Bab 13

Romance Completed 28586

HAPPY READING

***

Vero dan Kafka masuk ke dalam lift. Lift membawa mereka menuju basement. Menunggu beberapa detik akhirnya pintu lift terbuka. Mereka keluar danmelangkah menuju mobil Kafka. Kafka menekan tombol central lock. Kafka melirik Vero yang berada di sampingnya.

Kafka membuka hendel pintu ia mempersilahkan Vero masuk ke dalam mobilnya. Vero mengucapkan terima kasih kepada Kafka. Ia mendaratkan pantatnya di kursi, tidak lupa memasang sabuk pengaman. Kafka menghidupkan mesin mobil, setelah itu mobil meninggalkan area tower apartemen.

Tangan kiri Kafka menghidupkan audio mobil dan tangan kanan berada di setir. Sepanjang perjalanan mereka mendengarkan music audio. Kafka memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Ia melirik Vero yang bersandar di kursi.

“Kamu udah selesai buat cookies nya?” Tanya Kafka membuka topik pembicaraan.

“Iya, sudah.”

“Good, saya yakin, usaha kamu akan berhasil.”

“Vero menyungging senyum, “Kamu itu kalau di rumah sakit pegang pasien nggak sih?”

“Ia pegang dong. Kan, saya sudah bilang, kalau saya emang dokter spesialis bedah jantung. Tapi saya lebih fokus ke kantor, saya pengelola di sana. Kalau  untuk menghadapi pasien saya tetap ada jadwal, tapi jadwal saya nggak banyak,” ucap Kafka menceritakan.

“Dari dulu kamu memang tertarik untuk jadi dokter?” Tanya Vero lagi, ia penasaran bagaimana kehidupan Kafka di dunia kedokteran.

Kafka menyungging senyum, “Waktu saya primary school  sampai senior high school, cita-cita  saya dulu menjadi Tintin atau Macgyver, berpetualang memecahkan kasus dunia,” ucap Kafka terkekeh.

“Ih, ngaco deh, ada gitu cita-cita kayak gitu.”

Kafka tertawa, “Serius itu dulu, Ver.”

“Terus.”

“Dulu ya, saya mengira, wartawan adalah orang yang pekerjaanya berpetualang.”

“Hemm.”

“Saat usia saya 16-17 tahun, saya malah pengen jadi gamers. Usia seperti ini saya mulai realistis. Saya mengubah cita-cita  saya menjadi ahli computer ingin masuk ke ITB. Tapi orang tua tetep nggak mau saya masuk sana. Orang tua saya, ingin saya seperti saudara saya, masuk ke bisnis.”

“Entahlah, saya tidak terlalu berminat  mengikuti jejak Eros saudara saya. Dan pilihan saya jatuh ke kedokteran. Akhirnya keterima  di salah satu universitas di Jerman, ambil falkultas kedokteran. Masa-masa saya kuliah kedokteran, saya malah berpikiran ingin jadi artis, jadi presenter, namun kayaknya saya mengurungkan niat saya yang random itu. Sampai akhirnya saya lulus jadi dokter.”

“Di saat temen-temen saya semuanya istirahat setelah sekolah kedokteran yang panjang dan melelahkan. Ada yang memilih menikah, ada yang memilih jadi dokter umum saja, ada yang istirahat, saya malah  daftar spesialis, anehnya saya ambil jurusan yang paling sulit, spesialis bedah jantung. Saya pikir bahwa saya nggak diterima saat itu.”

“Akhirnya saya di terima. Saat masuk menjadi dokter spesialis lah di sini saya bercita-cita menjadi dokter. Saya sangat mencintai pekerjaan saya, karena ilmunya sangat menarik.”

“Suatu yang hal sulit bagi orang lain, masuk ke dalam logika saya. Sehingga saya bisa menyelesaikan masalah orang lain. Harapan saya dunia medis ke depannya,  di mana saya yakin kanker, jantung akan hilang dan mudah di sembuhkan.”

“Sama seperti dulu, penyakit mematikan seperti tipes, polio, mampu dihilangkan. Saya yakin tidak tahu kapan, dunia medis seperti saya, suatu saat nanti akan menemukan resep untuk hidup abadi.”

“Saya sangat bersemangat menjadi dokter, bahkan saya bangga dengan posisi saya saat ini. Buku-buku kedokteran saya lahap hingga dini hari.”

“Tapi optimesme saya memudar ketika saya ke Jakarta. Ternyata hukum ekonomi tidak peduli apapun itu. Sekarang menyelamatkan nyawa lebih murah dibanding merawat muka. Saya tahu sekarang banyak penelitian kecantikan dibanding penyakit mematikan.”

“Feodalisme tidak peduli dengan kemajuan, hanya egois mementikan diri sendiri. Dan masyarakat di Indonesia  masih tergantung kuat dengan budaya yang katanya, ini, itu, magic. Tidak bisa mengandalkan kecerdasan saja.”

“Untuk jadi dokter spesialis berapa tahun sih?”

“Kamu mau tahu?”

“Iya.”

“Kalau dihitung-hitung total keseluruhan saya belajar kedokteran itu 12 tahun.”

“OMG, serius? Selama itu.”

Kafka tertawa, “Serius, untuk jadi dokter umum menghabiskan waktu enam tahun, lalu sepesialis juga enam tahun. Total 12 tahun.”

“Wow, kalau saya sudah nangis-nangis di kampus, saking lamanya.”

Kafka tertawa geli.

“Umur kamu berapa sih?” Tanya Vero penasaran.

“33 tahun.”

“Lumayan udah mateng sih umur kamu?”

“Mateng untuk membuahi maksud kamu?”

“Ih, bukan gitu.”

Kafkat tertawa, ia melirik Vero, “Kamu di tanyain  mama, kapan ke rumah?” Ucap Kafka.

“Ke rumah orang tua kamu?”

“Iya.”

“Enggak deh jangan, ngapain juga kan ke rumah kamu. Kalau sama kamu, terus nyangka saya ini pacar kamu beneran, Kaf. Kan kita nggak pacaran.”

“Untuk sekarang sih nggak, mungkin suatu saat nanti iya,” ucap Kafka.

“Ih, GR banget.”

Kafka tertawa, “Emangnya kamu nggak tertarik sama saya?”

“Enggak.”

“Di luar sana banyak loh yang suka sama saya.”

“Masa sih?”

“Enggak percaya?”

“Yaudah pacaran aja sama cewek yang suka sama kamu. Kan saya nggak suka kamu.”

“Enggak suka sama saya, kemarin kita hampir ML loh, Ver.”

Vero mengusap tengkuknya yang tidak gatal, “Itu karena khilaf, kebawa suasana aja,” elak Vero.

“Iya khilaf, selangkah lagi akan buat ranjang tidur saya berantakan,” Kafka tertawa, ia melirik Vero yang hanya diam.

“Jangan bahas itu deh, Kaf.”

“Tapi saya senang dengan suara desahan kamu. Mau nyobain di mobil nggak?” Tanya Kafka, ia mengedipkan mata menggoda Kafka.

“Ih, apaan sih ngomong gitu, udah jangan bahas lagi,” rengek Vero.

Kafka tertawa, “Oke, nggak, saya nggak bahasa itu, karena saya tahu kamu malu-malu tapi mau.”

“Ih, kamu.”

Suasana seketika hening kembali, Kafka melirik Vero.

“Ver.”

“Iya.”

“Makasih ya, malam ini kamu sudah dandan cantik untuk saya.”

“Sama-sama.”

Beberapa menit kemudian akhirnya, mobil Kafka masuk ke basement. Lalu memarkir mobilnya di sana, letak SKYE itu berada di lantai 56 menara BCA. Mereka masuk ke dalam lift dan lift membawa mereka menuju lantai atas.

Kini mereka sudah berada di SKYE, Ia tahu bahwa SKYE adalah rooftop lounge di Jakarta yang sangat hit. Skye ini tempat paling pas untuk makan malam romantis dengan pemandangan menakjubkan. Ia pernah ke sini bersama mantannya Jay, ini merupakan restoran internasional menyajikan menu Asia Tenggara, Jepang, Italia, hingga Meksiko. Pengunjung di sini sangat beragam, ada pengunjung local dan mancanegara, hingga turis Timur Tengah.

Ketika berada di depan pintu masuk, mereka di sambut hangat oleh penjaga.

“Sudah reservasi sebelumnya, pak?” Tanyanya server itu ramah, menatap pasangan yang baru masuk itu.

“Iya sudah, atas nama Kafka Carrigan.”

Server itu memandang ke arah list pada note nya, “Untuk dua orang ya pak?”

“Iya.”

“Silahkan pak, ikut saya.”

Kafka dan Vero melangkahkan kakinya masuk ke dalam, ia mengedarkan pandangannya kesegala area restoran, ada beberapa table yang sudah terisi dan ada beberapa meja kosong yang bertulisan reserved. Ia tahu bahwa table-table itu, sebentar lagi ada penghuninya.

“Ini table bapak,” ucapnya lagi.

“Terima kasih.”

Kafka dan Vero lalu duduk, posisi mereka berada di samping jendela kaca yang terbentang. Hingga ia bisa melihat dari ketinggian seperti ini. Tidak hanya itu mereka sangat di manjakan dengan ambience, atmosphere, interior, hospitality, dan tentunya makanan yang lezat ada di sini.

Suasana intim dan romantis sangat terasa, server mengantar satu botol wine dan dua gelas bertangkai tinggi.  Lalu di susul dengan makanan pembuka dan hidangan utama berupa sajian beef short ribs, beef tataki,  crispy oatmeal prawns dan ham cheese brioche sebagai menu main curse. Katanya chef restoran ini memiliki nama yang sangat baik.

Kafka dan Vero menatap server menuangkan wine di dalam gelas mereka. Serverpun pergi dari hadapan mereka setelah selesai mengisi wine.

Ia pikir dulu awalnya kenapa gelas wine memiliki kaki panjang dan langsing semacam hak sepatu stiletto, agar bertujuan si peminum wine terlihat lebih sexy. Efeknya sama seperti kalau wanita pakai stiletto.

Ternyata wine itu berpengaruh pada suhu tubuh, kalau suhu di dekatnya naik atau terlalu dingin, rasanya akan berubah. Tangan manusia adalah pengantar panas, kalau dipegang bagian gelasnya bukan kaki gelas, maka mempengaruhi rasa wine itu sendiri.

Vero meraih gelas bertangkai tinggi itu dan menyesap winenya secara perlahan sebelum menyantap menu di hadapanya.

“Kamu percaya zodiac nggak?” Tanya Kafka membuka topik pembicaraan.

“Enggak, walau kadang-kadang saya percaya, kalau mau tidur iseng baca horoskop, karena rasanya  memang memberi hiburan.”

“Begini, walau saya nggak percaya, rasanya nikmat membaca ramalan horoskop, ada dampak psikologis positif nya sih menurut saya. Kalau misalnya barnum effect, timbul bahagia.”

“Meskipun awalnya nggak sesuai dengan kenyataan, saya kadang mencocokan dengan keadaan saya. But, itu pengaruh positif sih, saya senang membaca ramalan zodiac. Kalau kamu?”

Kafka menyesap winenya, ia melirik Vero, “Kalau saya, nggak percaya juga, menurut saya hanya sugesti untuk orang-orang yang butuh pengakuan.”

“Kamu bintangnya apa?” Tanya Vero.

“Aries.”

“Aries itu, orangnya cool, energik, simpati sama orang lain, tegas, bijaksana, supel.”

“Itu saya banget,” ucap Kafka, ia meletakan gelas bertangkai tinggi itu di meja, lalu meraih pisau dan garpu, ia akan menyantap menu utama.

“Dulu saya juga suka  membaca ramalan zodiac, namun ada alternative lain untuk bisa membaca karakter seseorang melalui love language. Menurut saya mengetahui karakter seseorang yang paling tepat, lihat dia bagaimana cara bersikap dan bergaul dengan orang lain,” ucap Kafka menjelaskan.

“Exactly, kamu bener.”

Kafka dan Vero lalu saling berpandangan satu sama lain, “Kamu sering ke sini?” Tanya Vero.

“Pernah beberapa kali sama mantan.”

“Owh ya? Mantan kamu siapa?”

Kafka menyungging senyum, ia memasukan beef ke dalam mulutnya, “Anak rekan bisnis papa, tapi udah putus tahun lalu.”

“Putus karena apa?” Tanya Vero penasaran.

“Enggak cocok sih. Sampai saat ini saya masih enjoy sendiri. Engga munafik juga, pengen punya pendamping. Pernah  deket sama profesi dokter, tapi yah lama kelamaan jadinya seperti itu. Nothing special. Tapi nggak tau sih, kalau sama kamu.”

“Emang, saya mau sama kamu.”

“Buktinya kemari mau.”

“Ih.”

“After dinner, kita  tuntasin yang kemarin ya,” ucap Kafka mengedipkan mata menggoda Vero.

“Ih, enak aja.”

“Come on, kita kemarin belum selesai.”

“Ih, kamu.”

Kafka tertawa, ia mengambil gelas bertangkai tinggi itu dan menyesapnya secara perlahan. Ia memandang seorang pria  yang baru datang dari arah pintu masuk. Pria itu mengenakan kemeja putih dan celana berwarna abu-abu, dengan rambut yang tersisir rapi. Ia tahu siapa pria itu adalah mantan kekasih Vero, kemarin mereka bertemu. Pria itu tidak sendiri, melainkan bersama teman wanitanya.

“Ada mantan kamu,” ucap Kafka.

“HAH! Mantan?”

****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience