Bab 27

Romance Completed 28586

HAPPY READING

***

Kafka melirik Vero yang berada di sampingnya. Oh God, ia bingung harus ngapain dan berbuat apa. Jujur ini bukan pertama kalinya ia bertemu dengan orang tua sang pacar. Namun entalah tetap saja merasa canggung luar biasa. Ia seorang pria tentu saja ia mewaspadai papa Vero, biasa sang ayah paling protektif kepada anak perempuannya.

Kafka menguatkan mental untuk menatap ayah dari pacarnya. Ia juga tahu bahwa jika ibu dari pasangannya biasa sangat jeli dalam memilih pasangan anaknya. Biasa menuntut terbaik dari yang terbaik.

“Nak Kafka baru pulang kerja?” Tanya papa Vero.

“Iya, om.”

“Kerja di mana?”

“Kerja di rumah sakit Mayapada di Kuningan om, nggak terlalu jauh dari sini,” ucap Kafka.

“Kalau boleh tau nak Kafka dokter apa?”

“Saya dokter spesialis bedah jantung, om.”

“Wah, hebat itu, pasti nak Kafka cerdas sekali,” ucap mama Vero.

Kafka bersyukur bahwa ia diterima baik di keluarga Vero. Terlihat jelas bagaimana antusiasnya mama dan papa Vero bertanya dengan senyum mengambang. Ia melirik Vero yang berdiri di sampingnya hanya diam menatapnya.

“Kebetulan saya dipercaya sama orang tua buat mengelola rumah sakit.”

“Wah, bagus itu.”

Bagi seluruh orang tua di muka bumi ini, bahwa calon menantu yang berprofesi sebagai dokter merupakan calon idaman. Tentu saja dokter dikenal dengan sabar, memeriksa dengan teliti dan kemudian meresepkan obat mujarab. Apalagi dengan sabar menanyakan  bagaimana keadaan anda? Apa yang anda rasakan? Ada keluhan apa? Jika bukan seorang dokter tidak akan peka. Satu hal yang pasti masa depan cerah, penentu kelangsungan hubungan. Yang paling penting jasa konsultasi gratis, setiap orang tua pasti mengalami keluhuan kesehatan, dengan adanya Kafka maka akan terasa aman.

“Ajak orang tua kamu ke sini, kita makan malam bersama.”

“Rencananya sih gitu om.”

“Kapan?”

“Dalam waktu dekat om. Mama dan papa di rumah juga katanya mau ketemu sama om dan tante. Katanya mau kenalan.”

“Syukurlah kalau gitu. Om juga mau kenalan dengan orang tua kamu,” ucap papa antusias.

“Orang tua kamu sehat?”

“Sehat banget om.”

“Masih kerja nggak?”

“Masih om, kadang-kadang ke kantor, walau nggak sering. Cuma ngecek kerjaan aja dan ikut meeting.”

“Sama dong kayak om. Kecuali ada meeting penting, baru om ke kantor.”

Mama memandang Kafka, ia bersyukur pria berwajah tampan itu lah yang menjadi calon menantu berikutnya. Vero memang tidak salah pilih  dalam memilih pasangan. Pria-pria yang mendekatinya selalu berkualitas. Namun entahlah, ia merasa lebih suka Vero bersanding dengan Kafka daripada mantannya yang dulu.

“Nak Kafka pasti capek pulang kerja. Makan dulu ya.”

Kafka menatap Vero, sang kekasih hanya tersenyum, “Iya tante.”

Papa dan mama Vero beranjak dari duduknya, mereka melangkah menuju ruang keluarga. Vero berdiri di sampingnya.

“Oiya, nak Kafka,” ucap mama Vero.

“Iya, kenapa tante.”

“Tadi tante dapat informasi, kirain tante beneran.”

“Infomasi apa tante?” Tanya Kafka.

“Kirain tante, Vero hamil. Makanya tante nyuruh kamu ke sini.”

Kafka mengerutkan dahi, lalu menoleh memandang Vero, “Hamil?”

“Aduh, kenapa mama bahas itu lagi?” Desis Vero, topik itulah yang ingin ia hindari, malah dibahas lagi dengan Kafka. Padahal sudah tahu kalau dirinya belum hamil.

“Issuenya  hamil sama  nak Kafka. Makanya tante nyuruh kamu ke sini.”

Kafka menoleh menatap Vero, “Sayang beneran kamu hamil.”

Vero nyaris menganga mendengar mama dan Kafka, “Enggak, bukan gitu sayang. Ceritanya tuh gini, tadi mama dapat telfon dari mantan aku sayang, si Jay. Tadi aku kan ke mall sama Ester. Di  mall itu aku  ketemu sama mantan. Di sana ada Jay  ngejer-ngejer aku terus, aku bilang aja kalau aku hamil, biar dia nggak ngejer gitu. Eh, sampe ke telinga mama,” ucap Vero menjelaskan kronologinya seperti apa.

“Tapi beneran aku nggak hamil,” Ucap Vero lagi.

Kafka menahan tawa, ia lalu memandang mama vero, “Kalau ada apa-apa sama Vero, saya siap tanggung jawab tante,” ucap Kafka.

“Syukurlah kalau begitu. Tante percaya sama kamu.”

Kafka mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan area keluarga, rumah yang di tempatinya sangat tenang dan nyaman. Di dinding sebelah kiri, terdapat jendela berukuran besar, sehingga view kolam renang terlihat. Ia menatap di dinding, terdapat foto keluarga. Ia yakin pria yang di samping Vero di belakang kedua orang tuanya itu adalah saudaranya bernama Andre.

“Kamu berapa saudara Kaf?” Tanya mama membahas topik yang berbeda, beliau melangkah menuju meja makan, mempersiapkan makanan untuk calon menantu idamannya.

“Dua tante, saudara saya sudah menikah,” ucap Kafka.

“Wah, tinggal di mana sekarang saudara kamu?” Tanya mama, beliau menyiapkan piring dan nasi, dibantu sama bibi.

“Di Jakarta juga tante.”

“Yang baru nikah kemarin itu, ya,” mama menyiapkan lauk pauk di meja.

“Iya, tante.”

“Kamu suka rendang kan,  Kaf?”

“Suka tante,” ucap Kafka, ia menatap Vero mendekati sang mama, ikut turun tangan menyiapkan makanan.

Vero menyiapkan gulai ayam di atas meja, di situ juga ada kentang mustofa, sayur tumis brokoli  dan lalapan timun yang segar. Vero tidak menyangka bahwa sang mama repot-repot seperti ini, demi Kafka.

Beberapa menit kemudian akhirnya makanan semua sudah tersedia di meja. Mama Vero menatap Kafka,

“Kamu makan ya, sama Vero. Tante sama om tadi baru selesai makan.”

“Baik, tante.”

Kini Vero dan Kafka duduk di kursi meja makan, jujur sebenarnya ia masih kenyang setelah karena jam makan siang, namun ia tidak akan menolak jika ditawarkan, mengingat makanan yang di suguhkan di atas meja ini  sangat mengugugah selera.

Kafka mengambil nasi lalu ia masukan ke dalam piring, ia memandang mama dan papa Vero meninggalkan mereka, memberi privasi mereka makan. Ia melihat bibi menuangkan air ke dalam gelas.

“Makan yang banyak mas,” ucap bibi ramah.

“Iya, bi. Bibi nggak ikutan makan juga?” Tanya Kafka.

“Bibi udah makan mas, tadi sama ibu dan bapak. Mas ini pacarnya non Vero yang baru ya.”

Kafka tersenyum dan mengangguk, “Iya, bi.”

“Ayo, non Vero makan yang banyak. Jangan suka diet-diet, kan sekarang kalau sakit ada pacar non yang dokter.”

“Emang non Vero suka diet-diet ya bi?” Tanya Kafka.

“Iya mas, non Vero mah pagi-pagi biasa udah makan rujak jambu Kristal, terus sukanya makan mangga muda. Udah di ingetin sama ibu dan bibi, kalau non Vero itu punya asam lambung. Soalnya udah kapok gara-gara asam lambung masuk ke rumah sakit mulu. Repotnya satu keluarga.”

Vero nyaris menganga mendengar ucapan bibi yang ngadu kepada Kafka, prihal dirinya suka makan rujak buat,

“Ih, kapan bi, masuk rumah sakit?”

“Pernah itu non, dua tahun lalu, waktu non seneng-senengnya makan rujak. Kata non di Paris nggak ada jual ginian.”

“Ya emang, di Paris nggak ada jualan rujak.”

“Terus sebulan kemudian non masuk rumah sakit kan.”

“Itu kan udah lama bi, masih penyesuaian perut. Sekarang mah enggak.”

“Tetep aja, khawatir non.”

“Sayang, kalau orang tua ngomong itu di denger. Bener kata bibi, jangan suka makan pedes,” ucap Kafka.

“Aku nggak larang kamu makan buah, tapi cabenya di kurangin.”

“Iya, iya.”

Bibi tersenyum penuh kemenangan, karena pacar majikannya yang satu ini sangat baik memperingatkan majikannya untuk mengurangi makan pedes.

“Makan yang banyak mas, non Vero.”

“Iya, bi.”

Kafka melihat bibi meninggalkan mereka, agar memberi ruang privasi antara mereka berdua. Kafka melanjutkan makannya dengan tenang.

“Sayang.”

“Iya.”

“Emangnya mantan kamu itu dulu akrab dengan mama kamu? Sampe nelfon mama kamu gitu?”

“Dulu sih iya, nggak tau sekarang udah tebel mukanya kali, sampe itu juga ditanyain. Enggak punya kerjaan kali ya,” dengus Vero.

Kafka menahan tawa, “Iya, sih kayaknya nggak ada kerjaan. Harusnya kalau sudah jadi mantan, nggak usah nelfon atau berhubungan lagi. Aku berasa gimana gitu, kalau ada mantan yang masih berhubungan dengan keluarga kamu.”

“Tapi tenang aja, nanti aku ngasih tau mama, untuk blokir nomor si Jay. Jaga perasaan kamu juga kan.”

“Itu kamu ngerti sayang.”

“Kamu tadi bilangnya hamil?”

“Iya, biar dia nggak ngejer-ngejer lagi. Tadi dia di mall nggak sendiri, ada Fiona juga kok mantan kamu.”

“Owh ya?”

“Iya. Aneh kan, lagi sama pasangannya juga, masih ngejar-ngejar aku, bete in banget.”

“Udah, jangan bahas dia lagi.”

Vero menatap Kafka, “Enak nggak makanannya?” Tanya Vero.

“Enak banget sayang.”

Kafka mengambil air mineral di gelas lalu meneguknya secara perlahan, ia menatap sang kekasih, “Nanti kamu pulang ke apartemen?” Tanya Kafka.

“Pulang.”

“Pulangnya barengan aja ya. Mobil kamu biar di sini aja. Kamu nggak lupa kan, kalau malam ini ke rumah mama.”

“Enggak kok nggak lupa.”

“Yaudah, habisin makanan kamu.”

“Iya, iya,” ucap Vero.

***

Kafka melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 17.20 menit. Ia harus pulang, karena nanti malam ia dan Vero akan bertemu dengan orang tuanya. Kafka menatap mama dan papa Vero di ruang keluarga. Ia melangkah mendekati beliau.

“Udah selesai makannya?”

“Sudah tante.”

“Enggak ngopi dulu, Kaf?” Tanya papa Vero.

Kafka tersenyum, “Mau pamit pulang om, soalnya nanti malam mau makan malam sama orang tua di rumah.”

“Sama Vero?”

“Iya, om sama Vero juga. Mama dari kemarin nyuruh dinner di rumah sama Vero.”

“Rumah orang tua kamu di mana? Jauh dari sini?” Tanya beliau lagi.

“Enggak jauh om, di Menteng.”

“Deket, dong dari sini, palinga  berapa menit aa. Ajak orang tua kamu ke sini, juga Kaf.”

Kafka tersenyum, “Rencananya gitu om, pasti bakalan ke sini dalam waktu dekat.”

“Om senang akhirnya bisa kenal sama kamu. Salam buat mama dan papa kamu.”

“Iya, om.”

Mama dan papa, mengantar Vero hingga ke teras. Ia menatap putrinya masuk ke dalam mobil. Kafka membuka power window, ia tersenyum kepada orang tua Vero di sana. Sementara Vero melambaikan tangan kepada beliau. Semenit kemudian mobil meninggalkan area rumah berpagar tinggi itu.

****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience