-Berpikir dahulu sebelum bertindak itu bukan sekedar untuk meminimalisir kekacauan, namun juga untuk memperindah cerita sebagai kenangan.-
---
Amira merasa jantungnya berdetak dengan kencang, bahkan kakinya terasa lemas. Dia tidak pernah merasa sedemikian rupa saat bersentuhan dengan seorang lelaki. Tapi dengan Dinan dia merasakan banyak hal yang dia rasa tidak normal.
Dinan melepas pegangan tangannya membuat Amira bernapas lega namun juga merasa tak memiliki pegangan.
"Bu Am tidak papa?" tanya Deni membantu Amira. Dinan menoleh ke arah Amira kemudian dia berjalan melangkah mendekati beberapa guru.
"Gak papa, Den. Ini ada lubang jadi kakinya masuk." Amira menunjuk lubang yang ada di depannya.
"Oh, hati-hati Bu. Banyak lubang," kata Deni melepas pegangan.
"Iya, terima kasih." Amira mengangguk kemudian berjalan menuju bus yang akan dia tumpangi, di sana ada Doni dan Nirmala yang sedang sibuk mengatur anak-anak.
Amira menghela napas, dia sedang berpikir ada apa dengan dirinya. Dia berjalan menuju Nirmala.
"Dari mana?" Amira menunjuk ke deretan bus.
"Kok kamu berkeringat, padahal dingin loh ini." Amira mengusap keningnya.
"Jauh tadi jalannya," kata Amira. Nirmala mengangguk sambil terkekeh.
"Aku tahu kok, nih si Doni tadi sampai sini juga ngos-ngosan." Doni merasa namanya disebut dia menoleh.
"Apa?"
"Gak ada."
"Mana Dinan?" tanya Doni.
"Tadi berhenti di bus enam." Amira berkata dengan nada sedikit tak yakin.
"Ini udah semua?" Nirmala menoleh ke arah Doni. Dia masih kesal dengan Dinan jadi tak mau tahu tentang sepupunya itu.
Amira tersenyum tipis, sebenarnya jika dia menjadi Nirmala dia akan bahagia. Bagaimana tidak Nirmala memiliki saudara yang begitu memperhatikan dan juga keluarga yang sangat baik. Bukan berarti keluarga Amira tidak baik, keluarga Amira baik namun tidak memiliki kedekatan personal antara satu dengan yang lain.
"Ngapain sih Dinan pindah bus?" Doni menoleh kemudian terkekeh.
"Kamu tahu kalau pak Mitra lagi pendeketan sama bu Misye. Nah, pak Mitra minta tuker ke pak Dinan biar banyak waktu bersama Bu Misye."
"Serius? Emang bu Misye mau?" Doni mengangkat bahu acuh, semua orang juga tahu kalau guru bahasa Inggris baru itu tidak suka dengan pak Mitra namun tengah masa pendekatan dengan Dinan yang tak memperdulikan.
"Bukan lebih baik, jadi Dinan gak ada celah untuk dekat dengan Bu Misye?" Amira melihat Nirmala mengangguk setuju.
"Emang kenapa kalau pak Dinan dan bu Misye?" Amira mengeluarkan suara, dia merasa bingung dengan pemikiran dua orang yang ada di depannya.
"Aku gak setuju," kata Nirmala membuat Amira semakin bingung. Bu Misye adalah guru yang perekrutannya bersamaan dengan Amira jadi dia sedikit mengenal guru satu itu. Selain guru yang cakap dalam bahasa Inggris juga cantik, apa yang salah dengan hal itu.
"Sudah, jangan bergosip." Dinan yang sudah berganti baju berdiri di samping Doni.
"Dinan, maaf ya," kata Nirmala langsung memeluk lengan Dinan namun berusaha dilepas oleh Dinan.
"Ini lingkungan sekolah, Mala."
"Ups lupa," kata Nirmala santai kemudian dia mengajak Amira untuk masuk ke dalam bus.
-----
Amira duduk di bagian luar dekat jalan sedangkan Nirmala lebih memilih duduk di dekat kaca. Amira menoleh ke samping yang ada hanya Dinan yang menyandarkan tubuhnya.
"Kenapa?" tanya Dinan, Amira menggelangkan kepalanya. Padahal dia tidak yakin jika dirinya yang diajak bicara.
Amira berdiri, karena dia ingin melihat anak-anaknya yang tadi ramai menjadi sepi karena Dinan memerintahkan untuk kembali tidur karena jam masih menunjukkan pukul dua dini hari.
"Mau kemana?" kini giliran suara Doni yang terdengar dan tangannya di cekal oleh Dinan.
"Mau lihat anak-anak," jawab Amira dengan berbisik. Dia merasa tangannya terlepas kemudian dia melangkah ke depan, karena dia duduk di kursi tengah-tengah.
Amira melihat beberapa anak tidur dengan berselimut jaket, dia membenarkan posisi jaketnya saat nampak tidak nyaman. Dia melakukan ini karena dia mengingat kejadian waktu SMP, gurunya juga melakukan hal yang saat ini dilakukan oleh Amira.
"Kamu belum tidur, Ju?" tanya Amira saat Juju nyengir saat dia membenarkan posisi jilbabnya.
"Belum bisa," kata Julia sambil menggeser duduknya, memberi ruang Amira untuk duduk.
"Peluk ya Bu, aku gak bisa tidur." Amira menoleh ke arah teman Julia yang sudah tidur pulas.
"Sempit Ju," kata Amira tapi membuat Julia tersenyum masam. Amira tak sanggup melihat itu kemudian dia duduk berdempetan walau tak nyaman.
Amira memposisikan tubuhnya di belakang sedang Julia duduk sedikit ke depan kemudian dia melingkarkan tangan Amira ditubuhnya dan menyandarkan tubuhnya di dada Amira.
Amira tahu, Julia memang siswa yang sedikit manja, karena Julia adalah salah satu anak didiknya di kelas boga. Amira membawa tubuh Julia kedalam pelukannya. Dia membelai lembut bahu Julia sambil bersandar dan memejamkan mata.
Amira merasa tubuhnya terayun, dia juga merasakan bahunya ditepuk. Dia membuka mata, dia melihat Julia yang nampak nyaman dengan tidurnya dia melepaskan tangannya dan menyandarkan tubuh Julia ke kursi.
"Pindah," suara itu membuat Amira terkejut. Amira mengaguk kemudian berdiri, karena kondisi jalan yang tak rata membuat tubuh Amira tergoyangkan dan terhenyung ke depan tepat pada dada Dinan, sehingga tubuh keduanya nampak seperti berpelukan.
Keduanya diam sejenak, sebelum Amira menyadari keterkejutannya Dinan sudah menegakkan tubuhnya.
"Banyak anak," kata Dinan membawa tangan Amira kemudian berjalan lebih dulu dengan berpegang pada sandaran kursi.
"Tidurlah, perjalanan masih dua sampai tiga jam lagi." Amira duduk kemudian mengambil selimutnya dan Dinan membenarkan posisi sandaran Amira supaya nyaman.
Amira segera memejamkan matanya, berharap segala rasa yang memporak-porandakan sistem tubuhnya segera berakhir. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan namun yang jelas dia merasa tubuhnya bersikap berlebihan. Amira jadi berpikir, mungkin karena dia tidak pernah diberi perhatian sedemikian rupa oleh saudara lelakinya jadi saat saudara Nirmala itu memperlakukan dirinya dengan baik tubuhnya merespon abnormal.
Ya, begitu adanya.
---
Amira duduk di kursi dekat sebuah bangunan, dia menatap lekat bangunan itu hingga terbersit dalam ingatannya. Dulu, dia sering menghabiskan waktu untuk berlibur ke kota ini.
"Di sini dingin sekali," kata Nirmala menyusul Amira duduk menghadap ke masjid besar.
"Iya, dingin." Amira masih asik dengan sendirinya.
"Aneh gak sih kita bakal menghabiskan dua hari di kota Apel?" Amira menoleh ke arah Nirmala.
"Mengapa?"
"Terasa aneh saja, biasanya kita berwisata puas ke Bali atau Lombok. Dla ini hanya di kota kecil."
"Mbak pernah menghabiskan waktu di sini?" Nirmala menggelangkan kepalanya membuat Amira tersenyum.
"Di kota ini banyak tempat wisata," kata Amira membuat Nirmala menoleh cepat.
"Kamu pernah kemari?" Amira mengangguk kemudian berdiri.
"Ayo! Kita kembali ke bus untuk menuju penginapan." Amira berjalan lebih dulu dan disusul oleh Nirmala.
Nirmala berjalan di belakang Amira saat mengantri tiket masuk ke kawasan Jatim Park. Dia harus bersabar, karena saat ini memang sedang musim mendekati liburan akhir tahun jadi wajar jika suasana ramai.
"Anak-anak kalian boleh berpencar. Tapi ingat, Dzuhur kita berkumpul di mushola. Nanti kalau kalian berjalan akan menemui mushola di dekat toilet dan kita berkumpul di sana. Pukul sebelas tiga puluh." Suara pak Damar menggema. Amira melihat Nirmala berlahan menuju Dinan, entah apa yang keduanya bicarakan namun satu hal yang Amira rasakan. Canggung karena keduanya sesekali menoleh ke arahnya.
"Bu Mira, ayo jalan!" Pak Kamil salah satu staf kurikulum mendekati Amira. Amira mengangguk kemudian mengikuti langkah rombongan. Dia canggung karena dia harus berjalan bersisian dengan pak Kamil yang notabenenya adalah orang yang tidak dikenal oleh Amira.
"Bu Mira tidak ingin berpose?" tanya Kamil saat melihat Amira hanya sibuk mengamati sekitar.
"Tidak Pak," jawab Amira terus melangkah mengikuti pemandu wisata.
"Pak Kamil gak boleh genit," kata Dena salah satu siswa.
"Bapak gak genit," jawab Kamil membela diri, sedang Amira hanya terkekeh.
Amira mengamati sekeliling hingga matanya tertuju pada satu sudut, di mana seorang lelaki sedang tersenyum ke arahnya. Dan lelaki itu nampak berjalan mendekati posisi dia berdiri.
"Kita jodoh ya?" Fatih tersenyum di depan Amira.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Amira menoleh ke sekeliling namun semua nampak sibuk dengan hal yang mereka amati bahkan Kamil sudah sibuk memotret sana-sini.
"Oh, ikut adikku dan keluarganya berlibur." Amira mengangguk, dia jadi berharap Nirmala datang untuk membantunya.
Amira memang sejak tadi menghindari Nirmala, tepatnya saat Nirmala memaksanya untuk bercerita tentang perjalanan di kota ini. Canggung itu nampak terasa saat Nirmala mengetahui kegagalannya menempuh tahap pernikahan. Entah karena apa? Tapi yang jelas Nirmala seolah berekspresi sama seperti Luluk saat mendengar alasan dia memilih mundur dari pernikahan.
"Ayo jalan," kata Fatih membuat Amira mengangguk tak yakin. Amira dan Fatih berjalan dengan pelan dan Fatih banyak bercerita tentang tempat wisata ini, baik dari masalah kebudayaan hingga penemuan-penemuan fosil yang terpajang. Amira banyak diam, dia tidak tahu harus menyahut seperti apa.
"Kamu haus?" Amira menggeleng tanda tidak, dia tidak haus tapi dia merasa tak nyaman di keramaian. Karena seolah bayangan masa lalu meruak dalam ingatannya.
Bayangan saat dia dan Farhat berlibur kemari, menghabiskan waktu mencoba segala wahana yang ada. Amira menggelangkan kepalanya mencoba mengenyahkan pikiran itu tapi seolah tak bisa dia lakukan. Amira berhenti, tak dia hiraukan Fatih yang sudah berjalan di depannya bahkan sudah tak terlihat lagi.
"Ayo buat cerita baru," kata Nirmala menarik tangan Amira berjalan ke kanan, jalan yang berbeda yang ditempuh oleh Fatih. Dia tidak perduli yang dia inginkan membuat cerita baru untuk dikenang menjadi lebih indah. Buka cerita yang dulu tak indah, namun keindahan cinta yang dulu sudah memudar dengan bergulirnya bunga harapan.
---
Share this novel