HAPPY READING
***
“Alasannya kenapa, kamu nggak mau punya anak?” Tanya Kafka memicingkan matanya menatap Vero.
Vero menghela nafas, “Bukan kayak gitu, tapi apa nggak kecepetan, baru juga jadian, lalu ngebet punya anak,” rengek Vero, juju ria masih shock luar biasa ketika Kafka ternyata merencanakan kehamilan dengannya secepat ini.
Kafka tertawa, ia menangkup wajah cantik itu. Jujur ia sebagai pria sudah mapan secara finansial ia bisa membiayai istri dan anaknya. Ia sudah yakin dengan diri sendiri, jika ia diharuskan untuk menikah maka akan ia lakukan. Ia merasa bahwa Vero memenuhi kriterianya sebagai pasangan hidup. Dia cerdas, dia memiliki manner yang baik ketika bersama orang tuanya, dia keluarga terpandang yang setara dengannya, pendidikan bagus dan dia pintar memasak.
Ia tahu bahwa kedewasaan memegang peranan penting dalam menentukan masa depan. Baginya ia sudahh cukup dalam kestabilan emosional, bahwa dia sudak memikirkan bahwa ia bisa bahagia jika memiliki anak dan istri. Dan tidak lepas dari itu, ia tidak bisa memungkiri bahwa dorongan seksuallah ia ingin segera memiliki keturunan. Last but not least, ia juga memikirkan jarak usia anak dan dirinya.
“Why not. Bukan masalah besar jika punya anak, saya akan jadi daddy yang baik.”
“Tuh kan,” rengek Vero.
“Tuh kan kenapa?”
“Jadi kalau bercinta lagi kamu nggak mau pakek pengaman?” Tanya Vero.
Kafka tertawa geli, “Ya nggak lah. Ngapain pakek pangaman sayang, enggak enak.”
“Terus. Kalau hamil gimana?”
“Yaudah nikah aja, tinggal meeting sama wedding organizer kan, semua pelaksanaan nikah ada yang atur, kita tinggal bayar aja, kayak Eros dan Kenny kemarin.”
“Ih, kamu gitu.”
Kafka menarik nafas, dan tersenyum kepada Vero, “Terus kamu maunya gimana?”
“Jangan hamil dulu,” rengek Vero.
“Yah, kan belum tentu jadi kok, soalnya prosesnya lama juga kalau hamil. Satu dua bulan baru kelihatan, itupun kalau rutin.”
“Tapi kemungkinan hamil kan?” Tanya Vero lagi.
Kafka mengangguk, “Iya, bener, kemungkinan besar hamil. Apalagi kalau kamu masa subur dan sperma aku kualitasnya baik, karena selama ini aku hidup sehat, nggak merokok, nggak pernah bergadang, tidur cukup, dan rajin olahraga. Itu kemungkinan besar kamu akan hamil.”
“Tuh kan. Jadi gimana?”
“Yaudah nikmatin aja, sayang. Jangan pikirin aneh-aneh. Kalau kamu telat datang bulan, terus kamunya morning sickness kondisinya mual dan muntah, kasih tau aku. Biar aku cepat ngelamar kamu.”
“Kamu kok enak banget ngomong gitu, enggak mikirin aku?”
“Ini aku lagi mikirin kamu.”
“Mikirin apa?” Tanya Vero.
“Mikirin nanti kita tinggal di apartemen ini atau di rumah aku yang di Pondok Indah.”
“Jadi kamu punya rumah?”
“Punya dong, cuma untuk sekarang aku tinggal di apartemen, karena jaraknya deket dari rumah sakit sayang. Tapi di Pondok Indah juga nggak terlalu jauh sih,” ucap Kafka.
Kafka tersenyum, ia mengelus puncak kepala Vero. Ia menatap makanannya lagi, “Makan lagi yuk.”
“Kamu jangan pikir yang macam-macam lagi sayang.”
“Hemmm.”
Vero menatap Kafka, pria itu hanya tersenyum kembali makan dengan tenang. Wajahnya tanpa beban sedikitpun. Padahal dirinya dan Ester sudah membicarakan penganut child-free. Meski ia mengidamkan untuk memiliki pasangan yang sepemahaman untuk menemukan di usianya yang sekarang. Inner-circle kebanyakan pada sibuk berumah tangga.
Tapi melihat Kafka yang terlihat giat dan bersemangat untuk memiliki anak. I know, ia dan Kafka, untuk masalah finansial ia bisa menghidupkan anak banyak, bahkan bisa mendirikan yayasan yatim piatu kalau mau. Namun entahlah, bagaimana ia bisa menyikapi ini, jika nanti ia hamil. Ia merasa bahwa jika memiliki anak ia tidak mampu menjadi ibu yang baik.
“Besok kita ke rumah mama ya.”
Vero mengangguk, “Iya,” ucap Vero pasrah.
***
Setelah makan malam, Vero menatap Kafka, pria itu sedang mencuci piring. Sebenarnya ia memiliki mesin cuci piring praktis, hanya saja piring mereka setelah makan sedikit, bisa dicuci dengan tangan. Vero bersandar di dinding memperhatikan Kafka. Ia memperhatikan gestur Kafka, dia terlihat sangat tampan ketika berada di kitchennya.
“Ada yang mau kamu tanyakan?” Tanya Kafka, melirik Vero yang sedang memperhatikannya.
“Emang kamu udah siap jadi bapak?” Tanya Vero.
“Bahas itu lagi?”
“Iya.”
Kafka tersenyum, ia meletakan piring di wastafel dan meniriskannya, “Iya, siap. Aku sudah siap secara finansial dan mental.
“Kamu itu orangnya pendiam nggak sih?” Tanya Vero.
“Kenapa?”
“Karena biasa orang yang cerdas seperti kamu yang berprofesi sebagai dokter itu kebanyakan pendiam.”
Kafka lalu tertawa, “Kamu dapat teori dari mana?”
“Yah, biasanya kan orang cerdas itu pediam.”
Kafka mengambil tisu di meja, mengeringkan tangannya, ia menatap Vero, “Kamu salah besar sayang.”
“Owh ya?”
Kafka menarik nafas, “Orang cerdas itu biasanya scanning frequency yang kuat sekali. Mereka hanya akan berbicara dengan orang yang mereka pikir akan mengerti apa yang mereka omongkan.”
“Aku banyak kenal orang pintar yang dia bisa nyambung ngomong apa saja, mulai dari ngobrol sama anak SMA, kuliahan, professor ataupun tukang kebun. Orang cerdas itu biasanya mampu menyederhanakan apa yang ingin ia sampaikan. Analoginya, menyesuaikan dengan kemampuan lawan bicaranya. Ilmunya luas dan memahami berbagai bidang, benar-benar seperti Wikipedia berjalan. Sehingga bagi yang tingkat intelegensi di bawahnya, ngobrol dengannya justru bikin cerdas.”
“Semakin tinggi jenjang pendidikan, biasanya pola pikir dan cara pandang seseorang akan semakin cerdas. Kita ngobrolnya enak. Enggak mesti dia pendidikan tinggi, ada juga yang cerdas mampu berkomunikasi dengan siapa saja. Cerdas itu tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan menurut aku.”
“Pintar itu dari hasil dia belajar terus menerus, sedangkan cerdas itu alami proses otak.”
Vero menyungging senyum memperhatikan Kafka, “Aku pikir kamu orang yang cerdas.”
Kafka tertawa, “Really?”
“Yes.”
“Thank you. Banyak sih yang bilang seperti itu,” ucap Kafka.
“Cerdaslah, kalau nggak cerdas, nggak mungkin jadi dokter spesialis.”
“Uh, dasar ya kamu.”
Kafka mendekati Vero, wanita itu hanya diam, “Mau main lagi nggak?” Tanya Kafka.
“Main apa?”
“Main di kamar,” ucap Kafka.
Vero ikut tertawa, ia mengalungkan tangannya di leher Kafka, namun Kafka mengangkat tubuhnya dan ia duduk di meja kitchen,
“Kamu emangnya nggak capek?”
Kafka mengecup sudut bibir Vero, “Enggak sih, masih kuat kalau mau main lagi.”
“Tapi aku suka loh kamu pakek piyama satin ini,” ucap Kafka menatap penampilan Vero.
“Masa sih? Ini piyama biasa loh, tapi aku suka modelnya, simpel,” ucap Vero.
“But I like what you're wearing, kamu punya yang lebih sexy lagi nggak?” Tany Kafka.
“Enggak ada, kenapa? Kamu suka yang transparant? Atau seperti lingerie?”
Kafka tertawa, “Aku pikir lingerie itu like starter. Merubah keadaan yang monoton, jadi variasi yang indah,” ucap Kafka tertawa.
Vero ikut tertawa, ia menepuk dada Kafka pelan, “Bukannya kamu yang langsung suka nggak pakek baju? Nggak nyampe semenit baju yang aku pakek langsung lepas.”
“Yes, aku suka kamu nggak pakai baju sebenernya.”
“Tapi body kamu bagus kalau pakek yang sexy. Come on, beli beberapa, kamu bisa ke gerai victoria secret.”
“Sebenernya semua underware aku Victoria secret, bikini, dan beberapa lainnya. Tapi nggak ada super sexy yang kamu maksud.”
“Hemmm,” Kafka mengangguk memperhatkkan Vero.
Vero menatap iris mata Kafka, ia tahu tatapan itu seakan ingin melihatnya mengenakan lingerie super sexy, “Oke, nanti coba beli buat kamu,” ucap Vero terkekeh.
“A good choice. You know what I'm thinking,” Kafka tertawa geli.
“Emang kamu sering berfantasy seperti itu kalau di ranjang?”
Kafka tertawa, ia menoel hidung Vero, “Kadang-kadang sih sayang. Kadang aku pengen lihat kamu pakek kaus jersey bola, kadang juga pengen lihat kamu pakek tang top dan boxer aku. Aku juga pengen lihat kamu pakek pakaian dalam transparan dan lace. Aku juga pengen lihat kamu pakai pakaian tidur sutra, enggak menutup kemungkinan aku pengen lihat kamu pakek lingerie, cosplay, borgol. Sedikit nakal, liar, and sexy,” ucap Kafka.
Vero tertawa, ia menyisir rambut Kafka dengan jemarinya, ia paham maksud Kafka,
“Itu normal kok. Pakaian dalam wanita kan banyak variasi, kesan cute, sexy, sensual dan fashionable.”
“Kamu mau?” Tanya Kafka.
“Why not, pengen juga sih godain kamu pakek super sexy dan cosplay jadi anime mungkin,” Vero tertawa geli, ia membayangkan bagaimana ia cosplay memakai pakaian anime.
Kafka sudah membayangkan bagaimana Vero mengenakan costum itu sebelum sesi bercinta, yang bisa membuatnya panas dingin,
“Pikiran aku udah traveling sayang,” ucap Kafka di selingi tawa.
Vero juga ikut tertawa, “Aku mau pakai costum sailor moon, bagus kali ya.”
“Pasti bagus.”
“Tapi aku lebih suka kamu nggak pakai baju,” ucap Kafka lagi, ia menarik pinggang Vero merapat ke tubuhnya.
Vero gelagapan ketika Kafka mulai menggendong tubuhnya, “Woww, mau ke mana,” tanya Vero, kakinya melingkar di sisi pinggang Kafka secara otomatis.
“Mau ngajak kamu bercinta lagi,” bisik Kafka.
“Ih, kamu nakal.”
“Tapi kamu suka kan.”
***
Share this novel