HAPPY READING
***
Ester menatap Vero, wanita itu siang-siang seperti ini sudah berada di rumahnya secara mendadak. Sahabatnya itu berada di pintu utama.
“Tumben banget nggak chat dulu mau ke sini,” ucap Ester memperlebar daun pintu mempersilahkan Vero masuk ke dalam.
“Iya nih, maaf mendadak, sekalian ngajakin lo makan siang.”
“Lo mau ke mana, rapi amat,” tanya Ester menatap penampilan Vero, dia mengenakan dress floral berwarna biru. Rambut panjangnya di ikat kebelakang.
“Mau ngajakin lo ke mall,” ucap Vero, ia mengikuti langkah Ester masuk ke dalam, ia melihat beberapa koper berada di ruang keluarga.
“Banyak banget koper di situ, emang siapa yang berangkat?”
“Nyokap sama bokap mau ke pergi ke Vatikan, biasa mau wisata religi.”
“Wihh, kenapa lo nggak ikut. Siapa tau kan lo bisa rajin ibadah biar hati lo tenang,” ucap Vero.
“Yah, kalau gue mah nanti-nanti. Ibadah sama lo juga lumayan tenang.”
“Ih, biasa main hape mulu lu. Gue mah khuyuk kalau ibadah.”
“Ih, bukannya lo yang main hape,” Ester dan Vero lalu tertawa bersama.
Vero tau kalau Vatikan itu adalah tujuan destinasi favorit bagi umat katolik di dunia untuk melakukan perjalanan rohani. Ia tahu bahwa Vatikan tidak pernah sepi dari wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota Roma apalagi yang ingin mengikuti perayaan Hari Raya Paskah. Di sana ada Gereja Santo Petrus, yang digunakan tempat ziarah dan berdoa. Selain itu ada juga gereja, karya-karya pelukis terkenal seperti Michelangelo yang memancarkan aura spiritual. Itu akan membuat perjalanan sangat indah dan dekat dengan Tuhan.
Vero menatap mama dan papanya Ester keluar dari kamar. Vero berikan senyum terbaiknya kepada orang tua Ester.
“Siang, tante, om,” ucap Vero.
Mama Ester tersenyum kepada Vero, Vero itu adalah sahabat Ester sejak kuliah di Paris,
“Siang juga Ver. Udah lama kamu nggak main ke sini,” ucap mama Ester.
“Biasa tante, sibuk ngurusin bisnis,” ucap Vero terkekeh, padahal tim mas Andre lah yang pontang-panting mengerjakan bisnisnya, ia hanya terima bersih saja.
“Owh ya, bisnis apa?” Tanya mama Ester penasaran.
“Bisnis cookies tante.”
“Udah lounching belum?”
“Belum tante, tapi bulan depan bakalan lounching kok.”
“Keren kamu. Nanti tante beli cookies kamu.”
“Makasih tante, tante tenang aja di jamin enak.”
“Ester kamu nggak mau ikutan bisnis kayak Vero,” tanya mama.
Ester menoleh memandang sang mama, “Nanti deh, Ester bisnis rendang,” ucap Ester asal, padahal ia tidak berniat untuk berbisnis apa-apa.
“Wah, bagus itu. Papa dukung niat kamu,” ucap papa, papa Ester bersyukur bahwa mata batin anaknya sudah terbuka untuk berbisnis.
“Kapan mau mulai Es? Papa modalin,” papa Ester mulai semangat menatap putrinya.
Ester mengusap tengkuknya yang tidak gatal, ia menyungging senyum, “Hemmm, kapan ya enaknya,” ucap Ester bingung.
“Habis papa pulang dari Vatican deh,” ucap Ester lagi.
“Good, papa suka semangat kamu,” ucap papa.
Ester menatap seorang pria yang melangkah masuk ke dalam rumah, pria itu mengenakan kemeja hitam dan celana jins. Di lehernya ada sebuah lanyard berwarna hitam, dia adalah pak Didi driver di kantor sang papa.
“Siang pak, mau berangkat?” Tanya pak Didi
“Iya, ini sudah siap,” ucap papa Ester.
Pak Didi lalu membawa koper keluar dan memasukan ke dalam bagasi mobil. Vero menatap Ester memeluk sang mama.
“Mama dan papa pergi dulu ya sayang,” ucap mama kepada Ester.
“Iya, ma.”
“Mama titip rumah ya sama kamu.”
“Iya, ma.”
“Kamu jangan ke mana-mana, tetep di rumah, jangan keluyuran,” mama memperingati.
“Iya, iya.”
“Besok anaknya temen mama mau datang, pokoknya kamu jaga rumah.”
“Iya, ah, itu mulu diingetin,” sungut Ester.
Papa tertawa, ia memeluk anak gadisnya, “Papa pergi dulu ya sayang.”
“Iya, pa.”
“Kamu temenin Ester ya, Ver,” ucap mama Ester memeluk Vero.
“Siap tante.”
“Tante berapa lama ke Vatican?” Tanya Vero.
“Palingan dua Minggu.”
“Wihh, lama juga ya.”
“Biasanya juga ke Eropa sebulan,” timpal Ester.
“Kalau cuma beberapa hari nggak kerasa liburannya,” mama Ester tertawa.
Ester dan Vero menatap mama dan papanya masuk ke dalam mobil. Semenit kemudian, mobil meninggalkan area rumah bertingkat itu dan meninggalkan mereka. Ester masuk ke dalam lagi, mereka menaiki tangga menuju lantai atas.
***
“Siapa sih yang mau datang?” Tanya Vero penasaran, ia masuk ke dalam kamar Ester.
“Tau deh, siapa namanya lupa, Nicholas apa ya.”
“Owh ya? Emang dari mana?” Tanya Vero, ia memilih duduk di sisi tempat tidur, memandang kamar Ester yang tidak banyak berubah, hanya ada tempat tidur, walk in closet dan kamar mandi. Kamar Ester memiliki jendela besar yang terbentang luas yang menghadap ke kolam renang.
“Dari Perth.”
“Australia?”
“Iya.”
“Ngapain ke sini?” Vero semakin kepo.
“Katanya ada urusan bisnis gitu, nggak tau bisnis apa.”
“Kenapa nggak sewa hotel aja, takut ngerepotin lo tau.”
“Nah itu, ribetnya ada tamu. Mama nih yang ngasih ide nginep di rumah. Gua aja nggak kenal Nicholas itu siapa? Anak temen mama yang mana, juga nggak tau. Mana di suruh jemput bandara besok.”
“Hah! Lo di suruh jemput ke Bandara?”
Ester mengangguk, “Iya lah, siapa lagi.”
“Enak bener minta jemput segala. Ngerepotin aja. Kan banyak taxi di bandara!”
“Tau tuh, nyokap gue. Alasannya sih dia pertama kali ke Jakarta.”
“Padahal udah gede, kenapa manja banget minta jemput segala,” dengus Vero.
“Tau tuh! Sebel juga gue dengernya!”
“Pasti orangnya sok ngeboss gitu, kan?”
“Kayakanya sih gitu.”
“Belum apa-apa, tuh cowok udah songong banget, minta-minta jemput.”
“Betul banget, setuju sama lo! Sok-sok gitu.”
“Kalau apa-apa minta tolong lo, lo bilang aja suruh download aplikasi gojek. Biar dia ke mana-mana nggak repotin lo.”
“Iya, bener. Nanti gue suruh dia download tuh aplikasi. Biar nggak manja.”
“Kita aja di Paris bisa sendiri, nyari taxi sendiri, nyari apartemen sendiri, masak sendiri. Lah dia enak banget minta layanin lo di Jakarta.”
“Setuju sama lo.”
“Nanti gue suruh dia apa-apa sendiri. Males gua ngeladenin orang yang baru kenal.”
“Intinya, lo jangan mau di suruh-suruh. Kalau apa-apa suruh dia mandiri, buka google, cari tahu sendiri!”
“SETUJU!”
“Inget lo pokoknya jangan mau, pokoknya dia apa-apa harus sendiri!”
“SETUJU!”
Vero tersenyum puas setelah memberi khotbah dan ultimaltum kepada Ester. Sedangkan Ester lalu mengambil botol mineral di atas meja.
“BTW lo ngapain di mari?” Tanya Ester.
“Gue minta temenin lo belanja.”
“Wihh, belanja apa?” Ester duduk di samping Vero.
“Belanja underware aja sih di Victoria Secret. Sama beli dress buat nanti malam ketemu orang tuanya Kafka.”
“Perasaan Minggu kemarin lo udah beli underware di sana. Emang kurang?”
“Gue mau beli lingerie, yang super sexy gitu.”
“Ya ampun, lo udah mulai nakal, Ver.”
“Kan emang nakal. Masa gitu aja lo nggak tau.”
“Ngeri ah lo, mainan lo ranjang. Pasti Kafka mainnya oke.”
“Yah, gimana. Enggak bisa nolak gua.”
“Terus-terus.”
“Kata Kafka pengen gua pakek lingerie.”
“Ih, terlalu ngeri deh gaya pacaran lo sama Kafka.”
“Tapi gue, pengen ada aja gitu lingerie sexy, biar Kafka suka,” ucap Vero.
“Astaga, lo pacarannya, parah banget sumpah, ngeri,” ucap Ester, ia tidak membayangkan gaya pacaran Vero seperti apa, karena dia sudah ingin hal yang aneh-aneh, beli lingerie segala buat kekasih barunya.
“Ah, macam lo nggak aja.”
“Sumpah, gue nggak. Gue nggak kayak lo tau. Gue masih level nerd. Lo mah udah professional.”
Vero lalu tertawa geli, “Ah lo. Udah cepet ganti baju sana. Sekalian kita lunch di Bistecca.”
“Iya, iya.”
Vero memandang Ester melangkah menuju walk in closet. Dia mengambil celana jins dan kaos crop top rajut berwarna putih. Sambil menunggu Ester berdandan, Vero menatap ke arah jendela, ia melihat pemandangan view kolam. Ia melihat bibi di dekat kolam sambil duduk menikmati makan siang.
Makan siang seperti ini, emang enak menikmati angin sepoi-sepoi. Ia tahu bahwa bibi yang bekerja di sini, sudah hampir 10 tahun ikut mama dan papa Ester, sejak Ester di sekolah. Bibi sudah di anggap sebagai keluarga sendiri.
Beberapa menit kemudian, ia melihat Ester sudah berpakaian rapi, “Udah siap?”
“Iya, udah.”
“Oiya, lo beneran mau bisnis rendang.”
Ester mengedikan bahu, “Enggak tau, tadi asal nyebut aja sih.”
“Ya ampun, kirain beneran.”
“Udah lah, jangan mikirin rendang. Gua juga nggak tau rendang kayak gimana yang bakalan gue jual.”
“Iya, ih. Bokap dan nyokap kita sama aja. Mungkin bosen kali ya kita di rumah mulu.”
“Mungkin di omongin sama temen-temennya, kalau kita lulusan kuliner di Paris tapi nggak ada bisnis. Kalau ada bisniskan biar nggak dianggap pengangguran aja, biar kelihatan sibuk.”
“Bener banget.”
Ester dan Vero pun lalu menuruni tangga. Mereka melangkahkan kakinya menuju pintu utama ia menatap bibi di dapur. Bibi menatap anak sang majikan sudah turun ke bawah.
“Eh, non Ester, non Vero.”
“Hai, bi,” ucap Vero.
“Mau pergi non?” Tanya bibi, melihat dua gadis itu sudah berpakaian rapi.
“Iya nih bi, mau ke Senayan.”
“Non Ester sama non Vero nggak makan dulu?” Tanya bibi.
“Kita makan di luar aja bi.”
“Hati-hati non perginya.”
“Iya, bi tenang aja.”
“Mau titip apa bi? Nanti kita beliin di mall,” ucap Vero.
“Donat aja non.”
“Ok, siap bi.”
***
Share this novel