HAPPY READING
***
Kafka menangkup wajah Vero dengan kedua tangannya, ia memandang secara jelas wajah cantik itu. Ia tidak tahu apa yang menariknya wanita di hadapannya, ini. Sejak pertama kali bertemu di pesta ia sebenarnya sudah tertarik. Namun ia tidak tahu apa yang membuat wanita ini menarik.
Jika dilihat Vero ini bukanlah gadis yang cerdas yang ada di fakultas kedokteran, dia juga wanita pengkritik yang handal seperti mantan-mantannya, bisa dikatakan dia memiliki motivasi untuk bekerja minim sekali sehingga orang tuanya mendesak sana-sini untuk menyalurkan bakatnya di dunia kuliner. Hidupnya terlalu nyaman, karena semua fasilitas di tunjang dari seluruh keluarganya. Ia yakin apapun yang wanita itu pinta akan dikambulkan dalam hitungan menit.
Jika membahas tentang kecantikan wajah, di luar sana banyak sekali wanita cantik, karena di jaman sekarang ketika ingin cantik, tinggal datang langsung ke klinik kecantikan, dan bisa berubah dalam waktu singkat. Ia tahu apa yang membuat wanita ini menarik, yaitu sifat manjanya yang kadang membuatnya gemas.
“Mau pacaran sama saya?” Tanya Kafka to the point, itu lah yang ada di isi kepalanya sekarang.
“Mulai hari ini kita pacaran ya.”
Vero menatap iris mata tajam itu, ini merupakan pernyataan cinta paling absurd yang pernah ia dengar. Tiba-tiba Kafka ingin dirinya menjadi pacar. Mereka saling menatap satu sama lain Kafka mengajaknya pacaran secepat ini.
Entah dorongan apa ia justru mengangguk mengiyakan ajakan itu. Ia ingin tahu bagaimana pacaran dengan pria yang berprofesi sebagai dokter.
“Iya, mau.”
Kafka tersenyum ketika Vero mengiyakan ajakannya. Oh God, sekian lama menjomblo akhirnya ia memiliki kekasih. Ia tidak tahu seberapa lama ia bertahan berpacaran dengan gadis ini. Karena ia jika di telusuri bahwa Vero bukanlah tipe wanita idamannya, banyak point minus yang ada di sana. Entahlah ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba ingin mengajak wanita itu berpacaran.
Kafka mendekatkan wajahnya dan lalu menyatukan bibirnya dan bibir Vero. Mereka lalu saling melumat satu sama lain, dan bibir mereka saling menghisap. Kafka mengangkat tubuh Vero agar duduk dipangkuannya. Bibir mereka saling mengisap tanpa henti.
Vero menelusuri rambut Kafka dengan tangannya, rambut Kafka sangat lembut beraroma sangat segar. Bibir Kafka masih menghisap bibirnya. Ia pun membalas kecupan itu. Mereka saling menutup mata, menikmati lumatan demi lumatan mereka.
Jujur tadi ia seperti orang hipokrit karena beberapa menit yang lalu ia mengatakan kepada Kafka bahwa ia tidak ingin melakukan ini dan bahkan menolak ajakannya. Namun, lihatlah apa yang telah ia lakukan terhadap Kafka, ia justru mengajak pria itu masuk ke dalam apartemennya, alih-alih menonton Finding Nemo, padahal ia tidak terlalu tertarik dengan Finding Namo. Lebih baik ia menonton film drama Korea kesayangannya, itu hanyalah sebuah alasan agar tetap bersama.
Vero melepaskan kecupannya. Ia mengontrol nafas, lalu Kafka menatapnya, Ia masih mencium aroma mint segar dari rambut Kafka.
“Kamu pakai sampo apa?” Tanya Vero.
Kafka terdiam sejenak memadang Vero, ia mengangkat kepalanya dan melingkarkan tangannya di pinggang wanitanya.
“Pakai sampo Body Shop, belinya di gerai bawah,” ucap Kafka.
“Kenapa?”
“Wangi.”
Kafka lalu tertawa, “I'm glad you like it,” ucap Kafka ia bersandar di kursi sambil mengistirahatkan bahunya, namun ia tetap memandang Vero yang ada di hadapannya. Jujur ia suka posisi mereka seperti ini.
Kafka meraih jemari Vero, ia mengecup punggung tangan itu, “Saya tidak menyangka kalau sekarang saya pacaran dengan kamu.”
“Hemmm,” gumam Vero.
“Saya juga tidak menyangka kalau saya bisa menerima kamu,” timpal Vero.
“Saya belum tau kamu seperti apa, karena saya mengenal kamu secara kebetulan. Saya ingin tau bagaimana pacaran dengan wanita manja seperti kamu.”
Vero tertawa, “Jadi kamu hanya penasaran sama saya?” Tanya Vero, ia menelusuri tangannya di dada Kafka.
“Itu salah satu alasannya.”
“Alasan selanjutnya apa?” Tanya Vero penasaran.
“Orang tua saya. Mama dan papa sudah terlanjur mengenal kamu, dan sangat nice ketika mereka menerima kehadiran kamu. Setiap menelfon saya, yang di tanya, kapan Vero di ajak ke rumah. Kapan main? Kapan saya akan mengajak beliau ke rumah kamu. Padahal kenyataanya kita belum saling mengenal apalagi pacaran, waktu itu.”
“Bahkan mama dan papa mengomeli saya, mengetahui kamu di club. Saya seakan-akan seperti pria yang tidak bisa menjaga kekasih saya. Saya tidak bisa berpura-pura professional, karena saya sangat payah dalam berakting, dan tidak bisa mencampuri urusan pribadi saya dengan orang tua saya, karena topik itu tidak akan ada batasannya.”
“Sejak awal melihat di pesta saudara saya kemarin, jujur, kamu sangat menarik di mata saya. Dan tanpa di duga, semua serba kebetulan, saya selalu bertemu kamu. Apalagi kita berada di tower apartemen yang sama dan di lantai yang sama.”
Bagi Kafka semua itu tidaklah kebetulan, karena tipenya menyesuaikan tipe kedua orang tuanya. Baginya old money is all about family’s heritage. Ia memang dituntut untuk menjaga nama baik keluarga. Oleh sebab itu, selama ini ia berpacaran dengan wanita yang setara dengannya. Tentu saja dengan kulifikasi cantik, kaya, berpendidikan tinggi, elegan, anggun, tahu bagaimana tata karma, mengerti table manner, yang pasti memiliki latar belakang yang sama dengannya.
“So, jadi apa lagi yang di tunggu. Lebih baik kita pacaran kan.”
“Tapi kita belum saling mengenal satu sama lain,” ucap Vero.
“Nanti juga kenal.”
“Tapi saya nggak pinter loh. Standar aja sih.”
Kafka lalu tertawa, ia mengelus pipi Vero dengan jemarinya, “Bisa nggak, kata saya ganti aku? Kita kan sudah pacaran.”
“Aku?”
“Iya.”
“Tapi aku nggak pinter.”
“Kalau kamu nggak pinter, kamu nggak mungkin lulusan dari universitas kuliner terbaik di Perancis.”
Kafka memicingkan matanya, “Kenapa kamu nggak mau pacaran dengan dokter hemmm?” Tanya Kafka.
“Karena terlalu pinter kali ya.”
“Really? Karena alasan itu?”
Vero tertawa, ia mengalungkan tangannya di leher Kafka, “Kayak monoton aja gitu hidup seorang dokter.”
Kafka tertawa, “Ya emang nggak ada special, kehidupa seorang dokter. Sama seperti dengan manusia lainnya, sehari-hari sama saja, bangun tidur, mandi, berangkat kerja, makan siang, kerja lagi, pulang, mandi, makan malam, tidur, repeat again the next day.”
“Emang kamu pikir kehidupannya seperti apa? Bukannya nggak jauh beda dengan kehidupan kamu.”
“Iya, sih. Bukan gitu maksud aku. Maksud aku tuh, belajar terus gitu, monoton, kalau jadi pacar kamu lihatin kamu belajar, baca buku, bosen banget kan.”
Kafka kembali tertawa geli, sehingga Vero merasakan getaran pada tubuhnya, “Yah, ada waktunya belajar. Belajar ilmu kedokteran itu pasti, bahkan hingga saat ini aku tidak berhenti belajar. Dokter juga manusia, dia normal, dia punya hasrat, dia juga ingin diperhatikan, ingin dicintai.”
“Saya mau punya partner, kita bisa main game, tiduran, pillow talk. Saya juga pengen try this yourself, you'll know what you love the most about cuddling. Kalau sudah PW di kamar, saya malas bergerak. Kita bisa ngobrol banyak hal.”
“Heemmm,” gumam Vero.
Kafka menyuging senyum, ia mendekatkan wajahnya lagi dan mereka saling menatap satu sama lain beberapa detik. Kafka mengalihkan pandangannya ke bagian tubuh Vero, gerakan mata tidak bisa dicegah dan sulit dimanipulasi. Tatapannya teralih ke bagian dada dan tulang selangka.
“I want you,” bisik Kafka.
Vero menelan ludah, ia tahu bahwa mereka dua orang yang sedang terbakar gairah. Ia kembali menelusuri rambut Kafka, ia memberanikan diri menyentuh rahang tegas itu, nafasnya beraroma cengkeh, tercium sangat segar. Bibirnya masih kebas akibat kecupan beberapa menit yang lalu.
Vero mengangguk karena ia juga tidak ingin melepaskan diri dari pelukan Kafka.
“Do it, I want too,” ucap Vero.
Kafka mendekatkan wajahnya kemudian mencium keningnya dengan lembut.
***
Share this novel