Happy reading
***
Beberapa menit kemudian, akhirnya ia tiba di bangunan rumah berpagar tinggi itu. Vero memasukan mobilnya di plataran rumah. Ia tidak tahu kenapa sang mama tiba-tiba menyuruhnya ke rumah seperti ini. Padahal dulu mama dan papa menyuruhnya lekas pindah ke apartemen.
Vero keluar dari mobil, ia melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Ia masuk ke dalam rumah, langkahnya terhenti ketika mama dan papa berada ruang tamu. Ia menelan ludah memandang mama dan papa sudah berada di sana.
Mereka saling berpandangan satu sama lain, suasana ruang tamu terlihat sangat hening. Vero menelan ludah, ia melihat mama dan papa berdiri sambil melipat tangan di dada. Oh God, ia tahu, bahwa ada yang tidak beres di sini, untuk mengurangi rasa hormat, ia berikan senyum terbaiknya,
“Hai, ma, pa,” ucap Vero pelan.
“Sini duduk dekat mama,” ucap mama, menatap putrinya mengenakan dress floral.
Beliau memperhatikan dari ujung kaki ke ujung kepala. Beberapa hari yang lalu, ia memang melihat putrinya senang memakan rujak jambu Kristal dan manggga muda yang dia beli di abang-abang tukang gerobak yang melintas di komplek. Putrinya juga sering mengenakan dress baby doll, ia menduga mungkin itu untuk menutupi kehamilannya.
“Ada apa ma?” Tanya Vero pelan, jujur ada perasaan takut melihat kilatan mata sang mama berapii-api di sana. Vero duduk di samping mama, ia melihat papa yang hanya diam menatapnya. Suasana rumah terkesan sangat horror, biasa papa terlihat teduh, kini sama saja seperti mama.
“Kamu dari mana?” Tanya mama.
“Dari lunch sama Ester.”
“Kenapa kamu suka pakek dress baby doll?” Tanya mama lagi.
Vero mengerutkan dahi, “Ini bukan baby doll mama. Ini halter dress, beda, cutting lehernya aja beda,” ucap Vero.
“Sama aja kan, dress itu bentuknya payung ke bawah.”
“Beda mama. Ah, mama nggak ngerti fashion deh. Ada apa sih ma?” Tanya Vero, di suruh duduk di samping sang mama.
Mama Vero memperhatikan perut Vero, ia yakin bahwa sang anak menutupi semua ini darinya.
“Perut kamu kenapa?” Tanya mama to the point.
Vero mengerutkan dahi, ia dengan reflek mengelus perutnya, “Kenapa ma?”
“Buncit gitu?”
“Masa sih? Masih rata gini perut Vero, habis makan spaghetti tadi sama Ester. Yah, buncit dikit enggak banyak, kan habis makan,” ucap Vero lagi.
“Kamu yakin itu isinya bukan lemak?” Tanya mama lagi.
Sejujurnya ia terpukul jika sang anak hamil, ia tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan putrinya. Ia tidak bisa membayangkan dan ia menahan matanya untuk berkaca-kaca. Jika Vero hamil, ia berusahaan tidak akan menghakiminya, itu justru akan membuat situasi menjadi tidak nyaman dan itu justru membuat Vero menutup diri.
Ia sudah bisa membayangkan bagaimana menit-menit terakhir nanti, mungkin ia dan Vero menangis bersama. Ia akan mengelus punggung putrinya sampai emosinya reda. Kemudian ia bertanya, “Ayahnya siapa, kalau mama boleh tau?” “Mama tidak akan ikut campur jika kamu tidak cerita.” Bagimanapun Vero adalah putri mereka satu-satunya, yang mereka sayangi.
Ia berusaha bersikap bijak di sini, jika di suruh menikah agar tidak menanggung malu? Jika si pria tidak bertanggung jawab ia tidak mempermasalahkannya. Karena ia tahu bahwa menikah itu hasil kesepakatan bersama pasangannya, bukan unsur paksaan. Apabila pasangan Vero tidak bersedia menikahinya, single mom, why not? Ia bersedia mendampingi putrinya hingga melahirkan. Tentu saja ia akan berdiskusi tentang masa depannya, ia sangat tidak menyarankan untuk mengugurkan kandungannya.
“Isinya spaghetti aja sih, ma,” ucap Vero semakin tidak mengerti.
“Beneran?”
“Iya, beneran lah. Baru juga selesai makan siang.”
Mama memandang putrinya, ia tahu kalau Vero mungkin malu untuk menceritakan semuanya. Oleh sebab itu beberapa bulan ini dia sering murung di kamar, bahkan motivasi untuk bekerja tidak ada. Ia tahu bahwa putrinya itu pasti menutupi itu semua darinya. Ia sebagai ibunya akan memberikan dukungan positif, apapun yang terjadi pada putrinya.
Suasana ruang tamu semakin hening, beliau menarik nafas, lalu meraih jemari putrinya.
“Coba ngaku sama mama dan papa,” ucap mama lirih.
“Ngaku apa ma?” Tanya Vero.
“Mama nggak mau menghakimi kamu di sini sayang. Mama cuma ingin kamu ngaku apa yang kamu tutupi selama ini,” ucap mama lirih.
“Ngaku apa ma?” Tanya Vero lagi.
“Tolong ngaku, apa yang terjadi sama kamu.”
Vero semakin tidak mengerti dengan ucapan sang mama, yang menurutnya tidak bisa di jawab olehnya. Ia selama ini sudah jujur, apapun yang terjadi padanya ia selalu cerita. Misalnya mobilnya keserempet, lagi nggak enak badan, pergi ke luar kota, ataupun nyuruh bibi membersihkan apartemennya. Ia bukan tipe cewek yang silent treatment, kecuali urusan ranjangnya, ia tidak akan pernah cerita dengan mama dan papa.
“Ngaku apa ma? Vero nggak ngerti maksud mama,” ucap Vero lagi.
“Mama tau ini berat buat kamu untuk cerita. Tolong ngaku sayang,” ucap mama lirih.
Vero menarik nafas, sejujur ia masih tidak mengerti jalan pikiran sang mama,
“Ma, Vero nggak ngerti maksud mama. Suer, nggak paham! To the point aja, ada hubungan apa dress Vero sama perut,” ucap Vero lagi.
“Mama ke point utamanya, coba? Jangan pakek drama gitu,” ucap Vero merasa kesal sendiri.
Mama menarik nafas, ia terpaksa ke topik utama, “Kamu hamil?” Tanya mama.
“HAH! Hamil?” Vero terperangah.
“Siapa ngelakuin itu sama kamu? Cerita sama mama. Mama nggak akan hakimi kamu, kalau kamu jujur.”
Vero menatap mama dan papa, kedua orang tuanya terlihat jelas ingin meminta dirinya cerita. Masalah hamil? Siapa yang hamil? Dirinya merasa tidak pernah hamil? Otaknya lalu berputar, ia menutup mulutnya dengan tangan agar tidak berteriak. Satu-satunya orang yang ia katakan bahwa dirinya hamil adalah Jay. Jangan-jangan bertanya langsung dengan sang mama.
“Hamil? Siapa yang hamil ma,” ucap Vero.
“Kamu yang bilang sendiri kalau kamu hamil. Kamu punya pacar namnya Kafka,” timpal mama.
“Bener kan? Pacar kamu sekarang Kafka?” Tanya mama lagi.
“Oh May God. Mama tau dari mana?” Vero shock luar biasa.
“Bener pacar kamu Kafka?”
Vero bergeming beberapa detik, ia menarik nafas, “Iya, bener, pacar Vero sekarang namanya Kafka,” ucap Vero pelan.
“Dia yang hamilin kamu?”
“HAH! Enggak, nggak hamil. Vero nggak hamil ma!” Bantah Vero.
“Siapa Kafka sayang, cerita sama mama dan papa,” ucap papa.
Vero manarik nafas dalam-dalam, ia mengusap wajahnya dengan tangan, kenapa tiba-tiba seperti ini. Ia menatap mama dan papa yang masih menunggu jawabannya.
***
Share this novel