Bab 19

Romance Completed 28586

HAPPY READING

***

Sore harinya,

Vero tadi sudah berjanji kepada Kafka ia akan membuatkan makanan untuk pria itu. Ia mengeluarkan bahan-bahan makanan yang ada di kulkas. Cumi, telur, wortel, brokili, buncis, jamur, dan cabe-cabean. Ia akan membuat masakan yang simple. Walau bagaimanapun ia tetap menyukai masakan Indonesia untuk makan di rumah.

Vero membuat cumi isi telur, tumis sayur jamur dan sambal. Setidaknya ketika kuliah dulu di Paris keahlian dalam memasak bertambah. Ia memang sangat menyukai  dapurnya ini, di sinilah ia bisa membuat berbagai macam kreasi makanan.

Ia melirik jam menggantung di dinding menunjukan pukul 16.30 menit. Harusnya Kafka  sudah pulang jam segini. Ia melihat hidangan sudah tersaji di meja, semua dalam keadaan panas dan fresh. Vero mengikat rambutnya ke belakang. Ia menatap penampilannya lagi, ia masih dalam keadaan rapi.

Ia mendengar suara ketukan dari pintu, ia yakin itu adalah Kafka. Vero lalu bergegas membuka hendel pintu. Ia memandang sang kekasih di depan daun pintu. Lengan kemejanya sudah tergulung hingga siku, dan di tangan kirinya memegang tas kerja. Entahlah saat pulang kerja seperti ini, Kafka terlihat lebih tampan.

Pria itu tersenyum memandang Vero, wanita itu mengenakan kemeja floral  tanpa lengan dan rok pensil berwarna kuning. Penampilannya sangat fresh, pria itu mendekat dan memeluk tubuhnya. Pelukan Kafka sangat nyaman, ia merasakan ketenangan setiap dipeluk Kafka. Vero membalas pelukkan itu, ia dapat mencium aroma parfum yang menyegarka dari tubuh Kafka.

Kafka melepaskan pelukannya, ia menangkup wajah Vero dengan jemarinya, ia kecup bibir itu singkat dan  lembut. Setelah itu Vero memperlebar daun pintu dan mempersilahkan Kafka masuk.

“Bagaimana kerjaan kamu hari ini?” Tanya Vero, menatap sang kekasih.

“Baik, lancar seperti biasa,” ucap Kafka, ia menyimpan tas kerjanya di atas meja. Ia melihat Vero yang berdiri tidak jauh darinya.

“Tapi kamu ke mana aja sayang?” Tanya Kafka.

“Tadi habis  brunch, ke studio foto, lihat hasil katalog cookies aku.”

“Udah jadi?”

“Mungkin lusa udah jadi.”

“Tadi sama siapa? Sama Ester?” Tanya Kafka ia duduk di sofa, lalu mengistirahatkan punggungnya.

“Iya, sama Ester.”

“Kamu mau minum nggak?”

“Air mineral dingin ada nggak?” Tanya  Kafka.

Vero mengangguk, “Ada, bentar aku ambilin,” ucap Vero, mengingat get contact tadi siang, rasanya masih terngiang-ngiang dengan nama yang disematkan untuk Kafka. Apa benar Kafka se-playboy itu? Apa benar dia arrogant? Apa benar dia suka main-main sama cewek di luar sana, karena tadi ia lihat banyak sekali menyematkannya dengan room-room super sexy. Apa Kafka sering jajan di luar, selama kejombloannya? Rasanya nggak mungkin seorang Kafka seperti itu. Dia kan dokter  spesialis, tahu bagaimana bahayanya kalau jajan di luar.

Vero mengambil air mineral dingin di dalam kulkas. Setelah itu ia melangkah mendekati  Kafka yang sedang mengambil remote, sedetik kemudian TV menyala.

Kafka mendongakan kepalanya, menatap Vero. Ia tersenyum kepada wanita itu dan ia mengambil air mineral  dari tangan Vero.

“Makasih ya, sayang,” ucap Kafka, ia membuka tutup botol dan meneguknya.

“Tadi kamu ada jadwal operasi?” Tanya Vero, ia duduk di samping Kafka.

Kafka mengangguk, “Iya, tadi siang jam satu, selesai setengah empat. Selesai operasi langsung pulang.”

“Lumayan lama juga.”

“Tergantung jenis penyakitnya sayang. Tadi operasi katup jantung,  3-5 jam selesai.”

“Capek?”

“Lumayan. Kalau udah lihat kamu kayaknya capeknya hilang,” ucap Kafka.

Vero tersenyum, “Kamu bisa aja,” ucap Vero.

Vero mengangkat kepalanya,  agar ia bisa melihat wajah Kafka dengan jelas. Mata pria berbinar-binar, terlihat sangat bahagia dan ia menahan tawa. Di bawah penerangan lampu rambutnya hitam pekat. Vero memegang pundak Kafka, dan ia memijatnya pelan. Ia melihat Kafka memejamkan mata menikmati pijatannya yang lembut.

“Enak nggak?” Tanya Vero.

Kafka mengangguk, “Iya.”

Beberapa detik kemudian, mata Kafka terbuka, karena jemari itu sudah menempatkan posisinya di antara leher dan bahu, lalu mengenai telinga. Membuat ujung-ujung saraf, memberi rangsangan ke seluruh tubuh. Pijatan lembut itu seketika terhenti, mereka saling menatap satu sama lain.

“Kenapa? Apa aku pijetnya sakit?” Tanya Vero tidak mengerti.

“Sama sekali nggak sayang.”

Kafka mengubah posisi tubuhnya, ia dengan reflek lalu mengurung tubuh Vero. Vero meringsut di sofa, ia menatap Kafka, kliatan membara terlihat dari mata itu. Vero menelan ludah, ia memegang dada bidang Kafka, agar ia memberi jarak kepada pria itu.

“Kenapa?” Bisik Vero pelan.

“I want …” ucap Kafka pelan.

Vero menyungging senyum, ia menarik kemeja Kafka lalu mendekatkan kepalanya. Bibir mereka bertemu dan lalu saling memangut satu sama lain. Cara ciuman  mereka terkesan seperti hari esok akan kiamat dan bahwa hari ini adalah hari terakhir melakukannya.

Ciuman mereka, dalam dan menyeluruh. Mereka saling menghisap bibir, lidah membelit dan saling bertukar saliva. Kafka merapatkan tubuhnya hingga tidak ada jarak diantara keduanya. Ia tidak tahu berapa lama ia merasakan seperti ini, ia tidak bisa bernafas jika mereka tidak memberi jeda. Ia tidak ingin, ia tiba-tiba pingsan kehabisan oksigen. Tapi saat ini ia lebih memerlukan bibir Kafka dibanding oksigen.

Ia masing menghisap bibir itu, mereka masih saling memangut tanpa henti. Kafka melepaskan kecupan, agar mereka bisa menghirup oksigen. Tangan Kafka merangkum wajah Vero dengan jemarinya. Kafka lah yang menyelamatkan dari kegilaannya.

“Aku  mau kita slow down,” bisik Kafka.

Mereka sama-sama menetralkan nafas, Kafka menyentuh bibir Vero yang merah alami. Lalu tangan kirinya mengelus rambutnya dengan lembut. Pikirannya buyar ketika Kafka mendorong tubuhnya. Ia mersakan bokongnya  menambrak sesuatu dan sebelumnya  ia menoleh untuk melihat apa benda itu.

Kafka ternyata mengangkat tubuhnya dan mendudukan di atas meja kerja di dekat jendela. Kafka berusaha  membuka tungkai kakinya, namun usaha itu dihalangi rok pensil superketat yang ia kenakan. Kafka masih memangut bibirnya dengan ritme yang cepat ia, ia membalas lumatan-lumatan Kafka tidak kalah ganasnya.

Ia membuka kancing kemeja Kafka satu persatu, tanpa melepaskan bibirnya,  hingga kemeja itu sudah terlepas dari tubuh Kafka. Ia mengelus dada bidang itu dengan jemarinya. Kafka melepaskan bibirnya, lalu menatap rok yang dikenakan Vero.

“Sayang, kamu kenapa sih pakai rok ini, lagian cuma di rumah aja,” Kafka protes.

Vero memfokuskan pikirannya, ia memandang bibir Kafka memerah ada terselip lipstick di bibirnya.

“I feel sexy and it's comfortable,” ucap Vero.

“Buat kamu mungkin nyaman. Tapi nggak untuk aku,” timpal Kafka.

Vero lalu tertawa, ia melihat tatapan frustasi pada raut wajah Kafka.

“Aku nggak kebayang kalau kamu pakek rok sepan ini. Menurut aku agak aneh ya, kalau kamu pakainya, nanti kamu dikira gay.”

“You know what I mean,” ucap Kafka penuh penekanan.

Kilatan mata tajam Kafka terlihat, sementara Vero tertawa geli, menepuk bahu Kafka. Ia menyentuh bibir Kafka, ia usap lipstick yang membekas di bibirnya.

“Di bibir kamu ada lipstick aku,” ucap Vero.

“Aku nggak masalah ada lipstick di bibir aku.”

“Why? Banyak loh ini,” ucap Vero ia mengusap bibir Kafka dengan lembut.

“Yah, bagi aku itu resiko aku cium kamu sayang. Aku lebih suka ada lipstick dibibir aku dari pada nggak nyium sama sekali.”

“Uh, dasar kamu ya.”

Kafka menatap Vero, ia balik mengelus bibir Vero, “Bibir kamu rasanya enak,” ucap Kafka.

Vero mengerutkan dahi, “Bibir yang mana?”

Kafka tertawa geli mendengar pertanyaan Vero . Vero ikut tertawa, ia tahu apa yang ada di dalam kepala Kafka. Tawanya lepas, sehingga ia merasakan getaran pada tubuhnya. Oh Tuhan, lihatlah betapa tampanya Kafka tertawa lepas seperti itu. Gigi putihnya yang berjejer rapi. Dia seperti menunjukan tawanya kepada dunia.

“Bibir kamu dua duanya enak, atas dan bawah,” ucap Kafka sambil tertawa.

“Kamu tau nggak?”

“Apa?”

“Kamu tuh buat aku akhir-akhir ini gagal fokus.”

“Kenapa?”

“Kalau aku melamun dikit aja, keinget sama kamu.”

“Ya ampun, segitunya.”

“Apalagi inget bibir kamu.”

“Kamu sering cium cewek lain nggak?” Tanya Vero ia mengaluhkan tangannya ke leher Kafka.

“Ya, enggak lah. Aku hanya cium cewek yang aku suka, misalnya kamu.”

Kafka menarik nafas, ia mengelus punggung Vero, “Sayang, kamu lain kali jangan pakek rok kayak gini lagi ya. Aku tuh, susah mau apa-apain kamu,” ucap Kafka, tangan kirinya sudah mulai masuk  ke dalam roknya, dan mengelus secara perlahan.

“Emangnya kamu mau apain aku?” Tanya Vero.

“Naked,” jawab Kafka.

Vero tertawa, ia memukul dada Kafka, mereka lalu sama-sama tertawa lagi, kali ini tawanya lebih kencang.

“Aku suka kalau kamu di atas, seperti kemarin,” ucap Kafka sambil tertawa.

Kafka memperhatikan rok Vero, “Rok kamu ini ada resletingnya apa nggak sih?” Tanyanya penasaran, ia mulai meraba bokong Vero, ia mencari dimana resleting itu berada, namun belum ia temukan.

“Ada kok.”

“Di mana?”

“Di samping, emang nggak nampak sih,” ucap Vero, menunjuk resletingnya yang terselip di bagian kiri.

Vero melihat raut wajah bahagia Kafka,  tangannya berada di sisi pinggangnya, tatapan evil itu seperti ingin menarik resletingnya. Bibirnya sepertinya sudah bersiap untuk menginvansi bibirnya lagi.

“Aku nggak perlu jelasinkan kita mau ngapain,” bisik Kafka, ia lalu mengangkat tubuh Vero.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience