Bab 26

Romance Completed 28586

HAPPY READING

***

Vero menarik nafas, ia melihat sang mama cukup serius . Ia bingung bagaimana menjelaskannyam, karena ini merupakan kesalah pahaman. Ia juga tidak percaya bahwa sang mantan  menelfon mama, mencari tahu hubungannya dengan pria bernama Kafka. Ini akan menjadi salah paham jika tidak dibenarkan.

“Kafka itu, pacar Vero yang baru…” ucap Vero pelan mencoba bersikap setenang mungkin.

“Terus, kenapa nggak di kenalin ke mama?”

“Ya, kan baru jadian ma,” timpal Vero, ada gitu baru jadian langsung di kenalin.

“Katanya kamu hamil? Beneran kamu hamil?”

“Ya ampun, nggak percaya banget dah. Ada gitu baru jadian lalu hamil. Mama jangan percaya sama Jay deh.”

“Tapi ini Jay loh, biasa dia selalu jujur sama mama.”

“Itu boongan aja ma, habisnya gangguin Vero mulu. Masa ngejar-ngejar Vero. Vero ngomong gitu tuh biar nggak dikejar sama Jay. Mama paham nggak sih? Biar nggak ada hubungan apa-apa lagi, end, finish. Kepo banget sih Jay, pakek nanya ke mama lagi. Kayak kurang kerjaan aja deh,” dengus Vero.

“Haduh gimana ya jelasinnya ya, intinya Vero nggak hamil,” Vero menjadi frustasi sendiri.

Mama menarik nafas, “Mama pokoknya nggak mau tau, bawa Kafka kamu ke sini, kenalin sama mama. Mama pengen Kafka yang jelasin semua.”

“Apa yang mau di jelasin, hamil aja kagak.”

“Bawa Kafka ke sini.”

“Haduh, Kafka jam segini kerja ma,” ucap Vero, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 14.30 menit.

“Beneran Kerja jam segini, masa Vero gangguin.”

Papa Vero melipat tangannya di dada, ia menatap anak perempuannya, ia sebagai orang tua tentu saja berhak menentukan siapa yang berhak akan menjadi pasangan anaknya. Dulu Vero berpacaran dengan Jay tentu saja beliau setuju, karena status Jay setara dengan keluarganya. Ia merestui hubungan Jay, karena Jay terlahir dari keluarga terpandang pendidikan tinggi hingga ambil pendidikan S2 di luar negri. Orang tua Jay pemilik retail terbesar di Indonesia, dan sekarang pria itu meneruskan usaha orang tuanya. Pasangan ideal seperti Jay lah yang pantas bersanding dengan putrinya. Apalagi dulu hubungan antar keluarga sudah saling kenal.

Sekarang putri kesayangannya itu sudah memiliki pacar pengganti Jay, namanya Kafka. Ia tidak tahu siapa pria itu, apa perkerjaannya, sehingga berani memacari sang anak. Rasanya sangat tidak relevan jika calon pasangan anaknya itu dari keluarga biasa-biasa saja, mengingat bahwa Vero merupakan putri satu-satunya, yang akan mewarisi perusahaanya. Ia juga merasa paling berhak memilihkan dan menentukan siapa yang akan menjadi pasangan Vero. Alasannya tentu saja agar sang anak tidak salah pilih pasangan.

“Kerja apa pacar kamu?”  Tanya papa, to the point.

Vero mengigit bibir bawah, ia menatap mama dan papa. Ia tahu bahwa mama dan papa tentu saja sangat pemilih dalam prihal ini.

“Dokter spesialis bedah jantung,” ucap Vero pelan.

“Siapa orang tuanya,” tanya papa lagi.

“Ada bisnis apa keluarganya.”

Vero menarik nafas, ia menatap iris mata papa, penuh kilatan tajam, “Apa ya, gimana jelasinnya. Vero udah kenal sih, sama mama dan papa Kafka. Papa dan mama pasti nggak asing kalau denger namanya,” ucap Vero menjelaskan.

“Siapa? Keluarga dari mana? Orang tuanya bisnis apa?” Tanya mama lagi.

“Hemmm.”

Suasana kembali hening, Vero melihat mama dan papa masih berada di hadapannya, terlihat jelas butuh penjelasan.

Vero kembali menarik nafas dalam-dalam, “Mama tau kan, Mayapadi Group? Nah, itu Kafka anaknya, dia yang pegang rumah sakit.”

Mama dan papa saling berpandangan satu sama lain, ia tahu betul siapa pemilik perusahaan itu, dia adalah salah satu konglemerat berbasis di Indonesia. Dulu awalnya perusahaan itu rintisan dari  bisnis pakaian dan manufaktur tekstil, dan empat tahun kemudian, mendirikan bank Mayapadi. Lalu bisnis lainnya berkembang pesat, ekspansi ke sektor kesehatan, hotal dan real estate, ritel khusus dan media. Ia sungguh tidak percaya bahwa sanga anak menjalin hubungan dengan keluarga itu. Ini merupakan berita yang baik seperti angina segar baginya.

“Bawa pacar kamu ke sini. Mama dan papa mau kenalan,” ucap papa.

“Hemmm, masih kerja pa.”

“Pulang kerja bisa kan?” Tanya papa lagi.

“Iya, bisa sih, rumah sakitnya juga di Kuningan.”

“Bentar, Vero telfon dulu, bisa apa nggak, takutnya pulang malem, ada jadwal operasi,” ucap Vero.

“Cepet telfon sana, mama mau denger.”

“Iya, iya.”

Vero merogoh ponsel di dalam tas nya, belum apa-apa sudah seperti ini. Ia takut aja kalau mama dan papa tidak merestui hubungannya Kafka, di tambah dengan issue ia hamil karena Jay. Itu pasti akan membuat Kafka di cap sebagai pria yang buruk di mata mama dan papa.

Ia menekan tombol Kafka dan ia letekan ponsel itu di telinga kirinya, ia menunggu hingga sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Beberapa detik menunggu sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya.

“Iya, halo sayang,” ucap suara Kafka di balik ponselnya.

“Pulang kerja jam berapa?” Tanya Vero.

“Sejam lagi, kenapa? Kangen ya,” ucap Kafka menahan tawa.

“Bisa ke rumah nggak?”

Kafka masuk ke dalam ruangannya, “Rumah siapa? Apartemen?”

“Bukan, tapi ke rumah orang tua aku. Mama dan papa pengen kenalan sama kamu.”

Alis Kafka terangkat, ia tidak menyangka bahwa orang tua Vero ingin bertemu dengannya, itu merupakan hal yang baik, karena wanitanya dengan senang hati ingin memperkenalkan dirinya kepada orang tuanya. Ini hal yang sangat luar biasa, demi kelangsungan hubungan mereka.

“Iya, bisa. Habis pulang kerja aku ke rumah orang tua kamu. Kamu sekarang di mana?” Tanya Kafka.

“Di rumah mama dan papa, di Permata Hijau.”

“Oke, nanti pulang kerja aku langsung ke sana, kamu share lock aja.”

“Yaudah kalau gitu, aku tunggu di sini ya sayang.”

“Iya, sayang.”

Vero lalu mematikan sambungan telfonnya, ia memandang mama dan papa yang masih menatapnya. ia tahu mama  dan papa mendengar percakapannya dengan Kafka. Setelah itu ia bingung akan melakukan apa.

“Kamu dan Kafka sudah berapa lama pacaran?” Tanya papa lagi.

“Baru sih, kenalnya beberapa Minggu yang lalu. Waktu gantiin mas Andre ke pesta pernikahan Eros dan Kenny di gunung Pancar, kenalnya di sana.”

“Terus, kalian ngapain aja?” Tanya mama.

“Ya, nggak ngapa-ngapain, kenalan dan cocok akhirnya pacaran,” ia tidak mungkin menceritakan bahwa ia sering tidur dengan pria itu.

“Vero sama Kafka deketnya itu, ternyata satu gedung apartemen, di District 8,” ucap Vero menceritakan.

“Terus, beneran kamu nggak hamil?” Tanya mama menyelidiki, mengingat bahwa Vero dan Kafka satu apartemen yang sama.

“Haaduh, mama di bilang nggak percaya banget. Kalau hamil, Kafka duluan yang tau ma.”

“Jangan bahas hamil deh. Ngarep banget kayaknya kalau aku hamil. Dari tadi di tanyain hamil mulu. Bilang aja kalau pengen cucu,” dengus Vero.

“Kafka kan dokter. Kalau Vero hamil, dia yang tau lebih dulu ma.”

Vero beranjak dari duduknya, “Vero nunggu di kamar aja deh, sejam lagi Kafka ke sini, kenalan sama mama dan papa.”

“Bete juga ditanyain hamil mulu.”

“Vero nggak hamil. Inget Vero nggak hamil,” Vero melangkah menjauhi mama dan papa.

“Ver!”

Vero menoleh menatap papa yang sedang memanggilnya, “Iya, pa.”

“Kamu kenal sama orang tuanya Kafka?” Tanya papa Vero penasaran.

“Kenal. Kenapa pa?”

“Enggak, papa cuma tanya aja.”

Vero meneruskan langkahnya menuju tangga, ia lalu masuk ke dalam kamar. Si Jay memang keterlaluan, bisa-bisanya ia mengatakan bahwa dirinya hamil di hadapan mama. Benar-benar keterlaluan, ia sampai kesal sendiri. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan, gagal move on boleh saja, tapi jangan sampai keterlaluan seperti itu, ngadu sama orang tua. Padahal Jay juga sudah punya gandengan baru namanya Fiona. Ini nih, malesnya berhubungan Jay, udah punya Fiona juga, masih aja bilang cinta. Kan, nyebelin banget.

***

Kafka menatap ke arah layar ponsel mengikuti arah google maps. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba Vero menyuruhnya datang ke sini tanpa persiapan apapun. Harusnya jika ingin berkenalan dengan orang tuanya dia harus memiliki timing yang tepat, misalnya makan malam  bersama, baik di restoran atau di rumah. Bukan mendadak seperti ini, ia juga tidak mempersiapkan apa-apa selain diri sendiri.

Kafka memasuki komplek perumahan permata hijau, maps nya mengarahkan ke arah bangunan rumah bertingkat dengan berpagar tinggi itu. Kafka menghentikan mobilnya, ia menatap seorang pria bertopi mengenakan seragam security di sana. Kafka tersenyum kepada penjaga rumah itu. Kafka menekan power window,

“Pak Kafka ya?” Tanyanya.

“Iya, saya Kafka.”

“Pacarnya non Vero?”

“Iya.”

“Mari pak masuk, sudah di tungguin,” ucap security itu ramah lalu membuka pintu pagar.

Kafka memasukan mobilnya ke pelaran rumah, ia memarkir mobilnya di sana. Kafka memarkir mobilnya di samping mobil BMW berwarna putih, ia tahu mobil itu adalah milik kekasihnya Vero. Ia menatap bangunan rumah, rumah ini ada dua pilar besar dan tinggi di depan, menghubungkan langsung ke balkon atas. Sehingga membuat rumah ini tampak megah.

Ia mematikan mesin mobil, lalu keluar. Ia melangkah menuju teras, ia menatap sang kekasih sudah berada di depan daun pintu. Mereka saling menatap satu sama lain, tatapan itu begitu teduh. Kafka tersenyum pada gadis itu, ia mendekat.

“Sore sayang,” ucap Kafka.

“Sore juga,” Vero kikuk, mendekati Kafka.

Inginnya ia memeluk tubuh bidang itu namun apa daya, ia berada di rumah orang tuanya. Mama dan papa sudah menunggu Kafka di ruang tamu.

Kafka mendekatkan kepalanya dan mengecup puncak kepala Vero, “Gimana keadaan kamu hari ini,” tanya Kafka.

“Baik, kok,” ucap Vero.

“Enggak susah kan nyari rumahnya?”

Kafka tersenyum, “Enggak.”

“Masuk lah, mama dan papa nungguin di dalam,” ucap Vero.

Kafka melangkah masuk ke dalam, ia memandang dua orang separuh baya di sana sedang duduk sofa. Kafka tahu bahwa kedua orang itu adalah papa dan mamanya Vero.

Ia tahu bahwa, bertemu dengan orang tua pacar memang moment yang sangat menegangkan menurutnya. Mau tidak mau ia harus bertemu demi kelancaran hubungan ia dan Vero.

Harusnya ia ia butuh persiapan yang matang ketika bertemu dengan orang tua Vero untuk pertama kalinya. Karena ini sama saja di mana hari pertama penilaian atas dirinya, apakah layak bersanding dengan vero atau tidak.

Jujur, ini sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk berkunjung, harusnya ia mandi terlebih dahulu dan berpakaian rapi, wangi, agar menunjukkan secara khusus untuk mempersiapkan diri untuk kunjungan tersebut. Namun apa daya, ia sudah berada di sini dan ia tidak perlu ragu untuk berkenalan.

“Selamat sore tante, om,” sapa Kafka ramah.

Mama dan papa Vero lalu beranjak dari duduknya, ia menatap seorang pria  mengenakan kemeja putih di sana. Beliau sekarang baru tahu, ternyata pria inilah pacar kekasih anaknya.

“Sore juga.”

“Ma, pa, ini Kafka, pacar Vero,” Vero memperkenalkan Kafka di hadapan orang tuanya.

Kafka tersenyum, ia mengulurkan tangannya kepada orang tua Vero, “Salam kenal om, tante.”

Papa Vero menyambut uluran tangan pria itu, “Salam kenal juga Kafka. Senang kenalan dengan kamu.”

“Silahkan duduk nak Kafka,” ucap mama Vero.

“Baik tante.”

 

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience