24

Drama Completed 1272

_Orang bilang happy ending identik dengan bertemunya dua sejoli dalam sebuah hubungan halal. Namun happy ending versi saya adalah di mana dua insan saling mengerti dan memahami keadaan dan saling pengertian. Walau keputusannya adalah sebuah perpisahan._

---

Amira meletakan sendok kemudian dia menyapu bibirnya dengan tisu, bertanda bahwa dia sudah selesai makan.

Tadi setelah sholat di sebuah masjid besar dekat swalayan, dia dan Dinan memutuskan tuntun makan mie ayam di langganan Dinan yang ternyata juga tempat biasa Amira makan mie ayam.

"Sudah selesai?" Amira mengangguk sebagai jawaban.

"Baiklah, saya bayar dulu baru cari tempat untuk bicara." Dinan beranjak dari duduknya kemudian mendekati seorang ibu-ibu berusia sekitar awal empat puluhan. Amira bisa melihat keakraban Dinan dengan wanita itu sebagai bukti bahwa Dinan sering kemari.

Amira tidak heran karena saat Dinan beraktivitas di sekolah dia hanya membutuhkan beberapa menit untuk membelokkan mobilnya ke kanan saat perjalanan pulang, yang artinya kawasan ini tidak dilewati oleh Dinan namun sangat dekat dengan jalan pulang Dinan.

"Ayo!" Dinan mengajak Amira, Amira menggangguk kemudian berdiri dari duduk nyaman.

Keduanya berjalan menuju sebuah kedai kopi yang nampaknya baru buka, karena ada beberapa anak muda yang masih menata kursi dan beberapa membersihkan meja.

Dinan memberi kode kepada Amira untuk memilih meja. Amira suka sendiri dan Amira suka sunyi jadi dia memilih duduk di sebuah gazebo kecil di paling ujung.

"Mau minum apa?" Dinan memberikan kertas pesanan kepada Amira.

"Pak Dinan maniak teh, ya?" Amira menatap Dinan dengan tanda tanya, karena dia sering menjumpai Dinan minum minuman dari pucuk daun pilihan itu.

"Tidak maniak hanya suka," jawab Dinan sambil membenarkan posisi duduknya.

Amira mengangguk kemudian dia memilih teh tarik dan kripik pisang coklat untuk dirinya.

"Emang rasa teh tawar itu menyegarkan tenggorokan. Tapi lebih nikmat lagi kalau teh itu diberi bunga melati." Dinan menatap Amira saja, dia tidak ingin menanggapi. Karena dia tahu jika dia menganggapnya maka apa yang akan dia sampaikan tidak akan pernah sampai.

"Pak Dinan udah pernah mencoba teh kelopak bunga mawar?" Amira tidak mendapatkan jawaban dari Dinan dia menjadi salah tingkah.

"Kita kemari bukan untuk membahas hal itu," kata Dinan dengan masih setia menatap Amira, hal itu membuat Amira merasakan jantungnya berdetak tidak teratur juga merasa perutnya seolah diremas-remas. Amira membuang muka dia salah tingkah.

"Kalau pak Dinan masih membicarakan yang kemarin lebih baik, jangan!" Amira mencoba menetralkan rasa yang menyelimuti. Dia mencoba tetap teguh pada pendirian.

"Kita perlu meluruskan semuanya," kata Dinan membuat Amira menghela napas kemudian membuang muka.

"Saya rasa tidak ada yang perlu diluruskan," kata Amira terpancing emosi, dia tidak ingin membicarakan hal ini setelah hal yang terjadi di warung makan tadi. Dia sudah cukup menguras perasaan saat mengetahui bahwa Fatih adalah kakak dari seorang Farhat.

"Dengarkan saya," kata Dinan dengan tegas, namun hal itu malah memicu mendidihnya emosi Amira.

"Pak Dinan yang harusnya mendengarkan saya." Amira menatap Dinan datar, dia menghela napas.

"Baiklah, bagaimana kalau kita win to win. Jadi saya mendengar segala ucapan kamu dan nanti kamu juga mendengar segala penjelasan saya." Amira ingin tersenyum sebenarnya mendengar negosiasi dari Dinan. See, Dinan dan Nirmala. Like brother like sister.

"Baiklah," kata Amira dengan cepat.

"Apa yang ingin kamu katakan." Amira membenarkan posisi duduknya.

"Sebenarnya saya suka di dekat pak Dinan, saya merasa dilindungi. Selain itu saya juga merasa nyaman dan senang. Kalau ditanya apa saya suka sama pak Dinan? Jawabannya iya saya suka sama pak Dinan." Amira memberi jeda, dia ingin melihat ekspresi wajah Dinan. Sungguh dia tidak pernah sekalipun dengan mudah mengakui perasaannya seperti hal yang dia lakukan saat ini. Sungguh kalau bisa dia saat ini ingin sekali mengubur diri sendiri.

"Terus?" Dinan masih menampakkan wajah datarnya.

"Tunggu sebentar, terima kasih," kata Amira kepada seorang yang menghidangkan pesanan. Dia meminum teh tariknya kemudian kembali menghadap ke arah Dinan.

"Bahkan kalau saya bilang saya cinta sama pak Dinan, itu memang benar adanya. Saya bukan remaja labil lagi, jadi saya tahu benar perasaan saya tapi semua itu tidak cukup. Tidak cukup untuk membuat saya memilih pak Dinan di dalam waktu dekat." Amira menunduk, dia merasa tertikam ulu hatinya mengatakan ini. Tetapi, dia harus melakukan semuanya karena dia tak ingin ada kesalahpahaman.

"Sekali lagi saya katakan, saya cinta sama pak Dinan tapi saya gak bisa. Saya takut, saya takut dengan....dengan...." Amira tak mampu mengungkapkan dia malah menangis.

"Hai, jangan menangis." Dinan jadi salah tingkah, dia merasa konyol dengan segala ucapan Amira. Dia hanya merasa heran bagaimana dengan mudah perempuan itu mengungkapkan semuanya, sedang dirinya. Dia memerlukan waktu yang lama.

"Saya gak bisa pak, saya takut. Mungkin benar bahwa saya terlihat sehat tapi saya juga menyadari bahwa saya tidak sehat." Amira berkata ditengah isakan.

"Baiklah, menangislah!" Dinan berkata dengan santai, dia mengeluarkan sapu tangan kemudian memberikan kepada Amira.

Amira menatap Dinan tidak percaya, sungguh dia merasa aneh. Dia tidak jadi menangis malah terkekeh.

"Ada apa?" Dinan memasang wajah heran, karena perempuan yang tadi dilarang menangis malah tersedu-sedu tapi disuruh menangis malah tertawa. Sungguh perempuan dengan segala hal yang menurutnya tidak bisa ditebak.

"Lucu tau, Pak. Dimana-mana itu dilarang menangis, ini malah disuruh menangis." Dinan hanya mengangkat sudut bibirnya.

"Tadi saat saya minta kamu jangan menangis kamu menangis. Jadi saya pikir mungkin kamu perlu menangis untuk meluangkan semuanya." Amira menatap Dinan tidak percaya, mungkin bagi seseorang hal itu sangat mengesalkan namun bagi Amira itu adalah pemikiran yang sangat romantis.

"Jadi diam bukan? Berarti benar kata teman-teman saya. Kalau perempuan itu unik dan ribet."

Amira merenggut saat dia mendengar kata ribet disebut, namun dia tidak mengelak ya karena memang benar adanya kalau perempuan itu sangat ribet bin mulek.

"Masih ada yang diungkapkan lagi, karena sebentar lagi isya," kata Dinan.

"Pak, apa lamaran bapak bisa ditangguhkan?" Amira bertanya dengan tidak yakin.

"Maksudnya?" Amira bingung mengungkapkan, tapi jika dia tidak mencoba bagaiman dia bisa tahu hasilnya.

"Saya berniat ke psikolog supaya sembuh. Jadi, apa lamaran bapak bisa ditangguhkan?" Dinan tersenyum namun senyumnya bukan senyum yang menenangkan melainkan sebaliknya, begitu pikir Amira sehingga dia sudah bisa menebak.

"Saya memang bisa menerima tangguhan itu, tapi saya tidak bisa menebak takdir. Kamu tahu saya lelaki dewasa. Tahun depan saya sudah tiga puluh tahun, jadi tidak menutup kemungkinan bahwa ibu saya akan meminta saya menikah. Jadi kamu tahu jawabannya." Amira meringis.

"Jadi kamu tidak bisa menerima lamaran saya?" Amira menatap Dinan kemudian dia menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa, dia merasa takut entah takut kehilangan atau takut melangkah.

"Saya tidak siap menikah, Pak." Dinan mengangguk.

"Kamu tidak siap menikah dan saya harus segera menikah. Jadi kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama." Dinan berkata dengan tenang, meski getir tak bisa dia elakan. Karena pada kenyataannya ditolak itu sudah mendarah daging menjadi sebuah luka untuk siapa saja.

"Apa pak Dinan bakal membenci saya?" Dinan menatap wajah ketakutan Amira, dia tidak menyangka jika Amira sesensitif itu.

"Mengapa kamu berpikir demikian?" Dinan bertanya dengan nada lembut.

"Karena setelah melakukan pembatalan pernikahan, semua membenci saya. Saya baru saja menata hidup saya, tapi semuanya akan berantakan jika semua membenci saya. Apa Mbak Mala dan Pak Doni juga akan membenci saya? Apa anak-anak yang tahu bahwa saya menolak Pak Dinan juga akan membenci saya?"

"Hai, don't worry! Semuanya baik-baik saja. Semua itu tidak akan terjadi, saya yang akan menjamin itu." Amira menatap Dinan dengan penuh rasa penasaran.

"Pak Dinan yakin?" Amira menatap Dinan, dia sudah terlalu percaya pada lelaki itu karena sepanjang kedekatan dengan lelaki itu, dia tidak pernah merasa dilukai.

"Iya, Nirmala akan tetap menjadi sahabat yang baik bagi kamu. Dan semua anak tidak akan pernah tahu masalah ini." Amira menatap Dinan tengah binar rasa syukur.

"Terima kasih, Pak." Dinan tersenyum menenangkan. Dinan tahu jika rasa takut itu bisa menyerang siapa saja termasuk Amira yang selama ini mencoba terlihat tegar walau sebenarnya psikisnya tidak baik.

"Pak Dinan benar tidak membenci dan menjauhi saya?" Amira merasa dirinya egois tapi kadang dia juga ingin egois dan merasakan kenyamanan dari pada dia baik namun keraguan dan ketakutan menyelimuti.

"Sekarang giliran kamu mendengarkan saya," kata Dinan.

"Tapi saya tanya belum dijawab."

"Dengarkan, ini yang akan saya ucapkan nanti di dalamnya ada jawaban." Dinan menatap Amira yang sedang mengelap wajahnya dengan sapu tangan.

"Saya akan pindah," kata Dinan membuat Amira menatapnya dengan cepat, kemudian dia tersenyum masam dia jadi ingat pembicaraan anak-anak tadi.

"Jadi itu bukan sekedar gosip?"

"Apa?"

"Ya fakta bahwa pak Dinan akan resign."

"Itu benar. Oleh sebab itu saya tidak menunggu lama. Sebenarnya saya ingin menunggu lebih lama supaya kamu nyaman dengan saya, lalu baru saya akan melamar kamu. Tapi sekali lagi takdir tidak sejalan, jadi saya terburu waktu sehingga saya melamar kamu saat saya yakin kamu masih belum siap."

Amira menunduk, dia merasa bahwa ketakutannya membawa dampak sangat besar namun dia memiliki kelegaan tersendiri tentang semua ini, paling tidak dia jadi lebih terbuka.

"Saya tidak bisa menunggu lebih lama, Amira. Jadi jika saat ini kamu menolak saya maka itu akan saya anggap benar-benar sebuah penolakan tidak perduli bahwa cinta saya kepada kamu bersambut. Karena saya memiliki prinsip bahwa cinta itu sesuatu yang mudah namun juga sulit. Mungkin saya kecewa tapi saya akan menyembuhkan dengan saya sadar diri." Amira menatap Dinan. Ada rasa lega mendengar ucapan Dinan.

"Kita sama-sama dewasa, kita bukan dua remaja lagi jadi saat kamu menolak saya. Maka saya akan mundur dan membiarkan takdir yang menentukan jalan cerita selanjutnya. Kamu paham bukan maksud saya?" kata Dinan.

"Saya paham. Terima kasih untuk semuanya." Dinan tersenyum sambil mengangguk.

"Saya hanya memberi saran, mungkin kamu tidak perlu ke psikiater. Cukup kamu mendalami agama dengan baik. Maaf tidak ada maksud, tapi jika kita lebih mendekatkan diri kepada Allah. Insya Allah, Allah akan memberikan ketenangan." Amira menatap Dinan dengan senyum indah yang sudah sangat lama tak pernah dia lakukan.

"Benar, mengapa saya tidak terpikir akan hal itu."

"Kalau kamu terpikir akan hal itu mungkin kamu akan menerima lamaran saya." Amira mengangguk dengan yakin.

"Baiklah, semuanya clear. Jadi kita tetap sebagai rekan kerja hingga sebulan kedepan." Amira mengaguk sambil menjabat tangan Dinan yang sudah ada di depannya.

Begitulah kenyataan yang ada, kadang sesuatu yang manusia rencanakan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Namun siapa yang bisa menduga akan hal itu, jawabannya jelas tidak ada karena takdir itu mutlak rahasia Allah.

End.

------

Huh...huh...huh....

Rasanya megap-megap menulis part ini. Saya yakin ini tidak sesuai dengan ekspektasi kalian. Tapi maaf, saya memang melakukan hal ini. Hanya untuk bahan renungan kita bahwa suatu hubungan tidak semudah pemikiran. Jangan salah orang yang kita kenal lama belum tentu bisa membuat hubungan dengan kita begitu pula sebaliknya.

So, dengan cerita pak Dinan di masa jahiliah ini saya berharap kalian memetik pelajaran supaya tidak terlalu dengan sebuah hubungan semu bernama pacaran. Berapapun usia kalian remaja, dewasa atau anak-anak. Saya harap anda semua memahami dampak buruknya.

terima kasih ??

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience