•Hubungan bukan sekedar sebuah kata yang terucap, akan tetapi dengan langkah untuk bertindak.•
---
"Ini bocah enak banget tidurnya," kata Nirmala berkacak pinggang di samping tempat duduk Dinan.
"Namanya juga sakit," kata Doni setelah dia menyuruh anak-anak untuk keluar bus.
"Bahu kamu gak pegal, Ra?" Amira meringis, entah sejak kapan kepala Dinan bersandar di bahunya, Amira tidak yakin karena dirinya juga tertidur.
"Lumayan," kata Amira sambil berbisik.
"Katanya pak Dinan sakit?" Bu Dyah masuk ke dalam bus.
"Iya ini," jawab Doni nunjuk ke Dinan.
"Perlu ke klinik?"
"Dia gak doyan obat, Bu." Amira menyentuh tangan Dinan sudah tak sedingin tadi. Selain itu juga tangannya sudah mulai ada semburat merah.
"Kamu di sini gak papa, Bu Mira?" Amira mendongak, dia menoleh ke arah Nirmala.
"Soalnya kalau dibangunkan kasian, tapi kalau Bu Mira berdiri nanti pasti bangun." Amira mengangguk tak yakin.
"Ya sudah, guru yang lain ngikutin anaknya, soalnya nanti pada buyar." Dyah keluar dari bus, menyisakan empat orang itu.
"Sorry ya," kata Nirmala sambil memainkan ujung jilbabnya.
"Santai saja Mbak," kata Amira.
"Ya sudah, nanti kalau ini bocah bangun ajak masuk aja," kata Nirmala. Amira mengangguk.
"Ajak makan dulu, dia belum sarapan." Amira menoleh ke Doni kemudian mengangguk.
"Saya matikan Acnya Bu?" tanya sopir bus.
"Iya pak, tapi jangan dikunci."
"Iya Bu, saya duduk di warung sana kalau mencari." Amira melihat warung yang ditunjuk kemudian mengangguk.
Amira menghela napas kemudian dia memposisikan dirinya dengan nyaman. Dia juga sangat lelah, kalau boleh jujur sebenarnya tubuhnya terasa pegal semua dan hidung rasanya pengar. Amira mencoba memejamkan mata, dia akan mengistirahatkan tubuhnya untuk sejenak seraya menunggu Dinan bangun.
Amira tersadar dari lelapnya, namun dia belum memiliki keinginan untuk membuka matanya. Matanya masih terpejam seolah malas untuk terbuka. Amira diam serta berpikir, dia merasa lehernya sedikit nyeri dan pegal. Dia nampak heran dengan apa yang dia rasakan, bukankah harusnya bahu kirinya kebas kenapa lehernya yang sakit.
Amira membuka matanya, dia menyipit saat cahaya menyerbu kornea. Kemudian dia duduk tegak menghadap orang yang ada di sampingnya.
Amira melihat Dinan menatap wajahnya dengan heran. "Mimpi buruk?" Amira menatap Dinan dengan pikiran yang tak menentu.
"Tidak," kata Amira sambil membenarkan posisi jilbabnya.
"Pak Dinan sudah bangun sejak tadi?" Amira terkejut saat melihat selimut yang dia gunakan. Dia menjadi bergerak salah tingkah.
"Lumayan, saya bangun tidur lagi bangun tidur lagi. Tidur di bus itu tidak ada nyaman-nyamannya sama sekali." Amira meringis mendengar ucapan Dinan, dia tahu Dinan bukan mengeluh namun menyindir dirinya. Amira menatap jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan.
"Ya Allah," pekik Amira tertahan.
"Ada apa?" Amira menoleh ke arah Dinan kemudian menatap Dinan tidak percaya.
"Tiga jam saya tidur," kata Amira menyerupai cicitan. Amira melihat Dinan mengangguk santai.
"Saya lapar, bagaimana kalau kita cari kamar mandi?" Amira kembali melipat selimut.
"Lapar kok ke kamar mandi?" Amira melihat ke arah Dinan yang sudah berdiri.
"Karena baik saya atau kamu butuh menghilangkan sisa bantal." Amira menatap heran.
"Saya tidur gak pakai bantal." Amira menyahut dengan cepat.
"Itu hanya perumpamaan."
"Saya guru boga gak ada perumpamaan." Amira merapikan pakaiannya kemudian mengambil dan serempangnya dan berdiri.
"Ya sudah, mencuci wajah. Ada kan agenda mencuci dalam boga?"
"Harus dong, tapi konotasi tidak tepat. Pak Dinan guru bahasa Indonesia kok pakai bahasa Indonesia terjemahan." Amira terkikik pelan, entah dia merasa senang mendebat hal yang dilontarkan Dinan.
"Baiklah, membasuh muka."
"Mau wudhu ya, Pak?" Amira menoleh ke belakang sebelum turun dari bus.
"Yah, sesuka Bu Amira saja. Yang penting kalau mau senyum jangan ditahan." Amira menatap malu kemudian segera berjalan keluar bus.
"Saya kira ini lupa, sudah tiga jam belum keluar juga." Amira meringis saat dia mendengar ucapan sang supir.
"Maaf," kata Amira tak enak.
"Santai saja Bu, gak papa kok." Amira mengangguk kemudian dia bertanya letak toilet dan tempat makan. Setelah mendapat petunjuk dia menoleh ke arah Dinan yang nampak sudah hidup auranya dibandingkan tadi pagi.
"Ke sana toilet umum," kata Amira, Dinan mengangguk dan membiarkan Amira memimpin jalan.
---
Makan siang hari ini mendapat jatah dari sekolah dan sudah dipesankan di sebuah rumah makan dekat kawasan Selecta. Amira mengambil satu tumpuk nasi otak yang ada di kantong plastik besar.
"Perlu bantuan?" Doni sudah mengambil alih sebelum Amira menjawab. Amira hanya menghela napas, rasanya berdekatan dengan Doni ada sesuatu yang berbeda. Dia merasa canggung.
"Bu, ayo foto!" Amira ditarik salah satu siswa untuk foto bersama di dekat bus.
"Senyum Bu," kata anak yang mengambil gambar, setelah beberapa sesi jepretan Amira menyerah, dia tidak cocok berada di depan kamera.
"Sini, Ibu yang ambil gambar kamu ikut foto," kata Amira mengambil kamera kemudian mengambil beberapa pose anak didiknya.
"Sudah! Ayo masuk!" Doni berteriak mengajak masuk anak didiknya. Amira menghela napas kemudian berjalan dibelakang.
"Kamu lihat tadi Pak Dinan tidur sama Bu Mira?"
"Iya, cocok ya!"
"Semalam aku juga lihat Bu Mira keluar sama pak Dinan."
"Benarkah?"
"Iya, hujan-hujanan berdua."
"Di mana?"
"Di samping hotel. Tapi gak lama udah bilang aja pas mau ambil fotonya." Amira mengerutkan keningnya, jadi kejadian semalam dipergoki oleh salah satu siswanya.
"Jangan bilang kamu hanya ngayal, mana mungkin pak Dinan dan Bu Mira berhubungan. Orang di sekolah kita jelas ada aturan dilarang memiliki hubungan antar guru dan staf."
"Tapi beneran, kamu gak lihat tadi pak Dinan demam?"
"Beneran juga ya," kata salah satu tak yakin.
"Benar kali ya," kata Amira di belakang anak yang sedang bergosip, semua langsung menoleh ke arah Amira dan memasang wajah cemas.
"Sudah, sekarang saatnya masuk. Kita akan ke para layang dan Coban Rondo." Amira menahan tawanya. Dia geli melihat wajah ketakutan anak yang sedang bergosip.
Setelah semuanya masuk, baru Amira membekap mulutnya untuk menahan suara tawanya.
"Kenapa?" tanya Nirmala yang sudah berdiri di samping Amira.
"Gak papa, mereka lucu." Kemudian setelah dijawab pertanyaan yang dia lontarkan Nirmala mengajak Amira masuk ke dalam bus.
"Bu Mira, ini untuk ibu." Julia memberikan kantong plastik kepada Amira. Dia merasa sedikit heran namun dia hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Amira kembali duduk, namun sebelumnya dia melepas tas yang dia gantung di bahu. Dia menaruh di sandaran kursi. Amira membenarkan posisi sandaran kemudian mencoba duduk nyaman.
"Popcorn Bu," tawar anak yang duduk di depannya.
"Terima kasih," jawab Amira mengambil popcorn di tangannya kemudian membagi dengan Nirmala.
"Dari siapa?"
"Anak duduk di depan." Amira menjawab sambil menunjuk depan dengan dagunya.
"Dinan, ini minum kamu. Berat tahu," kata Nirmala mengulurkan tangannya yang berisi botol salah satu minuman kemasan isotonik.
"Gak baik Pak minuman kemasan." Amira berkata dengan pelan namun Dinan masih mampu mendengar karena terbukti lelaki berusia hampir tiga puluh tahun itu menoleh.
"Gak setiap hari," jawab Dinan. Amira melihat Doni membuang muka ke arah jendela.
Amira hanya diam kemudian dia larut dalam pikirannya sendiri, dia bingung akan hal yang akan dilakukannya selama liburan. Ada niatan untuk mengunjungi sang ibu namun dia tidak memiliki stok kesabaran jika sudah berkunjung ke rumah sang kakak.
Tanpa terasa Amira beberapa kali menghela napas panjang, hingga membuat dua orang yang duduk dekat dengannya menoleh.
"Kenapa?" tanya Nirmala.
"Memangnya saya kenapa, Mbak?" Nirmala menatap Amira dengan penuh penilaian, dia menggenggam tangan Amira kemudian menggelangkan kepalanya.
"Kamu beberapa kali menghela napas berat. Kamu ada masalah?"
"Tidak ada," kata Amira tak yakin.
"Kamu terusik dengan obrolan anak-anak ya?" Amira menoleh ke wajah Nirmala.
"Obrolan apa?" Nirmala menaikkan satu alisnya.
"Kamu belum dengar?"
"Bagaimana aku dengar kalau sejak tadi saya gak gabung bersama mereka."
"Benar juga," kata Nirmala dengan pelan.
"Semalam kamu keluar dengan Dinan?" Amira sedikit terkejut dengan pertanyaan Nirmala yang melenceng dari pokok pembahasan.
"Kok tiba-tiba tanya?" Amira mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
"Soalnya udah nyebar di kalangan anak-anak." Amira mengaguk kemudian tersenyum.
"Biarkan saja, nanti lama-lama juga hilang sendiri." Amira menjawab dengan nada dibuat sesantai mungkin.
"Adahal baru juga jadi hot news kedekatan Dinan dengan Miss Misye tapi udah berubah haluan aja gosipnya. Heran, pesona apa yang digunakan tidak bocah hingga membuat anak-anak begitu ngefans." Amira hanya tersenyum kecil. Dia yakin bahwa Dinan saat ini mendengar gerutuan panjang dari sepupunya.
---
Amira tidak tahu harus bahagia atau bersedih, yang jelas dia tidak bisa mengekspresikan diri. Dia bingung namun tak jua membuka suara.
Bus yang ditumpangi Amira baru saja berhenti di depan jalan sekolah. Akhirnya mereka telah menyelesaikan kegiatan stadytour.
"Kamu pulang bareng aku?" Amira menatap Nirmala tak enak hati.
"Saya dijemput," kata Amira meringis.
"Dijemput?" Dinan mendekati Amira dan Nirmala.
"Tadi pagi kakak saya memberitahu bahwa beliau akan menjemput." Amira memang belum cerita kepada Nirmala tentang penjemputan paksa sang kakak, ah bukan belum tapi mungkin tidak akan.
"Ya sudah, di mana kakakmu?" Dinan mencari keberadaan orang yang dimaksud Amira.
"Di sana," Amira menunjuk ke sebuah mobil berwarna putih tulang. Mobil itu memang mobil keluaran lama bahkan bahan bakarnya adalah solar.
"Mau kami antar?" tanya Nirmala melihat wajah cemas Amira.
"Gak perlu, Mbak. Untuk barang gak papa nitip dulu?" Nirmala mengangguk.
"Gak papa."
"Ayo saya antar," kata Dinan berjalan lebih dulu.
"Terima kasih."
"Kamu tunggu di sini," kata Dinan menoleh ke arah Nirmala.
"Kamu yakin itu kakak kamu?" Amira menunduk dia tidak berani bersuara.
"Amira?" Dinan memanggil dengan nada bertanya. Dia mengabaikan beberapa wali murid dan siswanya yang mengamati keduanya penuh minat.
"Dia benar kakak saya," jawab Amira pelan.
"Lalu?"
"Apanya?"
"Mengapa kamu nampak tak tenang?"
"Saya hanya merasa canggung karena sudah sangat lama saya tidak bertemu dengan beliau." Amira berdoa semoga Dinan mempercayai ucapannya.
"Memang kadang jarak bisa mempengaruhi sebuah hubungan. Saya menyadari itu." Amira menghela napas lega, karena Dinan mempercayai ucapannya.
Dinan berdiri di dekat mobil kakak Amira. Kemudian dia menoleh ke arah Amira.
"Tapi saya tidak percaya dengan ucapan kamu. Jadi di lain waktu kamu punya hutang untuk menjelaskan." Dinan berkata dengan tegas. Amira termangu sendiri, kelegaan yang sempat menyelimuti berubah menjadi ketegangan.
Dinan melangkah menuju kaca mobil dekat kemudi. Dia mengetuk sehingga kaca itu turun.
"Assalamualaikum," salam Dinan kepada sosok lelaki yang ada di depannya.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Arif membuka kaca kemudian mengamati Dinan.
"Saya rekan kerja Amira, Dinan." Dinan mengulurkan tangannya.
"Saya Arif, kakak Ami." Arif keluar dari dalam mobil kemudian menjabat tangan Dinan.
"Baiklah, senang berkenalan dengan Anda. Saya hanya meyakinkan bahwa perempuan itu benar-benar pulang dengan orang yang pasti." Dinan berkata sambil melirik ke arah Amira.
"Anda bisa jamin itu. Dan terima kasih atas perhatian Anda kepada adik saya." Dinan mengangguk kemudian dia berpamitan untuk pergi karena Nirmala sudah menantinya. Amira bisa melihat Arif yang nampak menatap Dinan dengan wajah herannya.
"Kita pulang."
---
Share this novel