HAPPY READING
***
Bibir Kafka dan Vero saling berpangutan satu sama lain, bibir mereka saling menghisap. Lidah mereka saling berbelit dan bertukar saliva. Kafka mengangkat tubuh Vero, dan ia berjalan menuju kamar utama. Ia tahu di mana letak kamar itu, karena apartemen mereka sama saja.
Ia masih memangut bibir Vero tanpa henti, bahkan saat ini ritmenya semakin cepat. Ia tida berhenti menghisap dan memainkan lidah. Ia membaringkan tubuh Vero di tempat tidur. Dalam hitungan detik ia meloloskan dress yang dikenakan Vero, ia lempar secara sembarang. Hanya tersisa bra dan g-string yang dikenakannya.
Vero juga membuka kancing kemeja yang di kenakan Kafka, ia tertawa. Kafka ikut tertawa ketika ia sudah bertelanjang dada. Vero menelusuri tubuh Kafka dengan jemarinya. Ia tidak menyangka bahwa tubuh Kafka setegap ini, otot-otot tubuhnya terlihat kuat. Bisepnya menonjol dan perutnya sangat rata.
Kafka mencium leher dan telinga, membuat Vero cekikikan. Vero mendongakan wajahnya agar Kafka mengecupnya lebih dalam. Kafka memainkan lidah dan menghisap hingga ke tulang selangka. Kafka mengambil bantal, ia menaruh bantal itu bakong Vero, agar ia bisa menikmati menu utama dengan nikmat. Ia mengurung tubuh Vero, ia mengatur nafas. Tatapan mereka sudah terbakar gairah.
Kafka melepas pengait bra itu, dan ia juga membuka celanya. Ia memandang dada Vero. Ia mendekat dan menghisap dada kanan, ia menghisap seperti bayi kehausan. Ia mendengar suara desahan halus dari bibir Vero. Ia menghisap tanpa henti, dan bahkan memainkan lidahnya. Sementara jemarinya yang lain memainkan putting dada kiri.
Vero melenguh, ia merasakan geli bercampur nikmat, ia menelusuri rambut Kafka. Kafka menghisap dadanya secara bergantian, rasanya sangat luar biasa. Setelah itu bibir Kafka turun ke bawah, ia mencium perut rata Vero. Ia menarik g-string itu ke bawah.
Ia membuka tungkai kaki Vero, ia lalu mendekat. Lidahnya menyusuri dinding miss v, ia mengikuti alur, dan kadang zig-zag dengan lembut dan perlahan. Suara lenguhan terdengar dari bibir Vero. Ia menyusuri lidahnya tanpa henti, bahkan lidahnya menghisap bagian miss V, hingga Vero berteriak menyebut namanya.
Ia tidak berhenti bermain lidah dan menghisap tanpa henti. Suara lenguhan kembali terdengar, hingga akhirnya jari-jari kaki Vero menekuk dan tegang. Tangannya memegang pundaknya erat rintihannya semakin kuat dan tidak teratur. Tubuh Vero lalu menegang kaku dan terhempas-hempas. Eforia cairan dalam tubuhnya keluar, menahan nikmat luar biasa.
Ia memperhatikan reaksi Vero yang telah mendapat klimaks pertamanya. Kini ia memasukan kedua jarinya ke dalam miss v. Ia menekan dan mendorong dengan kuat. Vero melenguh, lenguhannya semakin kuat dan tidak teratur. Tubuhnya kembali menegang dan mendapat orgasmenya lagi.
Miliknya sudah berdiri tegak, ia memasukan ke miss v, dan mendorong pinggulnya. Ia dan Vero melakukan berbagai gaya bercinta, bahkan sekarang posisi Vero di atas, dia memegang kendali. Ia menatap Vero terangah-engah, mereka saling melenguh.
Ia hanya pasrah dan menikmati, ia menatap pemandangan indah dari bawah. Tak hanya memandang keluk tubuhnya yang indah, dada, wajahnya yang cantik, dan ekpresi muka yang merasakan kenikmatan. Kafka meletakan kedua tangannya di bokong sambil meremas. Yang ia pikirkan saat ini adalah andai ia bisa meminta Vero setiap hari dilayani dan dipuaskan seperti ini.
Ia membiarkan Vero mengendalikannya, dan membiarkan dia mendikte gerak gerik saat bercinta. Permainan mereka sangat luar biasa. Hingga akhirnnya mereka berdua mendapat kepuasan bersama.
***
Kafka memandang Vero berbaring di sampingnya, ia menarik pinggang wanita itu, dan Vero mencurukan wajahnya di dada. Kafka mengecup kening Vero, ia mengelus punggung itu secara perlahan.
“Ver,” ucap Kafka.
“Hemmm.”
“Kalau kamu itu orangnya kayak gimana?”
“Kayak gimana maksud kamu?” Tanya Vero.
“Tentang kamu.”
Vero mengangguk paham, “Aku tuh kalau ada masalah, aku harus nyelesain dengan baik. Walaupun kita debat ada problem, mau nggak mau harus selesaiin saat itu juga.”
“Terus.”
“Aku sebenernya tipe yang setia, kalau jalin hubungan dengan seseorang tuh lama. Aku kalau ada pasanganpun sebenernya nggak terlalu mengekang, kamu mau ngapain, ngebebasin maunya gimana, asal bilang aja.”
“Aku itu tipikal yang agak cuek, dalam artian nggak akan nyari tiba-tiba pasangan aku ngilang. Bukan nggak perhatian, tapi aku tau kalau pasangan saya ngilang itu dia sibuk kerja, ketiduran atau pergi sama temennya. Kalau pasangan ngilang berhari-hari baru aku nyariin. Kalau hanya berapa jam aja aku nggak bakalan nyariin sampe spam chat, call, paling nanya chat, sibuk apa. Lagi dimana, sama siapa. Gitu aja sih, menghargai waktu pasangan aku.”
“Aku kan bukan tipe cewek yang stay di rumah, walau begitu aku nggak nyari-nyari gitu. Aku juga bukan tipe cewek yang cemburuan, nggak akan ganggu privasi kamu, nggak bakalan mau tau apa chat whatsapp kamu.”
“Seperti cewek pada umumnya, aku suka fashion, aku seneng belanja, aku seneng ngecat rambut. Aku sebenernya pengen tato sih bagian tubuh aku.”
Alis Kafka terangkat, ia tidak percaya bahwa Vero menginginkan merajah tinta abadi di bagian tubuhnya, “Owh ya? Di mana?” Tanya Kafka.
“Pengennya sih di lengan belakang ini, kayak Awkarin. Boleh nggak?”
Kafka tertawa, “Nice. Aku sebenernya suka sama wanita bertato. Sama halnya dengan wanita yang suka bady boy. Mungkin ekspetasi aku tentang wanita bertato, untuk preferensi di bagian-bagian tertentu saja. Bukan tato yang mencolok sampai terlihat seram. Wanita yang bertato kadang lebih sensual dan lebih nakal. Aku suka itu.”
“Walau aku dokter, aku suka dengan wanita yang berani merajah tinta abadi di tubuhnya.”
“Kalau kamu, kenapa nggak mau tato?”
“Aku masih ingin donor darah sayang.”
“Emang nggak boleh ya?”
“Boleh aja sih, asal tato artis yang memiliki lisensi keamanan. Harus ada prosedur yang dilakukan, but. Kalau wanita aku, dia ingin merajah tinta abadi di tubuhnya, aku persilahkan.”
“Hemmm.”
“Kamu capek nggak?”
“Kenapa?”
“I want one more time.”
Vero melihat senyum nakal Kafka di sana. Ia tertawa, memandang Kafka kini sudah mengurung tubuhnya. Sekarang pria itu sudah bersiap menghantarkan dirinya ke langit ke tujuh.
***
Keesokan harinya,
Vero menutup wajahnya dengan tangan, ia tidak percaya bahwa ia sudah resmi jadian dengan Kafka. Oh God, sekarang pacarnya seorang dokter spesialis bedah jantung. Dokter yang ia pikir monoton, dihidupnya hanya belajar. Namun pikirannya salah, ternyata Kafka yang ia kenal, dia pria yang tampan, fashionable dan sangat hebat di ranjang.
Semalam mereka bercinta dua kali dan selanjutnya tadi pagi pria itu melakukannya lagi. Dan sialnya, ia hanya pasrah mengiyakan ajakan itu. Vero mendengar suara ketukan dari pintu apartemennya. Ia melirik jam menggantung di dinding menunjukan pukul 08.10 menit. Ia melangkah mendekati pintu, dan meninggalkan sarapannya.
Ia membuka hendel pintu, menatap Kafka di sana. Pria itu mengenakan kemeja putih dan celana slimfit berwarna hitam. Rambutnya di sisir rapi dan sangat wangi. Wajahnya sangat segar.
“Udah mau pergi kerja?” Tanya Vero.
Kafka mengangguk, “Iya, aku mau pergi kerja,” ucap Kafka, ia memandang penampilan Vero, dia mengenakan dress floral. Rambut panjangnya diikat kebelakang.
“Kamu di rumah aja?”
“Hemmm, mungkin nanti mau lunch atau shopping sama Ester.”
“Ada uang?” Tanya Kafka.
“Ada kok.”
Kafka mengambil dompetnya, ia mengambil salah satu kartu kreditnya, dan menyerahkan kepada Vero.
“Ini untuk kamu, nanti kalau mau belanja pakai ini aja.”
Vero menggigit bibir bawah, ia melihat kartu kredit berwarna gold di sudah terselip di tangannya.
“Mau jalan sama Ester jam berapa?” Tanya Kafka.
“Mungkin jam 10 an,” ucap Vero.
Kafka melirik jam melingkar di tangannya, ia sudah harus berangkat kerja, “Aku kerja dulu ya.”
“Iya.”
Kafka mendekatkan wajahnya, lalu mengecup kening Vero. Sedetik kemudian ia lepas, ia memegang pipi Vero.
“Kamu hati-hati di jalan,” ucap Vero.
“Iya.”
Vero menatap punggung Kafka dari kejauhan, lalu menghilang dari balik pintu lift. Vero menutup pintu apartemennya kembali, ia kembali melanjutkan breakfastnya. Ia termenung beberapa saat, sekarang ia menyadari bahwa sekarang ia sudah memiliki kekasih seorang dokter, bernama Kafka Carrigan. Ester harus tahu apa yang telah terjadi padanya.
Vero meneguk air mineral dan lalu menatap ke arah layar ponselnya. Ia mencari kontak Ester, lalu melakukan video call. Ia menunggu hingga sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Beberapa detik kemudian, panggilanpun terangkat.
“Iya, Ver,” ucap Ester di balik layar ponselnya, ia memandang sahabatnya di sana.
“Gue mau cerita,” ucap Vero.
“Cerita apa?”
“Gue udah jadian sama Kafka.”
Mata Vero terbelalak kaget, “OMG, sumpah lo?”
“Iya, seriusan.”
“Terus, terus, gimana ceritanya? Bukannya lo sebel sama dia?” Tanya Vero lagi.
“Yah kan dia ngajak kencan tadi malam, lo mau tau? Kita di sana ketemu mantan. Kafka ketemu mantannya dan gue ketemu Jay mantan gue.”
“Kok bisa?”
“Nah itu.”
“Lalu deh, kita buru-buru mau pulang. Lo tau habis pulang dinner kita ngapain?”
“Having sexs?”
“Yes, apa lagi coba.”
“Di mana? Apartemen lo atau apartemen dia.”
“Apartemen gue.”
“Oh May God, gila, sumpah gue nggak percaya. Terus, terus, dia oke nggak mainnya?”
“Oke banget lah, parah sih.”
“Jadian sekarang?”
Vero mengangguk, “Iya, gue sama dia jadian. Jadian gitu aja tadi malam.”
“Sumpah, gokil banget lo.”
Vero tertawa, “Gue aja nggak percaya kalau gue sekarang udah punya pacar. Terus gue gimana dong.”
“Yaudah jalani ajalah.”
“Masalahnya gue nggak kenal sama Kafka, gue masih awam gitu, sifatnya kayak gimana, playboy nggak dia, kasar nggak, hyper nggak.”
“Enggak mungkin playboy sih, doi kan dokter. Kerjaanya belajar mulu.”
“Iya, bener juga, sih. Tapi jaman sekarang cowok nggak bisa dipercaya.”
“Coba lo cek get contact nya, di sana ada yang aneh-aneh nggak.”
“Get contact?”
“Iya, get contact, biar tau, si Kafka tu kayak gimana, ketahuan kok.”
“Lo sibuk nggak? Brunch yuk.”
“Boleh. Brunch di mana?”
“Loewy aja gimana.”
“Oke, setengah jam lagi gue jemput lo. Gue beres-beres dulu,” ucap Vero.
“Oke.”
Vero mematikan sambungan telfonnya, ia memasukan mangkuk dan gelasnya ke wastafel. Ia mencuci pirang sebentar, setelah itu ia masuk ke dalam kamar. Ia memandang penampilannya di cermin, ia masih dalam keadaan rapi.
Ia menatap di tangannya kartu kredit Kafka. Sebenarnya uangnya masih ada di ATM, belum lagi kartu kredit dari papa, dari mas Andre, fasilitas mobil, sudah di sediakan. Jikapun ia kerja di luar, hanya untuk mengisi waktu luang saja. Kesibukan membuat cookies agar tidak dianggap pengangguran saja. Oke, sekarang ia mencari tahu tentang Kafka lewat get contact.
***
Share this novel