°Cinta itu hanya lima huruf berbeda dalam satu kata. Jadi cinta adalah sesuatu yang berbeda digabungkan menjadi satu kata supaya memiliki makna.°
----
Amira duduk di depan sang ibu dan kakak. Dia hanya diam mengikuti alur yang ada.
"Siapa lelaki semalam?" Amira menoleh ke arah Arif, dia hanya menatap wajah sang kakak dengan sendu. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama tidak bertemu dan bertukar kabar, pertanyaan yang muncul pertama kali dari bibir saudara lelakinya adalah pertanyaan menginterogasi.
"Beliau rekan kerja." Amira menjawab dengan tegas. Tidak ada yang salah bukan dengan jawaban Amira?
"Kamu yakin?" Amira menatap sang kakak sambil mengangguk.
"Mengapa aku tidak percaya?" Amira mengangkat satu sudut bibirnya.
"Kenyataannya seperti itu, lalu Ami harus jawab apa?" Amira menjawab dengan sedikit sengit.
"Jaga sopan santun, Mi." Amira menoleh ke arah sang ibu, kalau boleh jujur dia sangat merindukan ibunya namun entah lenyap kemana perasaan itu saat melihat wajah sang ibu yang menatapnya datar.
"Tidak ada seorang rekan kerja yang mencurigai kakak dari rekannya, Ami." Amira menatap Arif yang berkata dengan penuh penekanan. Amira diam sejenak, dia ingin sekali menjawab bahwa tidak semua orang sama dengan Arif namun dia urungkan karena dia tidak ingin memperpanjang pembicaraan.
"Dia memang berbeda," jawab Amira tanpa dia sadari.
"Benarkan dugaanku, bahwa kamu memiliki hubungan spesial." Arif berkata dengan nada datar. Amira melotot kemudian mendesis pelan, dia tak ingin dianggap sebagai adik yang memiliki sopan santun.
"Suruh dia menemui Abang, kalau tidak mau putus hubungan kalian. Tidak ada hubungan pacaran atau apapun. Ingat itu!" Arif berdiri dari duduknya, Amira yang ingin menyanggah hanya bisa menahan di tenggorokan.
"Kamu harusnya lebih jeli lagi, Ami. Harus bisa belajar dari masa lalu. Gak semua bisa kamu agungkan atas nama cinta." Amira menoleh ke arah sang ibu yang beranjak dari duduknya. Amira tergugu, dia menjadi ingat saat sehari di rumah Nirmala.
Nirmala adalah saudara sepupu dan sepersusuan Dinan. Ibu Nirmala adalah saudara kembar ibu Dinan. Jadi sejak kecil Nirmala diasuh oleh ibu Dinan bersama dengan Dinan karena ibu Nirmala meninggal dunia saat melahirkan.
Meski sejak kecil Nirmala sudah tidak memiliki ibu namun Nirmala tumbuh menjadi gadis yang baik dan sopan. Walau sering kali Dinan berkata bahwa Nirmala itu adalah perempuan kebanyakan suara, namun keduanya saling menyayangi.
Kemarin sebelum pergi study tour, Amira sempat menginap semalam di rumah Nirmala. Dan dia merasa iri dengan kehamonisan ayah dan anak yang ada di depan matanya. Dia tidak menduga ditengah kesibukan sang ayah yang seorang dokter masih tetap menyempatkan diri untuk melakukan obrolan malam sebelum tidur dan hal itu adalah contoh kecil dari sesuatu yang menyentil perasaan Amira.
Amira berdiri dari duduknya, dia ingin mengamati rumah kecil yang akan dia tempati. Ya, tadi pagi ibu dan kakaknya sudah menjelaskan bahwa Amira akan tinggal di kota ini bersama sang ibu. Karena sang kakak berkata bahwa tidak baik seorang perempuan tinggal di kota orang tanpa pengawasan.
Amira keluar melalui pintu depan, dan jarak tiga meter sudah ada jalan raya. Ya, Amira memang akan tinggal di sebuah perumahan sederhana dengan rumah yang sederhana pula. Dia menengok ke samping ternyata jarak rumah satu dengan yang lainnya sangat berdekatan.
"Kamu sedang apa?" Amira terlonjak kaget dengan pertanyaan sang kakak.
"Sedang melihat-lihat," jawab Amir kemudian melangkah menuju gerbang depan yang tingginya hanya sebatas perut Amira.
"Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?" Amira menatap Arif sejenak kemudian menggelengkan kepalanya.
"Tentang Farhat," Amira menatap Arif, dia tahu kakaknya menunggu penjelasan Amira tentang kejadian dua tahun yang lalu.
"Tidak ada." Amira menjawab dengan tegas. Dia tidak ingin mengulang kembali kejadian dua tahun yang lalu, saat dia bercerita tentang semua alasan dia membatalkan lamaran Farhat, dia takut.
"Kamu tidak menganggap Abang?" Amira menatap Arif.
"Amira menganggap kok." Amira berkata dengan pelan. "Tapi untuk bercerita, Amira pikir itu sudah tidak perlu. Karena nasi yang basi tidak akan bisa didaur ulang." Amira menunduk kemudian berpamitan untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
"Jangan lupa sholat Dhuha sebelum kamu berencana untuk tidur." Amir hanya menjawab peringatan Arif dengan gumaman pelan.
----
Kata orang keluarga itu adalah tempat kita bersandar saat kita lelah menempuh perjalanan kehidupan yang tak mudah. Namun semua itu tidak seratus persen benar bagi Amira, karena Amira merasa keluarganya tak ubah orang asing yang tak mengenal dirinya dengan baik. Bahkan mungkin tidak mengenal dirinya sama sekali hanya sebatas nama.
Amira duduk di pinggir tempat tidur, dia menghela napas dengan keras. Dia heran dengan Arif, tadi pagi saat Amira keluar dari kamarnya Arif sudah mengingatkan Amira untuk sholat subuh. Tetapi Amira dengan lantang menjawab bahwa dirinya sedang kedatangan tamu bulanan. Dan Arif jelas mengerti itu, tidak mungkin kan orang yang sudah jauh-jauh kuliah hingga Madinah tidak tahu tahu tentang haid? Kalaupun dia lelaki.
Amira merasa tak nyaman dengan rumah ini, dia merasa terintimidasi dan terpojokkan. Dia seolah pelaku dosa besar yang tak termaafkan. Padahal dia tidak melakukan apapun. Kalaupun dia melakukan sesuatu itu semua tak akan mengubah banyak hal.
"Yaa Allah ampunilah dosaku." Amira menunduk kemudian dia melihat ponselnya yang menyala.
Mbak Nirmala
Jangan lupa, besok ada janji.
Amira mengangguk tanda mengerti, namun kemudian dia memukul keningnya karena menyadari bahwa Nirmala tidak akan mengerti jawaban darinya. Sebelum membalas sudah ada chat masuk lagi.
Mbak Nirmala
Dinan tadi tanya, kok kamu gak ada di kontrakan.
Amira membaca ulang pesan dari Nirmala, dia merasa sedikit heran. Mengapa Dinan tahu bahwa dia tidak ada di kontrakan.
Saya sedang di rumah yang dibelikan Abang saya. Mungkin saya akan pindah segera.
Amira nampak berpikir, dia merasa dirinya aneh. Entah karena apa dia merasa bahwa dia sangat terbuka dengan Nirmala padahal dia tidak pernah sedekat ini dengan orang lain. Ah, mungkin dia sudah jatuh cinta pada perempuan itu. Perempuan yang nampak modis dan gaul padahal dia adalah perempuan yang lugu dan polos.
Amira meletakan ponsel di atas meja kemudian dia berbaring miring menghadap ke arah jendela, bisa dia lihat gorden yang melambai-lambai tertiup angin. Dia kini sedang meratapi keadaan. Dia seolah letih dengan segala rasa yang tengah dia gadang-gadangkan.
Amira jadi ingat kejadian saat dia menceritakan semua kepada Luluk, saat itu keduanya sedang berada di kantin. Amira sudah menganggap Luluk sebagai saudara karena hanya dengan Luluk dia dekat walaupun tidak sangat terbuka namun yang ada di garis edarnya hanya ada satu perempuan itu dan satu lelaki itu.
Amira masih ingat perkataan Luluk.
"Prinsip kamu itu gak relevan sama sekali," kata Luluk dengan nada mencemooh.
"Tapi setiap manusia memiliki tujuan, tidak sebatas memenuhi keinginan. Begitu pula aku, memiliki prinsip dan juga mimpi-mimpi." Amira berkata dengan menggebu-gebu.
"Tapi gak dengan melepas Farhat, Mira. Kamu tahu ada seseorang di luar kamu yang bisa berharap jadi kamu."
"Mungkin kita memang tidak memilki satu tujuan."
"Kamu salah, kalian memiliki satu tujuan namun kamu saja yang ngelunjak gak mau menerima keberadaan." Amira menatap Luluk dengan bimbang. Dia tak yakin dengan pemikirannya.
"Kamu kenal dengan baik Farhat, dia orang yang setia dan gak neko-neko. Di mana kamu dapat lelaki seperti dia? Kamu bakal menyesal jika melakukan semua itu."
"Aku tidak menyesal, yang aku sesalkan kenapa baru sekarang aku mengetahuinya." Luluk menatap Amira dengan mengejek.
"Sekarang belum, tapi nanti aku akan buat kamu menyesal karena telah melepasnya." Amira hanya diam saja saat Luluk berdiri dan berlalu dari hadapannya.
Amira membalikan badannya, dia mengubah posisi menjadi menghada ke arah lemari. Dia menatap ukiran yang ada di pintu lemari. Dia bohong jika setelah melepas Farhat dia bahagia, karena pada kenyataannya setelah melepas lelaki itu semuanya menjadi berubah. Tak ada lagi tawa untuknya bahkan senyum tulus pun sepertinya enggan menghampiri.
Cinta, dulu dia beranggapan bahwa dia sangat mencintai lelaki itu, karena ketulusan hati dan kebaikan tingkahnya. Amira terpesona bukan karena fisik semata namun karena kesucian jiwa. Awalnya dia ingin membawa cinta menuju satu titik keagungan namun ternyata cintanya hanya dianggap nafsu belaka.
Amira sangat menyayangkan sikap yang sudah dia lakukan selama itu, dia menyesal menjalin hubungan dengan Farhat. Dia telah menyia-nyiakan banyak waktu karena sebuah perkara yang tidak berfaedah. Namun dia akan tetap bersyukur karena dengan begini dia bisa membedakan sesuatu yang benar dan salah untuk kembali melangkah ke depan.
Amira bangun dari tempat tidur kemudian dia berjalan menuju jendela. Dia merasa kegelisahan yang tak menyenangkan, dia takut untuk melangkah ke depan. Ingatannya membawa pada Dinan saat malam di mana keduanya bermain hujan-hujanan. Dia merasa geli sendiri namun juga merasa resah secara bersamaan. Amira butuh diyakinkan dan dia butuh kepastian, tapi semua itu tak dia dapat dari Dinan.
Amira kembali duduk di tempat tidur, dia menatap kedua telapak tangannya. Tangan ini pernah bersentuhan dengan kulit hangat yang menyalurkan rasa penuh perlindungan, tangan ini bukti nyata bahwa Dinan sama halnya dengan melindunginya. Namun, kembali lagi hatinya menepis bahwa Dinan tidak memberikan kepastian dalam hubungan.
"Lalu apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara untuk membuat pak Dinan bertemu abang?"
---
Share this novel