Happy Reading
***
Kafka menyungging senyum, ia teringat bagaimana ia mencium Vero kemarin, bahkan gilanya mereka selangkah lagi tidur bersama. Kafka memandang laporan-laporan di meja kerjanya. Kafka teringat ia tidak memiliki nomor Vero. Ia harus menghubungi mama untuk mendapatkan nomor wanita itu.
Kafka mengambil ponsel di laci, ia menatap ke arah layar persegi itu. Ia letakan ponsel itu di telinga, ia menunggu mama mengangkat panggilannya.
“Iya, Kaf,” ucap mama di balik speaker ponselnya.
“Hai, ma. Mama lagi apa?” Tanya Kafka.
“Lagi duduk aja sama bibi di rumah. Kenapa Kaf?”
Kafka menarik nafas, “Mama ada nomor Vero kan?”
“Ada, kenapa?”
“Kirim ya ma ke whatsapp Kafka.”
“Memangnya kamu nggak nyimpen nomor Vero.”
Kafka mengusap tengkuknya yang tidak gatal, sungguh aneh memang jika, mama beranggapan bahwa ia kekasihnya Vero, tapi ia tidak memiliki nomor Vero.
“Nomor ponsel hp Kafka semuanya hilang ma. Ini nomor ponsel mama aja minta sama Helen, sekretaris aku.”
“Yaudah bentar lagi mama kirim.”
“Thank you mama.”
Tidak butuh waktu lama akhirnya ia menerima nomor Vero dikirim melalui whatsapp nya. Kafka menyungging senyum, ia menerima ponsel Vero. Ia lalu menyimpan nomor ponsel itu. Ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 13.20 menit.
“Siang pak.”
Kafka menoleh ke arah pintu, “Iya, ada apa, Helen?”
“Saya izin keluar ya pak, di bawah ada ayah dan ibu, saya ngantarin mobil.”
“Iya, boleh,” ucap Kafka tersenyum kepada wanita itu, dia adalah Helen sekretarisnya.
Sampai saat ini, ia tidak pernah tertarik berhubungan dengan wanita atau kenal dekat seperti staff yang bekerja dengannya. Entahlah, ia sama sekali tidak tertarik akan hal itu. Affair boss dan sekretaris hanya ada di novel-novel romance.
Satu hal yang selalu dipandang oleh para pecinta cerita film romance cinderlla terlihat konteks kaya-miskin. Mirip setting sinetron local di mana orang kaya jatuh cinta dengan yang miskin. Padahal kenyataanya bahwa ia mencari wanita yang satu level dengannya.
Ia tentu saja mencari jodoh yang sefrekuensi dengannya, secara kebetulan ia berteman dengan teman-teman kaum teratas di Jakarta. Beberapa di antara teman berkuda dan teman bermain golf ataupun menjadi partner bisnis yang meneruskan perusahaan orang tuanya.
Mereka tentu saja obrolannya sudah terhitung canggih, mulai dari membahas gejala resesi hingga bunga obligasi. Dengan background seperti itu mereka tidak akan membuat hubungan serius dengan caddy golf atau sekretaris mereka sendiri, walau secara fisik banyak yang sempurna.
Namun masalahnya bukan bukan tentang kecantikan, mereka melihat bagaimana cara mereka memandang dunia. Contoh hal kecil saja, misal mereka mencari hiburan menyegarkan, mungkin kelas menengak akan memutar lagu local sebagai hiburan yang menyegarkan.
Tapi temannya sesama golfer sebagian besar sudah pernah mengunjungi gedung konser kelas music besar luar negri. Tentu saja secara standar paham seklumit perbedaan kelas dan frekuensi dan lintas kelas. Apalagi membahas masalah yang rumit seperti penampilan, cara menilai uang.
Lintas kelas tidak semudah yang dibayangkan. Rata-rata ia yang berasal keluarga seperti dirinya, tentu saja ingin mendapatkan pasangan dari wanita dengan background yang nyaris sama. Yah, tentu saja wanita yang bisa ngeblend dalam habbit, manner, dan standar yang sangat berbeda dengan syarat default mempunyai kualitas yang cakep.
Kafka menekan tombol hijau pada layar, ia mendengar suara sambungan di balik ponselnya. Ia menunggu hingga sang pemilik ponsel mengangkat panggiannya.
“Iya, halo,” ucap Vero, ia menunggu cookies buatannya matang.
“Hai, lagi apa?” Tanya Kafka.
Vero mengerutkan dari, ia seperti tidak asing mendengar suara berat itu. Otaknya lalu berpikir, dan otaknya langsung terkoneksi dengan cepat,
“Kafka?”
Kafka menyungging senyum, “Wow, kamu langsung mengenali suara saya.”
“Ada apa?” Tanya Vero, sebenarnya ia malas berhubungan dengan pria ini lagi, setelah kemarin menciumnya.
“Kamu lagi apa?”
“Lagi buat cookies. Kamu tau nomor ponsel saya dari mana?” Tanya Vero, masalahnya ia tidak pernah memberi nomor ponselnya dengan pria ini.
“Saya tahu dari mama.”
“Hemm. Ada apa sih?” Tanya Vero, ia bertanya seperti itu, agar Kafka tahu bahwa ia tidak welcome dengannya.
“Kamu nggak ke mana-mana kan?”
“Emangnya kenapa?”
“Saya mau ngajak kamu minum malam ini.”
“Di mana?” Tanya Vero penasaran.
“SKYE.”
“Hemmm,” Vero mencoba berpikir karena SKYE tempat biasa Jay nongkrong habis pulang kerja.
“Enggak deh.”
“Saya tetap ajak kamu ke sana.”
“Ih, kamu gitu deh.”
“Saya pulang kerja jam empat. Jam tujuh kita berangkat, karena jam pulang kerja biasa macet,” ucap Kafka.
“Kan, saya bilang nggak mau.”
Suasana ponsel seketika hening, “Halo, halo, Kaf, Kaf,” ucap Vero, lalu menatap ke arah layar ponselnya ternyata sudah tidak tersambung lagi.
Oh God, pria itu sangat keterlalu, bisa-bisa dia mematikan sambungan telfonnya sebelum ia selesai bicara. Vero menatap jam digital di sana menunjukan pukul 13.30 menit. Ia lalu bergegas mengangkat cookies nya yang sudah matang.
Ia tidak menyangka bahwa Kafka mengajaknya minum mala mini, ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika bertemu dengan Jay di sana. Ia kembali teringat tentang kejadian kemarin, ia ingin membenturkan kepalanya. Bisa-bisanya ia membayangkan secara berulang-ulang.
***
Vero menarik nafas, ia membuka lemari pakaiannya, ia mengambil bodycoon dress berwarna hitam. Ia menatap ke arah layar perseginya.
“Lo tau nggak, si Kafka ngajak gua minum di SKYE, parah nggak sih. Itu kan tempat Jay nongkrong sama temennya.”
“Terus, terus, lo mau?”
“Gue sebenernya nggak mau, tapi keburu dimatiin. Belum selesai gua nolak,” ucap Vero.
“Ya, nggak apa-apalah, jalan sama Kafka. Lagian dia hot banget, nggak rugi juga jalan bareng,” ucap Ester.
“Apalagi kemarin, lo sama dua hampir ML. Yah, habis minum nanti tuntasin sampe kelar, sok suci banget lo, biasa juga doyan,” ucap Ester.
“Bukannya gitu, tapi kan baru kenal, masa udah gitu-gitu, belum juga jadi pacar,” dengus Vero.
“Yaudah, habis ini jadian.”
“Kan gue udah bilang, gue nggak mau pacaran sama yang profesinya dokter. Lo tau kan gimana bosennya pacaran sama dokter.”
“Ya, coba aja dulu. Lagian dokternya modelan Kafka mah, keren banget tau.”
“Tapi sumpah, kayaknya nggak nyambung aja, gue pastry dan dokter. Mana nyambung kalau ngobrol, gua basic kue, dia penyakit, obat-obatan. Mana nyambung coba?”
“Secara fisik sih dia oke, keren.”
“Itu lo udah ngakuin kalau doi keren. Kalau ngobrol ya tergantung lo dan dia aja sih kek gimana ngimbanginnya,” ucap Ester.
“Terus gua gimana?” Vero mengenakan dressnya.
“Yaudah jalanin aja, kapan lagi kan jalan sama dokter keren. Lo mulai aja dulu, lagian Kafka nggak tergesa-gesa gitu mau pacaran sama lo. Nembak aja belum kan?”
“Iya, emang belum. Tapi beneran gue nggak mau sama dokter.”
“Kalau nanti lo nggak mau, lo kasih nomor WA gue sama Kafka. Bilang sama Kafka gue demen sama dia.”
Vero lalu tertawa, “Oke, nanti gue kasih tau Kafka. Semoga aja dia mau sama lo.”
Ester tertawa geli, “Sayangnya doi doyannya model cewek pecicilan kayak lo, tau! Kalau sama gua, gua rala anu-anu sama doi,” ucap Ester.
“Dasar lo, yaudah sama lo aja.”
“Mau.”
Vero memandang penampilannya di cermin, ia menyapukan makeup pada wajahnya, “Gue cocok pakek lipstick mana? Nude atau merah? Nude aja ya.”
“Coba merah, lebih menggoda dan lebih oke,” ucap Ester.
“Enggak ah, nanti dikira mau godain Kafka, terus dia ke GR an.”
“Kan emang itu tujuan lo sama dia. Udahlah, kalau doi ngajakin bobo, hayukin aja. Pengen tau cerita lo, sehot apa doi di ranjang.”
“Ih, dasar lo ya.”
“Gua cuma takut Jay ada di sana. Takutnya suasana tambah panas.”
Ester tertawa lagi, “Enggak apa-apa, lagian lo dan Jay nggak ada hubungan apa-apa lagi sama lo, buat apa dia marah.”
“Iya sih, tetep aja nggak enak, namanya juga mantan.”
“Itu aja lo pikirin, udah enjoy aja kencan lo sama Kafka.”
“Lo udah selesai buat cookies? Gimana hasilnya?” Tanya Ester, ia mengubah posisi tidurnya menyamping.
“Besok udah foto katalog sih.”
Beberapa menit kemudian akhirnya Vero sudah menyelesaikan makeupnya, ia menatap penampilannya di cermin, tidak ada kekurangan apapun pada dirinya. Ia mendengar suara ketukan dari balik pintu. Ia yakin yang mengetok itu adalah Kafka, hanya Kafka lah yang ia kenal di apartemen ini.
“Ini kayaknya Kafka,” ucap Ester.
“Iya, itu emang dia. Siapa lagi kan tamu gue di sini.”
“Gue pakek Dior atau Hermes?” Tanya Vero memperlihatkan tasnya.
“Dior aja, lebih elegan.”
“Oke, thank’s ya say, gue matiin dulu. Mau samper Kafka.”
“Dah, bilang Kafka jangan lupa pakek kondom.”
“Uh, dasar.”
Vero mematikan sambungan telfonnya, ia lalu membuka hendel pintu. Ia memandang Kafka di depan daun pintu. Pria itu mengenakan kemeja hitam dipadukan dengan celana berwarna senada. Rambutnya tertata rapi, jantungnya seketika berdesir ketika mereka saling menatap satu sama lain.
Kafka memandang wajah cantik Vero dengan sapuan makeup, ia dapat mencium aroma parfume mawar putih dari tubuh Vero. Ia berikan senyum terbaiknya kepada wanita itu.
“Kamu cantik banget malam ini.”
“Thank you.”
“Udah siap?”
“Iya, udah.”
***
Share this novel