi tadi beneran ada?" tanya Nirmala. Doni mengangguk sebagai jawaban dia masih dihantui rasa penasaran.
"Kamu punya masalah dengan seseorang? Atau kamu pergi dari rumah tanpa izin?" Doni bertanya kepada Amira. Karena dia merasa janggal. Ayolah ini kehidupan bukan sinema FTV jadi dia harus berpikir rasional.
"Aku tidak memiliki masalah dan aku dengan izin tinggal di sini." Amira menjawab dengan tak yakin.
"Lalu kira-kira siapa?" gumam Doni membuat Nirmala mengerutkan keningnya.
"Sorry, Dinan telepon." Doni melangkah keluar rumah dan Amira minum air mineral yang diberikan oleh Nirmala.
"Kamu mau menginap di rumahku?" Nirmala bertanya dengan hati-hati. Amira mendongak kemudian menggelengkan.
"Saya terlalu merepotkan, sudah ditemui saat ini saya sudah sangat berterima kasih." Amira menunduk tak enak.
"Anggap aku kakak, jadi jangan sungkan. Jujur aku menyukaimu sejak perkenalan beberapa bulan yang lalu." Nirmala menggenggam tangan Amira.
"Terima kasih, tapi aku masih bisa tinggal di sini."
"Baiklah, tapi kalau terjadi apapun hubungi Mbak, oke?" Amira tersenyum kemudian mengangguk. Dan dengan penuh perhatian Nirmala membawa Amira kedalam pelukannya.
"Kita harus segera berangkat, Dinan sudah menungguku di sekolah."
"Memang hari ini Dinan kemana?"
"Dia menemui seseorang di sekitar sini." Doni berkata dengan santai, dia membalas chat yang masuk ke dalam aplikasi WhatsApp messenger.
"Siapa?"
"Calon sepupu kamu mungkin," jawab Doni dengan santai.
"Kamu yakin?" tanya Nirmala dengan antusias.
"Entahlah, dia belum cerita. Kamu tahu sendiri kalau Dinan cowok bermodal sederhana, kamu tanya saya jawab." Doni memasukkan ponselnya bersamaan dengan Amira yang sudah mengganti bajunya karena kusut.
"Sudah siap? Ayo kita berangkat." Dua perempuan itu beranjak dan berjalan keluar dari rumah kontrakan, tidak lupa Amira mengunci pintu kontrakan dan bergegas masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil terasa sunyi hingga Doni mengeluarkan suara.
"Kamu sering mendapati hal yang mencurigakan, Mira?" tanya Doni.
"Ah, bolehkan aku panggil begitu. Karena kamu lebih muda dariku biar akrab." Amira mengangguk.
"Pernah di suatu malam yang hujan saya dapat kiriman makanan melalui gojek. Tidak tahu siapa yang mengirim jadi buat makan bersama anak satu kontrakan." Amira bercerita tentang kejadian dua pekan yang lalu.
"Terus? ada lagi?" Amira menggeleng.
"Kayaknya gak ada, selain sering dibuntuti saja." Amira berkata dengan tidak yakin.
"Kata Dinan kamu baru-baru ini sering jalan ke halte dengan seorang lelaki?" Doni melirik Amira dari kaca tengah.
"Dinan yang bilang?" Doni mengangguk.
"Dinan kan panitia ujian jadi pulang sore-sore." Amira masih diam saja, dia mulai mengingat sosok lelaki yang dia anggap sebagai penguntit.
"Iya, dia Fatih. Salah satu staf di yayasan." Amira memang sering pulang dengan Fatih, walau hanya berjalan dari gerbang depan menuju halte dia juga sudah banyak bertanya seputar kehidupan. Seperti pekerjaan, hobi dan beberapa hal yang tidak menjerumus menuju sesuatu yang sangat pribadi. Dan dia nyaman melakukannya.
"Berarti kamu tahu siapa Fatih?" Doni mengamati reaksi wajah Amira.
"Enggak. Kita cuman saling tahu saja." Doni mengangguk tanda mengerti.
"Apa ada kemungkinan?" tanya Nirmala.
"Bisa jadi," jawab Doni membuat Amira terdiam dia mengunci bibirnya dengan cepat. Apa iya Fatih benar-benar menguntit? Tapi bukankah Fatih sudah bilang bahwa dia minta maaf dan menyesal. Entahlah semua itu masih menjadi abu-abu menurut Amira.
------
Share this novel