Bab 14

Romance Completed 28586

Happy Reading

**

Otomatis Vero menoleh ke samping, ia  menatap Jay di sana. Ia sudah menduga sejak awal, pasti pria itu ada di sini. Tatapan mereka bertemu satu sama lain, Vero menelan ludah, ia tahu bahwa Jay baru pulang dari kantor. Lengan kemejanya tergulung hingga ke siku. Pria itu memandangnya intens.

Ia melihat seorang wanita di samping Jay, dia adalah wanita yang sama saat di lounge kemarin, wanita juga masih mengenakan pakaian kerjanya. Lihatlah dia sudah mendapatkan kekasih baru, sedangkan dirinya belum.  Saat ini saja, ia masih membenahi hati yang berantakan, apalagi mama bercerita bahwa mantannya Jay semakin sukses dengan usaha retailnya. Semakin sesak mendengarnya.

Ia memang sudah ingin move on, namun jika terus-terusan bertemu seperti ini, ia tidak akan kuat, rasanya ingin menangis saja. Lihatlah kekasih barunya itu terlihat sangat berkelas dibanding dirinya. Mungkin wanita itu salah satu anak dari rekan bisnis ayahnya. Bisa juga salah satu anak pejabat di negri ini. Dia terlihat cerdas mengenakan rok sepan dan kemeja. Rambut panjangnya dikucir seperti ekor kuda.

Kafka memperhatikan ekpresi Vero, terlihat tidak suka. Wanita itu memandangnya, seakan mengatakan bahwa mereka harus move dari sini.

“Kamu enggak apa-apa kan?” Tanya Kafka pelan, ia meraih jemari lentik Vero, dan ia usap punggung tangan itu, agar menenangkan Vero.

“Enggak apa-apa kok,” gumam Vero, ia merasakan tangan hangat Kafka berada di punggung tangannya. Rasa hangat itu menjalar ke tubuhnya.

Kafka menatap iris mata Vero, ia tahu bahwa Vero belum bisa melupakan masa lalunya. Ia sesungguhnya  banyak belajar dari hubungan percintaan yang berkahir. Meski berjalan tidak sampai bertahun-tahun. Namun ia cukup mengerti dengan situasi ini.

“Kamu belum bisa melupain dia?” Tanya Kafka pelan, ia mengusap punggung tangan Vero secara lembut.

“Ini lagi usaha, kalau ketemu terus, ya nggak bisa lupa.”

Kefka menarik nafas, melirik mantan kekasih Vero berada di table tidak jauh darinya. Ia memandang pria itu, ia menyungging senyum kepadanya.

“I know, kamu masih belum move on. But, kamu lihatkan dia sudah punya pasangan. Saya pernah di posisi kamu, tapi saya learning by doing setiap harinya.”

“Terus gimana?”

“Saya pikir kamu jangan mengubah kesedihan yang dirasakan sehingga terlihat bodoh. Come on, kembali lagi rasa kebahargaan diri kamu yang dirusak oleh mantan kamu.”

“You deserve someone worthy of you.”

“Cintai diri sendiri terlebih dahulu sebelum kamu mencintai orang lain. Dulu saya seperti itu, memaksa diri  buat nerima dia karena suatu keadaan, saya jenuh dengan kesendirian. Padahal saya saat itu saya belum sepenuhnya  bisa mencintai diri saya sendiri.”

“Kalau kamu merasa nggak cocok sama dia dengan sikapnya, keputusan kamu sudah benar. Kedengarannya memang egois. Ini seperti kejadian saya sendiri, di mana mantan saya dulu memiliki selera humor yang sangat jauh berbeda dengan saya. Saya merasa risih dengan jokenya.”

“Emang, jokenya seperti apa?”

“Dia sering menertawakan kekurangan orang, misalnya.”

“Saran saya, kamu kalau mencari pasangan itu sepemikiran dengan kamu. Kesalahan kamu kemarin, membuat kamu tidak sejalan dengan pemikiran kamu. Jangan kamu bersedih dengan sebuah keputusan yang kamu ambil.”

“Saya punya kalimat yang memakili perasaan kamu, "If we're together, we're just hurt each other? Dan memang benar, jika memaksa untuk bersama dengan hati, yang tidak sepenuhnya, maka akan berakhir saling menyakiti.”

“Kamu tahu? Beberapa hal di dunia ini tidak bisa dipaksakan dan lebih baik dilepas demi kebaikan bersama.”

Vero menarik nafas, ia mengangguk dan setuju dengan pandapat Kafka, “Iya, kamu benar.”

“Habisin makan kamu, setelah ini kita pulang,” ucap Kafka.

“Iya,” Vero dan Kafka memakan hidangan dengan tenang.

***

Sementara di table sebelah Jay memperhatikan sang mantan bersama kekasih barunya.

“Mantan kamu?” Tanya Clara, ia tahu bahwa sepupunya ini masih memiliki perasaan kepada mantannya bernama Vero, bahkan setiap malam sering curhat bahwa dia merindukan Vero. Anehnya banyak yang mengira bahwa ia kekasih Jay.

“Iya,” ucap Jay ia menatap.

Makan malam di sini, memang Clara rencanakan, karena ingin memperkenalkan Jay kepada sahabatnya, agar segera move on dari sang mantan. Clara melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.30 menit.

“Harusnya sih Fiona udah sampe,” ucap Clara, karena ia  janjian dengan sahabatnya di sini.

Tidak butuh waktu lama akhirnya akhirnya Clara memandang seorang wanita yang baru masuk dari arah lobby restoran. Wanita itu mengenakan dress berwarna merah.

“Itu Fiona,” ucap Clara, ia melambaikan kepada sahabatnya.

Jay memandang seorang wanita mengenakan dress merah dengan bahu terbuka, kulit dan dress nya terlihat kontras. Wanita itu melambaikan tangan, terlihat sangat fresh, kini berjalan mendekati mereka.

“Apa kabar Fi?” Tanya Clara, ia memeluk Vero.

“Baik. Jay, ini dokter Fiona, yang saya ceritain kemarin.”

Jay menyungging senyum, ia mengulurkan tangan kepada wanita berparas cantik yang berprofesi sebagai dokter itu,

“Hai, saya Jay.”

“Fiona.”

“Senang berkenalan dengan anda,” ucap Jay tenang.

“Saya juga senang berkenalan dengan kamu,” ucap Fiona.

Fiona lalu duduk di samping Clara, tepatnya berhadapan langsung dengan Jay. Pria itu memperhatikannya dan sejujurnya ia sedikit grogi jika diperhatikan secara intens. Ia mengalihkan pandangannya ke arah samping, memandang seorang pria yang ia kenal betul siapa dia. Dia adalah pria yang pernah mengisi hari-harinya dulu.

Tatapan mereka lalu bertemu beberapa detik, lalu saling mengalihkan, seolah tidak saling mengenal. Namun di sisi lain Jay memperhatikan Fiona. Ia tahu bahwa Fiona dan pria itu, saling mengenal satu sama lain.

“Kamu kenal dia?” Tanya Jay kepada Fiona.

“Siapa?”

“Yang kamu lihat barusan.”

“Iya kenal.”

“Siapa dia?”

“Mantan saya.”

“I see.”

Jay menyungging senyum penuh arti, ia tidak menyangka wanita bernama Fiona merupakan mantan pria itu. Ia sungguh tidak percaya bahwa Jakarta sesempit ini.

***

Sementara di sisi lain, Kafka memandang sang mantan, dulu ia dan Fiona pernah berpacaran saat di kampus. Oh God, bisa-bisa dia di sana bersama Jay. Suasana di dalam restoran semakin tidak menentu. Hawa dinginnya AC kini berubah menjadi panas.

Kafka dan Vero berusaha makan dengan tenang, Kafka memasukan daging ke dalam mulutnya. Vero memandang ke arah table samping, ternyata di sana ada seorang wanita, ia tidak tahu siapa orang-orang itu. Ia memperhatikan, wanita mengenakan dress merah di hadapan Jay, mereka terlihat sangat akrab.

“Jangan di lihat,” gumam Kafka.

“Kenapa?” Tanya Vero.

“Cewek depan mantan kamu itu, mantan saya,” gumam Kafka.

“HAH! Serius itu mantan kamu?” Vero terbelalak kaget.

“Iya, mantan saya dulu di kampus, namanya Fiona, dia dokter anak.”

“Oh God, kenapa sih kita berhubungan dengan mantan,” dengus Vero.

“Udah, biarin aja.”

“Pulang yuk,” rengek Vero.

“Tau gini jangan ke sini, kamu sih tadi pakek matiin telfon segala, padahal tadi saya mau bilang kalau dinner jangan di SKYE, karena ini emang langganan Jay nyantai. Ketemu kan jadinya? Buat bete aja.”

“Ya, kamu kan nggak cerita sama saya.”

“Tadi mau cerita, tapi kamu matiin.”

“Harusnya kamu cerita ini di mobil. Di mobil malah diem-dieman.”

“Habisnya kamu maksa juga.”

“Udah ah, nggak mood banget makan,” rengek Vero pelan.

“Kita langsung pulang.”

Kafka meraih gelas bertangkai tinggi itu dan menyesapnya secara perlahan sebelum mereka pulang dari restoran ini. Padahal makanan yang tersaji masih banyak tersisa. Sialnya, mereka bertemu sang mantan, membuat suasana menjadi tidak nyaman.

Kafka beranjak dari kursinya, dan Vero juga ikut berdiri. Kafka menarik nafas, ia meraih jemari Vero, ia selipkan jemari itu di sela-sela jemarinya. Ia genggam tangan itu di depan para mantan dan penghuni restoan, agar mereka semua tahu kalau mereka adalah sepasang kekasih. Vero mendongakan wajahnya menatap Kafka, pria itu juga memandangnya.

Kafka tersenyum ia mengecup puncak kepala itu. Ia melakukan ini memang untuk memamerkan kemesraan di hadapan semua orang. Harusnya tadi ia memesan buket bunga yang super besar kepada Vero atau memberi surprise sebuah seperangkat cincin lamaran. Dengan begitu para sang mantan paham bahwa mereka adalah dua orang yang akan mengikat janji di hadapan Tuhan.

“Bagaimana dinnernya sayang malam ini? Kamu suka nggak?” Tanya Kafka mengedipkan mata kepada Vero.

Vero tahu arti kedipan itu, ia tersenyum dan mengangguk, “Suka banget sayang, makasih ya buat dinnernya,” ucap Vero dengan suara keras, agar Jay mendengar percakapannya.

“Kamu baik banget sih sayang, romantis banget,” ucap Vero dengan suara manja, ia memeluk pinggang Kafka  dengan posesif dan lalu bergelanyut manja di dada Kafka.

“Habis ini kita ke mana sayang?” Tanya Vero lagi.

“Ke kamu mau ke mana?”  Tanya Kafka ia mengelus punggung Vero.

“Aku kangen banget tau sama kamu.”

“Kalau kangen-kangenan gini enaknya di kamar, sayang.”

“Mau …”

Kafka lalu mengecup kening Vero, “Aku sayang banget sama kamu.”

“Aku juga sayang.”

Kafka melonggarkan pelukannya, ia melirik server, dan memanggil dengan tangannya. Ia mengeluarkan dompetnya membayar tagihan bill. Vero melirik Jay di sana, pria itu masih memerhatikannya. Vero bergelanyut manja di tubuh Kafka, ia memandang Kafka , jika dilihat dari jarak dekat seperti ini Kafka sangat  Setelah membayar mereka melangkahkan kakinya keluar dari lobby.

“Kita pulang ya.”

“Iya sayang, soalnya gerah banget di sini, pengen buka baju di hadapan kamu.”

“Jangan di sini dong sayang, malu, kita di kamar aja,” bisik Kafka.

“Ih, kamu.”

Kafka merangkul bahu Vero dengan mesra, mereka melangkahkan kakinya menuju pintu  lobby dan masuk ke dalam lift. Akhirnya mereka bebas dari tatapan para mantan. Vero merasa luar biasa lega setelah ia mengerahkan semua kekuatan aktingnya. Ia berharap bahwa Jay percaya bahwa ia tidak sedang berakting.

Vero melepaskan pelukannya, namun Kafka menahannya. Vero mendongakan wajah agar menatap Kafka. Mereka saling menatap satu sama lain. Kafka mengalihkan pandangannya ke arah bibir penuh Vero, ia mengelus bibir itu dengan jemarinya. Perlakukan Kafka membuat Vero merinding.

Jantung Vero maraton ketika wajah Kafka semakin mendekat, hingga hembusan nafas Kafka terasa dipermukaan wajahnya,

“Kaf …” bisik Vero.

“Boleh saya cium kamu?” Bisik Kafka.

IYA BOLEHHHH! Teriak Vero dalam hati. Tapi tubuhnya  mengikuti pikirannya, ia sadar bahwa mereka berada di dalam lift.

“Ada CCTV,” bisik Vero.

Kafka mendongakan kepalanya ke atas, ia memandang CCTV di sudut lift. Ia menyungging senyum, bisa-bisanya ia tidak sadar bahwa mereka sedang berada di ruang sempit ini. Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka.

“Kita lanjutin masalah ini kamar,” Kafka menarik pergelangan tangan Vero menuju mobilnya.

Sementara jantung Vero maraton mendengar Kafka ingin melanjutkan ini di dalam kamar. Kamar siapa? Kamar dirinya atau kamar Kafka? Masalah apa yang akan di lanjutkan? Yang mana? Masalah mantan atau masalah di ranjang. Kata-kata Kafka membuatnya merinding, apa mereka akan bercinta malam ini? Oh No, jika beneran, apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus pasrah tak berdaya? Atau justru sebaliknya?

****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience