HAPPY READING
***
Kafka menyungging senyum, ia mengistirahatkan punggungnya di sofa, sambil memandang Vero. Ia mengelus punggung itu secara perlahan, ia tetap menarik resleting itu hingga punggung Vero terbuka lebar. Jari-jarinya sudah menyentuh punggung Vero dan melepas pengait bra dari belakang.
Vero hanya bisa diam merasakan sentuhan Kafka. Dress yang ia kenakan kini lolos dari tubuhnya. Kafka membenamkan wajahnya ke dada Vero dan menghisap dada kanannya dan sedangkan tangan kirinya memijat dada. Lidah Kafka bermain di sana, dia menghisap seperti bayi kehausan.
Kafka mendengar Vero mendesah, ia menghisap semakin tidak tekendali, desahan-desahan itu membuatnya semakin bersemangat. Ia sekarang tidak peduli bahwa mereka berada di ruang TV, baginya menuntaskan hasrat lebih penting dari segalanya.
Kafka terus menghisap sementara tangan Vero meremas rambutnya. Bibir Kafka menginvansi dadanya secara bergantian, membuat miliknya semakin basah.
“Ahhh….” Desah Vero, ketik Kafka menghisap dadanya dengan kuat.
Kafka kembali menghisap dada kirinya, ia tidak berhenti mendesah secara tidak beraturan, ia membiarkan Kafka menghisapnya lebih dalam, karena rasanya sangat luar biasa. Jemari-jemari Vero membuka satu persatu kancing kemeja Kafka. Dalam hitungan detik kemeja itu lepas dari tubuh Kafka.
Kafka mengubah posisi tubuhnya, ia menyandarkan tubuh Vero di sofa. Ia menatap indahnya tubuh Vero. Ia narik g-string yang di kenakan Vero, lalu membuka tungkai kaki itu. Ia menunduk ia berlahan menghisap klitoris sambil memilin lembut, rasanya sangat luar biasa nikmat.
Ia menjilatnya secara halus dan menekan, lalu ia hisap lagi denngan kuat. Ia menahan dan lidahnya bergeliya di sana, ia melakukan ini secara berulang dengan zig-zag. Ia mendengar desahan tidak beraturan dari mulut Vero. Ia melakukan itu secara berulang, menghisap dan menekan. Hingga akhirnya tubuh Vero seperti akan meledak, tubuhnya menegang dan bergetar, lalu ia mengeluarkan cairan eforia dari tubuhnya.
Kafka menatap Vero, wanita itu memejamkan mata, ekpresinya terlihat sangat puas.
“Enak nggak?” Tanya Kafka.
“Enak banget, sayang,” ucap Vero pelan.
Kini lidah Kafka berganti dengan jemarinya, tangan Kafka menyentuh dinding miss v lalu memasukan dua jarinya ke dalam inti. Jemarinya memompa sesuai ritme, ia menatap Vero, menahan nikmat ketika ia menekan dengan kuat dan cepat. Sekian detik, hentakan jarinya semakin cepat dan kuat. Ia memompanya tanpa henti, kian menit tanpa memikir jeda.
Desahan tidak beraturan keluar dari bibir Vero, Vero menjerit nikmat, lalu keluarlah cairan bening dari miss v. Ia tahu bahwa Vero sudah mendapatkan orgasme keduanya. Vero bersandar ia menatap Kafka memasukan miliknya yang sudah berdiri tegak. Kini tubuh mereka menyatu menjadi senyawa baru. Decapan keluar dari mulut mereka, saling memuaskan satu sama lain, saling bergoyang dan membawa mereka terbang ke nirwana berkali-kali.
****
Beberapa menit berlalu mengenakan pakaiannya kembali, mereka tadi benar-benar melakukan itu di ruang TV atas. Sensasinya sangat luar biasa, Vero memandang Kafka memasang gespernya lagi.
“Kalau ketahuan gimana?” Tanya Vero, karena ia merasa tidak aman dan Kafka terlalu berani mereka main di sini, apalagi ia mendesah terlalu banyak.
Kafka tertawa, “Kalau ketahuan juga, palingan di nikahin.”
“Ih, kamu gitu deh,” ucap Vero, ia menatap di cermin mengoles lipstick pada bibirnya.
“Tadi obrolan mau nikah dalam waktu deket itu beneran apa nggak sih?” Tanya Vero, ia menyelidiki ucapan Kafka, karena masalahnya ia antara percaya dan tidak.
“Ya beneran lah. Kenapa?”
Vero menutup mulutnya dengan tangan, “Seriusan itu beneran?”
“Kalau ngomong sama orang tua beneran sayang, masa bohongan,” ucap Kafka, ia menatap pantulannya di cermin, sambil merapikan rambutnya.
“Nikah nggak semudah itu loh,” ucap Vero.
“Kalau kita mentalnya sudah stabil dan finansial sudah baik. Enggak ada lagi yang harus dipermasalahkan dalam hidup. Why not, menikah aja,” ucap Kafka.
“Tapi kan?”
“Tapi apa sayang …”
Kafka mendekati Vero, ia meraih jemari itu, tidak lupa ia kecup punggung tangan itu. Ia menangkup wajah Vero, ia tersenyum kepada gadis itu.
“Aku sudah mapan, aku sudah siap untuk berkomitmen. Umur kamu juga sudah sangat pas untuk menikah dan akupun begitu. So, nunggu apa lagi kan?”
“Yang di permasalahkan kalau kita nikah muda dan belum siap membina rumah tangga.”
“Aku ingin menikah, yak arena aku sudah mapan. Enggak hanya wanita yang ingin memiliki keluarga kecil bahagia, namun pria pun memiliki impian yang sama untuk membangun Keluarga kecil yang harmonis. I know, tanggung jawabnya besar, namun aku rasa menikah itu tugas hidup yang harus dijalani.”
“Aku juga pria, ingin memiliki penyamangat hidup, yang didukung oleh istri aku dan mungkin nanti anak.”
“Kamu harus tau, menikah itu seperti rumah yang menjadikan tempat pulang bagi kamu dan aku, selayaknya rumah idaman.”
Vero memandang Kafka cukup serius, ia tahu bahwa Kafka sangta serius menyikapi ini. Ia tidak percaya kata-kata bijak itu keluar dari bibir Kafka.
“Apa yang membuat kamu yakin ke jenjang pernikahan?” Tanya Vero lagi.
“Perasaan sayang aku ke kamu. Selain itu, aku juga mempertimbangkan usia memiliki anak agar jaraknya tidak terlampau jauh.”
“Sebenernya aku nggak ada patokan khusus untuk menikah. Tapi aku siap menikah jika aku sudah menemukan pasangan yang cocok, karena aku tahu tahu kesemapatan bertemu dengan orang yang tepat dan cocok hanya sekali seumur hidup, yaitu kamu.”
“Aku tahu konsekuensi menikah itu seperti apa. Mungkin akan terasa berbeda saat masih lajang dan tidak. Dan kebebasan akan sedikit berkurang, tapi aku siap akan hal itu.”
“Sebenarnya komitmen itu fleksibel, jika terjadi konflik dan kedua belah pihak berusaha keras untuk memperbaiki keadaan, ya kita bisa merundingkan bersama. Kita bisa mengatasinya sama-sama.”
“Aku ingin menikahi kamu, ya karena aku cinta kamu, nggak ada alasan yang lain. Apa lagi yang kita tunggu, orang tuaku dan kamu juga setuju. Aku yakin kita menikah tidak akan kekurangan apapun. Itu sebabnya aku ingin menikah.”
Kafka menarik nafas, ia menangkup wajah Vero. Ia pandangi iris mata itu, “Yang menjadi permasalahnnya saat ini. Kamu mau menikah dengan aku?” Tanya Kafka.
Vero mengigit bibir bawah, mereka saling menatap beberapa detik. Vero tahu prihal menikah itu bukanlah hal yang mudah, entah dorongan apa ia justru mengangguk, “Iya, mau.”
“Good,” ucap Kafka tersenyum bahagia, ia lalu memeluk tubuh Vero, tidak lupa diberinya kecupan pada puncak kepala itu.
“Aku berjanji akan bahagiain kamu.”
“Iya.”
Kafka melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 21.45 menit. Mereka lalu keluar dari ruangan. Ia melihat suasana rumah tampak sepi. Mereka menuruni tangga, menatap bibi dan chef di rumah ini sedang makan di dekat gazebo kolam sambil menikmati angina malam. Mereka tersenyum kepadanya.
“Mama dan papa ke mana bi?” Tanya Kafka.
“Ada di kamar mas.”
Tidak berselang waktu lama, ia melihat mama dan papa keluar dari kamar.
“Ma, pa, Kafka mau pulang,” ucap Kafka.
“Pulang ke apartemen?” Tanya papa.
“Iya, pa. Udah malam juga besok kerja.”
Mama Kafka mendekati Vero lalu memeluk tubuh ramping itu, “Kalian hati-hati ya di jalan.”
“Iya, tante pasti.”
“Salam buat orang tua kamu. Sabtu ini kita bakalan berkunjung ke sana.”
“HAH! Sabtu ini tante?”
“Iya, Sabtu ini. Tante dan om tadi sudah rundingin. Eros dan Kenny, juga setuju kalau berkunjung ke rumah kamu sabtu ini,” mama menjelaskan kepada Vero.
“Hemmm.”
Ia melihat tangan Kafka berada di bahunya, seolah menenangkannya. Ia melihat Kafka yang hanya tersenyum,
“Baik ma. Nanti Kafka kasih tau mama dan papanya Vero, Sabtu ini kita berkunjung ke sana.”
“Kamu bawa mobil jangan ngebut, Kaf.”
“Baik pa.”
Kafka dan Vero keluar dari pintu utama. Mereka masuk ke dalam mobil, tidak lupa memasang sabuk pengaman. Kafka membuka power window, melihat mama dan papa masih menunggu kepergian mereka. Setelah itu mobil meninggalkan area rumah. Kafka melirik Vero, wanita itu hanya diam menatapnya.
“Kok kayaknya cepet banget ya,” tanya Vero.
“Cepet kenapa?”
“Kayak di buru-buru gitu nikahnya.”
Kafka tertawa, ia meraih jemari Vero, ia mengecup punggung tangan itu, “Berarti kita jodoh,” ucap Kafka.
“Aku masih nggak nyangka sayang.”
“Aku juga.”
“Enjoy this moment, dear.”
“Yes, of course”
***
Share this novel