HAPPY READING
***
Vero menatap Kafka sedang memanuver mobil, pria itu memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Vero mulai berpikir apa yang akan mereka lakukan saat ini, apakah langsung pulang ke apartemen? Atau pergi ke suatu tempat terlebih dahulu, membeli kopi agar rilexs sampai apartemen. Ah, ia bingung sendiri harus bagaimana menghadapi Kafka yang super mesum ini.
Vero memandang Kafka yang fokus dengan kemudi setirnya. Sepanjang perjalanan mereka sibuk dengan pikiran masaing-masing. Hanya suara audio lah terdengar.
Kafka melirik Vero wanita itu menunduk terdiam, ia tadi mengajak wanita itu berciuman dan menuntaskan masalah mereka kemarin. Mereka sudah melakukannya, sekarang ia akan melakukannya lagi dengan secara terbuka.
Jujur ia memang tertarik secara fisik dengan Vero. Ia akui bahwa Vero memiliki tubuh ideal, wajahnya cantik, kulitnya halus dan dia sangat wangi. Hasratnya tidak bisa ia kendalikan setelah apa yang mereka lakukan kemarin. Sekarang ia ingin melakukannya lagi. Yang dipikiran laki-laki saat berciuman tentu saja 90 persen seks.
Bahkan ketika lagi ciuman dengan Vero kemarin tangannya sudah berkeliaran ke mana-mana. Ia juga sudah membuka pakaian Vero. Ia melihat secara jelas bagaimana indahnya tubuh Vero. Jika kondisi seperti itu, ia tergantung si wanita lagi, maunya seperti apa, kalau si wanita tidak tahan yang pasti akan berlanjut ke hubungan intim, tapi jika ngasih batasan untuk dirinya, ia pasti menghargai.
“Kaf,” ucap Vero.
“Iya,” Kafka menoleh memandang Vero, ia menatap wajah cantik itu. Inginnya ia segera melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, namun apa daya, ia harus mengawasi kemacetan di jalan.
Mereka kini saling menatap satu sama lain. Ada tatapan yang sulit di artikan di sana. Ini lah alasannya kenapa ia suka malam, karena adanya kehormatan di hadapan jiwa menggalakkan gairah dan keinginan. Bibir mereka kelu, tidak ada yang berucap. Beberapa menit mereka hanya diam.
Vero menelan ludah, ia menatap ke arah jalan, ia tahu bahwa ini adalah jalan menuju apartemen mereka. Oh God, ia merasakan nervous luar biasa. Apa yang terjadi ketika ia tiba di apartemen nanti.
“Kenapa, Ver?” Tanya Kafka.
Vero menarik nafas, “Langsung pulang?”
“Iya”
“Owh, kirain mau mampir ke mana gitu.”
“Emangnya, kamu mau ke mana? Mau beli kopi?”
“Enggak deh nggak usah. Oiya, kamu sama Fiona udah pacaran berapa lama?” Tanya Vero menghilangkan rasa gugupnya karena mobil sudah hampir tiba.
“Setahunan gitu deh, dulu di kampus, udah lama banget. Tapi nggak selama kamu dan Jay, sampe empat tahun,” ucap Kafka.
Ia sebenernya tidak mempermasalah wanita bernama Fiona, mau pacarannya berapa lama, namun pertanyaan itu hanya basa-basi saja,
“Fiona itu cantik ya,” ucap Vero lagi memperpanjang topik pembicaraan, kenapa ia tiba-tiba gugup seperti ini, seakan baru pertama kali bercinta.
“Biasa aja sih, cantikan kamu kok.”
“Masa sih?”
“Serius.”
“Kamu masih ada perasaan sama Fiona nggak?” Tanya Vero lagi.
“Ya nggak lah, kan udah lama putusnya, dulu udah 10 tahun yang lalu, Ver.”
“Kirain masih ada rasa.”
“Ya, enggak lah. Lagian ngapain bahas Fiona, udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, kok. Udah jangan bahas dia lagi.”
“Ini mau ke mana?” Tanya Vero.
Kafka menyungging senyum, “Menurut kamu kita ke mana? Bukannya ini udah di Senayan, belok kiri udah district 8, itu tempat tinggal kita.”
“Terus kalau balik mau ngapain?” Tanya Vero lagi.
Kafka melirik Vero, “Menurut kamu kita ngapain?”
Vero mengedikan bahu, “Ya, nggak tau?” ucap Vero pura-pura polos, padahal ia menenangkan debaran jantungnya.
“Bukannya kita mau having sex?” Ucap Kafka to the point.
Vero memandang Kafka, ia tidak percaya bahwa pria itu mengatakan dengan lantang bahwa mereka ingin having sexs. Ia tahu bahwa having sex situ diartikan sebagai aktifitas seks yang berdasarkan pada ketertarikan fisik yang bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual. Tanpa disertai ikatan emosional dan komitmen jangka panjang. Oh Tuhan, apa yang harus ia lakukan ketika bercinta dengan Kafka.
Ia memejamkan matanya beberapa detik, tadi ia mengenakan underware apa? Layak apa tidak dilihat oleh Kafka. Apa ia mengenakan underwear victoria secret kebanggaanya, dengan bra renda dan g-string yang senada.
“Ih, nggak mau.”
“Loh, tadi katanya mau?” Tanya Kafka.
“Mau apa?”
“Bercinta kan?”
“Ih, nggak mau, siapa yang bilang mau.”
“Tadi loh, di lift.”
“Ih, bukan gitu. Enggak mau.”
“Beneran nggak mau?” Tanya Kafka meyakinkan kepada Vero.
“Iya, nggak mau. Tadi kan cuma kebawa suasana aja,” Vero menjelaskan.
Kafka menarik nafas, ia memandang Vero, ia tidak memaksa Vero untuk melakukannya, karena jika bercinta harus suka sama suka.
“Yaudah enggak apa-apa, kita pulang aja.”
Vero memandang Kafka, ia melihat raut wajah kecewa di sana, ia merasa kecewa ketika ekpresi itu diperlihatkan kepadanya. Ia bukannya nggak mau, hanya saja gangsi mengatakannya, lagian Kafka itu bukan siapa-siapanya. Baginya ia akan bercinta dengan pasangannya. Ia tidak mau Kafka menganggapnya gampangan. Entahlah, sepertinya hati dan pikirannya tidak sejalan. Ada rasa ingin, namun ada sesuatu yang menahannya.
Akhirnya mobil Kafka masuk ke dalam basemen, pria itu memarkir mobilnya di dekat lobby bawah. Ia melihat ekpresi wajah Kafka yang masih diam. Ia melepas sabuk pengaman, begitu juga Kafka. Mereka keluar dari mobil. Sepanjang jalan menuju lift mereka hanya diam.
Mereka masuk ke dalam lift dan lift membawa mereka menuju lantai atas. Vero memperhatikan Kafka yang diam. Jujur ia merasa bersalah jika seperti ini, ia melirik Kafka yang masih tampak tenang. Dirinya yang menolak, tapi dirinya yang merasa tidak enak.
Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka. Mereka melangkahkan kakinya menuju koridor. Vero memandang Kafka di sampingnya. Ia kini menghentikan langkahnya di depan apartemennya, sedangkan Kafka melangkah menjauhinya.
Vero menatap Kafka, Oh Tuhan, kenapa ia plin-plan seperti ini. Ia melihat objek yang ia segani di sana, ada gairah nyata untuk sebuah kebenaran. Ia melihat punggung Kafka dari kejauhan, ia mengigit bibir bawah, hatinya seakan tersentuh oleh gairah kemenangan.
“Kaf …” ucap Vero.
Kafka mengerutkan dahi, ia mendengar Vero memanggil namanya, ia menoleh kebelakang, menatap wanita itu di sana. Ternyata benar bahwa Vero memanggilnya.
“Iya.”
“Mau nonton film Finding Nemo nggak?” Ucap Vero pada akhirnya, ia tidak tahu kenapa ia tiba-tiba mengeluarkan kata-kata itu. Padahal ia bukan pecinta film animasi, ia lebih baik nonton Masterchef Australia yang di tayangkan di Network 10.
Bibir Kafka terangkat mendengar Vero memintanya untuk menonton film Finding Nemo yang menceritakan tentang petualangan Marlin yang mencari anaknya bernama Nemo. Ia tidak mengerti kenapa Vero mengajaknya menonton Finding Nemo. Ia mulai berpikir dan kembali mendekat, sambil menatap wanita cantik itu dengan intens. Ada sebuah perasaan yang sedang memberontak gairah dalam diri mereka. Ia tahu bahwa mereka sama-sama tidak bisa mengelak akan hal ini. Kata Finding Nemo hanyalah sebuah alasan.
Kata hati seakan mengatakan jangan ragu untuk memulai, dorong tubuhnya dan jadilah penguasa malam ini.
“Iya, mau,” ucap Kafka tenang.
Vero menahan nafas beberapa detik, karena jarak dirinya dan Kafka sangat dekat, ia tahu apa yang ada di dalam isi kepala Kafka saat ini, namun ia tidak bisa mengelak, karena dirinyalah yang memulai. Tangannya perlahan menempelkan kartu akses di depan daun pintu. Otomatis kunci terbuka, Vero membuka hendel pintu, ia mempersilahhkan Kafka masuk ke dalam.
Kafka masuk, ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan. Ia menatap ada beberapa toples cookies di meja yang terisi full cookie buatan Vero. Ia melirik Vero menutup pintu itu kembali.
Sementara Vero menahan debaran jantungnya, “Mau kopi nggak?” Tanya Vero menawarkan kopi kepada Kafka.
“Iya, boleh.”
“Duduklah,” ucap Vero, ia menjauhi Kafka, ia meletakan tas Dior nya di meja.
Kafka akhirnya duduk di sofa, ia mengambil remote di meja, ia menekan tombol power. Seketika TV menyala, kemarin ia pernah ke sini sebentar. Namun malam ini ia pastikan akan tidur bersama.
Beberapa menit kemudian Vero mendekati Kafka sambil membawa secangkir kopi susu buatannya. Ia meletakan cangkir itu di meja. Ia menahan debaran jantungnya. Ia lalu duduk di samping Kafka. Ia bersandar di sofa, memandang ke arah layar TV. Ia tidak yakin bahwa mereka akan menemukan film Finding Nemo di sana.
“Kamu suka Finding Nemo?” Tanya Kafka.
“Iya, lumayan,” ucap Vero, menahan kegelisahannya.
Kafka meletakan remote TV, karena tentu saja tidak ada Finding Nemo di malam hari ini. Ia memandang Vero dengan intens, ia tahu ini hanyalah sebuah alasan agar mereka tetap bersama.
“Yakin mau nonton Finding Nemo?”
“Yakin,” ucap Vero pelan.
“Coba ngaku.”
Wajah Vero bersemu merah, “Ngaku apa?”
“Malam-malam begini. Nggak ada loh film Finding Nemo di TV kabel.”
“Tapi itu ada Netflix nya juga kok, itu kan ada Netflix nya,” ucap Vero.
Bibir Kafka terangkat, ia mengangkat dagu Vero, “Finding Nemo juga nggak ada di Netflix, kecuali kamu berlangganan Amazon Prime, Google Play dan Disney.
“Masa sih?” Vero semakin gelagapan.
“Karena saya salah satu pecinta film animasi Disney, jadi saya tahu film Finding Nemo di tayangkan.”
“Yaudah nonton apa adanya?”
“Mau nonton Sausage Party?”
Vero menelan ludah, ia pernah menonton film itu sebelumnya, film itu bukanlah film animasi anak-anak, hanya film dewasa yang disajikan melalui animasi yang penuh dengan adegan dewasa dan adegan seksual. Bahkan pada akhir cerita, para karakter mengadakan pesta seks.
Banyak topik senstif termuat pada film itu berupa homoseksual, biseksualitas, foreplay, pembunuhan, kekerasan, pemusnahan, genosida dan topik-topik sensitive lainnya.
“Apa mau parktek langsung?”
“Kaf …”
***
Share this novel