HAPPY READING
***
“Ini rumah orang tua kamu?” Tanya Vero, ia keluar dari mobil begitu juga dengan Kafka.
“Iya.”
Vero menatap bangunan bertingkat berwarna putih, memiliki pilar yang menghubungakan ke atas sehingga tampak megah. Rumah orang tuanya dan rumah orang tua Kafka sepertinya tidak jauh berbeda. Ia menyeimbangi langkah Kafka menuju pintu utama. Pintu utama itu terbuka, sepertinya sengaja di buka oleh sang pemilik rumah untuk nyambut kehadirannya. Vero masuk ke dalam, ia memperhatikan area ruangan yang tertata rapid an sangat bersih.
Langkahnya terhenti ia memandang seorang wanita cantik yang berada tidak jauh darinya. Ia ingat betul siapa wanita berparas cantik itu, dia adalah wanita yang dulu menikah di gunung Pancar. Dia sangat elegan mengenakan a-line dress berwarna hijau botol, mengingatkannya kepada Kate Middleton, rambutnya bergelombang dan senyumnya sangat manis. Oh God, ia seperti bertemu wanita dari kerajaan dan sedangkan dirinya seperti wanita pecicilan dan sangat tidak dewasa, mengenakan dress super terbuka seperti ini.
“Hai, ayo masuk,” ucap Kenny, melangkah mendekati Kafka dan Vero.
Kafka tersenyum, ia merangkul bahu Vero, “Itu kakak ipar aku sayang, namanya Kenny,” bisik Kafka memperkenalkan Kenny kepada Vero.
Kenny tersenyum menyambut kehadiran orang yang paling di nanti di rumah ini. Mereka pernah bertemu sebelumnya di acara wedding kemarin. Wanita cantik itu mengenakan silk dress berwarna merah, rambut panjangnya diikat ke belakang, seperti wanita masa kini yang modern. Ia akui bahwa gadis yang bersama Kafka itu sangat cantik dan sexy.
“Malam mba Kenny,” sapa Kafka.
“Malam juga Kaf, ayo masuk,” ucap Kenny ramah, ia mempersilahkan Kafka dan Vero masuk.
Kenny datang ke sini, memang sengaja untuk makan malam bersama keluarga, karena Kafka ingin memperkenalkan kekasihnya.
“Kalau nggak salah namanya Vero ya,” ucap Kenny mengingat siapa nama wanita itu.
Vero mengangguk, “Iya, mba benar, aku Veronica, panggilannya Vero.”
“Jadi Vero yang berhasil merebut hati kamu Kaf.”
“Ah, mba Kenny bisa aja.”
“Pantes aja, cantik banget sih,” ucap Kenny terkekeh.
Vero tertawa mendengar pujian dari Kenny, padahal ia pikir wanita itu jauh lebih cantik dan dewasa, “Ah, mba Kenny. Cantik kan mba Kenny tau.”
Kenny tersenyum, mereka masuk ke dalam ruang keluarga. Di ruang keluarga di sana mama, papa dan Eros yang sedang duduk di kursi.
Vero tahu pria berkemeja hitam itu adalah Eros saudaranya Kafka. Pria itu tidak kalah tampannya seperti Kafka. Vero berikan senyuman terbaiknya. Jujur ia merasa nervous luar biasa berada di tengah-tengah keluarga ini. Ia melirik Kafka yang tampak tenang merangkul bahunya.
“Malam, ma, pa, Eros,” ucap Kafka.
Kedua orang tua Kafka beranjak dari duduknya, beliau melangkah mendekat.
“Malam juga Kaf.”
“Akhirnya yang di tunggu datang juga,” ucap mama, beliau memandang Vero, gadis cantik inilah menjadi tambatan hati Kafka.
“Bagaimana kabar kamu cantik?” Tanya mama Kafka, memeluk tubuh Vero.
“Baik tante. Tante gimana kabarnya?”
“Baik juga.”
“Padahal udah lama, tante nyuruh Kafka ngajak kamu ke sini. Taunya baru sekarang di bawa.”
“Sibuk pacaran ma, biasa proses,” sahut Eros.
Kafka melotot, dan Eros tertawa geli, “Proses apaan?”
“Proses pembuatan anak.”
“Awas ya Kafka, kamu jangan nakal,” ucap papa.
“Lah, kan emang nakal,” Kafka tertawa geli.
Mama Kafka melepaskan pelukannya, tersenyum pada Vero. Vero dan Kafka terlihat sangat serasi menurutnya, beliau berharap mereka berjodoh.
“Macet nggak tadi ke sini?” Tanya papa.
“Enggak pa,” ucap Kafka tenang, ia melihat Eros dan Kenny duduk di sofa. Di rumah ini sedang berbahagia karena kakak iparnya sedang hamil muda. Mama dan papa merayakan makan malam ini.
“Ayo, kita mulai aja makan malamnya,” ucap mama, beliau melirik jam menggantung di dinding menunjukan pukul 19.20 menit.
Mereka semua kini berdiri melangkah mendekati meja makan di sana. Vero memilih duduk di samping Kafka. Makan malam di rumah ini terlihat sangat formal seperti ala bintang lima. Makanan tersedia berbagai macam hidangan yang dibuat langsung oleh chef professional.
“Vero katanya tinggal di district 8 juga ya?” Tanya mama membuka topik pembicaraan, beliau memasukan daging ke dalam mulutnya.
“Iya, tante, towernya sama dengan Kafka.”
“Jodoh berarti kalian,” sahut Eros menahan tawa memandang Kafka.
“Bisa aja,” Kafka tertawa.
“Katanya kamu bisnis cookies?” Tanya mama Kafka lagi, karena semua itu Kafka yang cerita.
“Iya, tante. Lounchingnya bulan depan.”
“Wah, bagus itu. Resepnya dari kamu?”
“Iya, tante semua dari Vero.”
“Rasa cookies nya Vero, enak banget.”
“Iya, lah, kan jurusan kuliner. Aneh aja, kalau cookiesnya nggak enak,” ucap mama sambil terkekeh.
“Kalau udah nikah nanti, kalian rencananya mau tinggal di mana?” Tanya papa, memasukan daging steak ke dalam mulutnya.
“Rencana sih Pondok Indah aja pa,” ucap Kafka tenang.
“Terus apartemennya gimana?”
“Sewain kali ya,” ucap Kafka lalu tertawa.
Vero menoleh memandang Kafka, ia tidak tahu kini topik pembicaraan pada makan malam ini berubah menjadi topik menikah. Padahal ia dan Kafka belum membahas ini sebelumnya. Pembicaraan ini seakan-akan mereka akan menikah dalam waktu dekat, dan menjadi masalahnya lagi Kafka dengan entengnya menjawab dengan senyum mengembang.
“Kalau aku pengennya di rumah tapak aja pa. Tapi nanti diskusiin dulu dengan Vero, maunya di mana.”
“Kapan kalian rencananya mau nikah?”
Alis Vero terangkat, daging yang ia tusuk pakai garpu seolah enggan mendarat ke mulutnya, ia kembali menatap Kafka, dan Kafka menatapnya balik. Pria itu tersenyum dan mengedipkan mata kepadanya.
“Tergantung sih, kalau mama dan papa minta cepet. Oke, kita lansung ke rumah Vero. Kebetulan tadi aku udah ke rumah Vero, mama dan papanya Vero pengen kenalan dengan papa dan mama.”
“Yaudah, weekend ini kita atur. Mama dan papa juga nggak sabar bertemu calon besan.”
“Enggak nyangka ya, Kafka bakalan nyusul nikah.”
“Gua aja nggak nyangka,” ucap Kafka ia tertawa geli.
Di meja makan di isi dengan tawa, terlihat sangat harmonis.
“Oiya, mba Kenny gimana kehamilannya? Morning sickness, nggak?” Tanya Kafka, ia mengetahui kalau kakak iparnya itu sedang hamil muda.
Kenny tersenyum, “Enggak Kaf, untung nggak cerewet sih, makan enak-enak aja,” ucap Kenny, ia memasukan daging ke dalam mulutnya.
“Seneng ya bakalan ada keponakan baru, mama dan papa pasti seneng bentar lagi punya cucu.”
Papa tertawa, “Seneng dong, makannya kita makan malam keluarga, ngerayain kabar kehamilan Kenny.”
“Kamu jangan capek-capek loh,” ucap mama memperingati Kenny.
“Iya, ma.”
“Pokoknya stay di rumah aja, jangan ngantor. Kalau sesekali enggak apa-apa, ngecek keadaan kantor. Asal jangan capek aja.”
“Iya, ma,” ucap Kenny tersenyum, ia masukan daging steak ke dalam mulutnya. Ia bersyukur memiliki mertua yang sayang kepadanya.
Makan malam ini diisi dengan obrolan-obrolan ringan, akhirnya makan malam selesai. Mama Kafka menunjukan foto Kafka waktu SD dengan topi beruang ketika liburan ke Eropa kepada Vero. Di sana Kafka terlihat sangat happy, senyumnya mengembang.
Tidak hanya itu mama Kafka juga menunjukan foto-foto Kafka saat masih sekolah dari sekolah dasar hingga menjadi dokter spesialis. Beberapa album foto itu dipenuh dengan foto Kafka. Menurut mamanya, Kafka itu dari dulu memang sangat cerdas, anehnya lebih tertarik dengan dunia medis, padahal keluarga besar semua berbisnis. Oleh sebab itu, mereka mempercayai Kafka untuk mengelola rumah sakit.
Setelah itu Vero dan Kafka memilih duduk di ruangan atas, sambil menikmati siara TV. Mama dan papa Kafka entah ke mana. Eros dan Kenny tadi ia lihat, terakhir memandang mereka masuk di kamar bawah, hanya dirinya dan Kafka berada ruangan atas. Ia memandang Kafka, kemeja kancingnya sudah terbuka, ia bisa melihat secara jelas dada bidang Kafka di sana.
“Capek?”
“Enggak.”
Tanpa ragu-ragu Kafka mengelus tengkuknya secara perlahan, sehingga membuatnya sedikit terangsang apalagi jemarinya terkena bagian cuping. Pria itu memijatnya secara perlahan, ia merasa grogi di sentuh seperti ini, karena ada hasrat yang bergejolak.
“Enak nggak?” Tanya Kafka.
Vero memandang Kafka, pertanyaan itu terdengar simple, seakan menanyakan keadaan fisiknya, namun ia tahu bahwa itu bukan maksudnya. Ia hanya menelan ludah, entah dorongan apa ia mengangguk, membiarkan pria itu memijatnya.
Vero tahu bahwa Kafka pasti hafal dengan keadaan rumah ini. Rumah ini sangat besar, ruangannya sangat banyak, bahkan ia tidak tahu ruangan apa saja. Padahal di bawah tadi ada ruang keluarga dan di atas ada ruang keluarga lagi tidak kalah bagusnya. Rumah ini dibuat senyaman mungkin oleh pemiliknya. Ia tidak perlu menjelaskan bagaimana keadaan rumah ini, namun tatapan Kafka saat ini berbeda. Seolah menginginkan sesuatu dan ia tahu apa yang ada di dalam isi kepalanya.
“Aku suka dress kamu malam ini,” ucap Kafka pelan, jari-jari Kafka mengusap pahanya secara perlahan, namun ia membiarkan Kafka menyentuh tubuhnya.
Vero menarik nafas, “Aku malah mikirnya terlalu sexy berpakaian seperti ini di hadapan Kenny dan mama kamu. Mereka berpakaian tertutup seperti Kate Middleton, sangat anggun. Sedangkan aku seperti Kylie Jenner.”
Kafka lalu tertawa, “Aku nggak mempermasalahkan itu, yang penting kamu comfortable, dan aku merasa kamu yang paling cantik di antara mama dan Kenny.”
“Gombal,” Vero terkekeh.
“Serius sayang, siapa yang gombal,” Kafka ikut tertawa.
Seketika tubuh Kafka mengurung tubuh dan otomatis ia bersandar di sofa melihat Kafka di hadapannya. Vero menelan ludah, suasana seketika hening. Suara TV itu seolah tidak terdengar, hanya deru nafas yang mereka rasakan.
Ia merasakan bibir Kafka berada di keningnya, jantungnya seketika berdesir, bibir itu lalu turun ke hidungnya dan siap mendarat ke bibirnya. Vero menelan ludah, hembusan nafas hangat itu berada dipermukaan wajahnya. Mereka saling menatap, ia menikmati pemandangan wajah masing-masing.
“Kaf …” bisik Vero.
“Hemmm …” ucap Kafka pelan.
Beberapa detik kemudian, Kafka lalu memangut bibir Vero. Vero membalas setiap lumatan-lumatan bibir Kafka dan berusaha menyeimbanginya. Ciuman itu basah, dalam dan menyeluruh. Bibir mereka saling menghisap satu sama lain, dan menghisap tanpa henti, seakan besok akan kiamat.
Mereka memainkan lidah, saling menghisap bibir secara bergantian. Kafka menarik pinggang Vero dan mengangkat tubuh itu ke atas tubuhnya, agar ia bisa melumat bibir itu dengan leluasa. Otomatis dress yang dikenakan Vero tersingkap ke atas.
Mereka sama-sama tidak ingin melepaskan kecupan itu, mereka sepertinya tidak rela melepaskan bibir. Ia lebih memerlukan bibir dari pada oksigen. Mereka sama-sama hilang control, Kafka dengan aktif menyentuh tubuh Vero. Ia menarik resleting dress yang dikenakan Vero dari belakang.
Namun otak dan pikirannya lalu terhubung, ia melepaskan pangutannya, memandang Kafka yang masih menarik resletingnya.
“Stop,” bisik Vero pelan.
Kafka mengerutkan dahi, “Why?” Ia tidak mengerti, ia mencoba menetralkan nafasnya.
“Ini di rumah orang tua kamu, Kaf.”
“Enggak ada yang lihat, Vero. Hanya kita berdua di sini.”
“Tapi tetep aja, kemungkinan besar terjadi, ada mama dan papa kamu. Bisa juga Eros dan Kenny tiba-tiba buka pintu.”
Kafka lalu tertawa, sehingga Vero merasakan getaran pada tubuhnya, “Aku sudah puluhan tahun di sini saya. Ruangan ini nggak bakalan ada yang masuk, kecuali kita berdua.”
“Tapi tetep aja, siapa tau ada yang masuk.”
“No, nggak akan ada.”
“Tapi Kaf.”
“Kita lanjutin ya, palingan setengah jam selesai.”
“Oh God,” desis Vero.
****
Share this novel