HAPPY READING
***
Vero menghentikan mobilnya di depan rumah berpagar tinggi itu, ia menatap Ester keluar dari pagar. Wanita itu melambaikan tangan kepadanya, dia mengenakan celana jins dan kaos crop berwarna putih. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, dan lengan kirinya mengapit tas Dior berwarna hitam.
Ester membuka hendel pintu, ia lalu mendaratkan pantatnya di kursi, tidak lupa memasang sabuk pengaman. Ia memandang Vero, sahabatnya itu mengenakan dress floral. Rambut panjangnya diikat ke belakang.
Kebetulan jarak rumah Ester terletak di Mega Kuningan jadi sekali jalan, lalu mobil mereka menuju ke Loewy. Beberapa menit kemudian mereka tiba di Oakwood Premier Cozmo. Vero memarkir mobilnya di basement, setelah itu mereka melangkah menuju lobby restoran.
Mereka menatap table-table sudah diisi oleh bule-bule yang kerja di kedutaan. Vero dan Ester memilih duduk di bagian indoor. Ia dan Ester memang sering ke sini untuk brunch, tempatnya sangat bagus dan sangat elegan.
Ester dan Vero memilih duduk di dekat jendela di pojok sebelah kiri, karena itu lah tempat yang tersisa untuknya. Mereka menatap server datang menghampiri, Vero memesan classic meat loaf dua untuk dirinya dan Ester, yaitu daging sapi yang pakek mashed potato yang ditaburi dengan kacang polong. Ia pernah makan ini, rasanya enak luar biasa. Untuk dessert banana pudding with chocolate ice cream. Minumannya ia memakan ice lemon tea.
“Lo udah download get contact nggak?” Tanya Ester, ia memandang server sudah mengantar mereka ice lemon tea.
“Belum.”
“Dwonload dulu deh di playstore.”
Vero mengambil ponsel di tasnya, ia mendwonload get contact di playstore. Ia memandang Ester yang menyesap lemon tea nya.
“Aman nggak sih ini aplikasi? Gaptek banget gua,” ucap Vero.
“Of course aman kok,” ucap Ester.
“Terus gimana fungsinya?”
“Fungsinya banyak sih, buat memfilter panggilan nomor nggak dikenal, membantu mengenali nomor penipu atau dept collector. Sisi negatifnya ya resiko tag kita banyak dilihat orang.”
“Terus kalau kita gunain ini, gue bisa lihat tag nya si Kafka?”
Ester mengangguk, “Iya, bisa. Siapa-siapa yang ngetag dia, bakalan ketahuan. Misalnya lo nyimpan nama Kafka sayang, pasti bakalan ada di situ.”
Vero mengangguk paham, “Oke, udah nih,” ucap Vero memperlihatkan ia sudah mendownload get contact.
“Udah gitu masukin aja no hp lo, email isi nama. Jadi deh akunnya, langsung jadi contact premium aja,” Ester memberi intruksi kepada Vero.
“Oke. Permiumnya langsung gopay, ya,” ucap Vero, ia masih menekuri ponselnya.
“Iya bener.”
Tidak butuh waktu lama akhirnya jadi akun get contact milik Vero. Vero memandang Ester, “Setelah ini gimana?” Tanyanya lagi.
“Habis itu, lo searching aja nomor Kafka, nanti nampak kok.”
“Oke.”
Vero dengan sekali melihat aplikasi itu sudah hafal bagaimana melakukannya. Ia melihat di kolom profil ada 40 tag nomor.
“Ini yang ngetag gua?” Tanya Vero menunjukan kepada Ester.
Ester mengangguk, “Iya bener, itu nama yang ngetag lo di ponsel mereka.”
“Semoga nggak ada yang aneh-aneh yang ngasih nama ke gua.”
“Semoga aja. Kalau gue sih ada.”
“Apa?”
“Aneh-aneh deh pokoknya, ada yang ngasih nama gua perek, cewek mega kuningan, sale cewek, cewek sewaan. Lah, gua kan nggak jualan, iseng tuh orang yang envy sama gua,” ucap Ester.
“Iya sih bener, ada yang nggak suka sama lo. Bokap lo kan tajir abis, Es.”
“Nah, itu. Ada yang envy gitu sama gua,” timpal Ester.
“Bisa di hapus nggak kalau ada yang aneh-aneh gini,” ucap Vero.
“Bisa, swipe kiri aja, bisa kok.”
“Oke deh, punya gue nanti aja, yang penting gua kepo sama Kafka.”
Vero lalu mencari kontak Kafka, sedetik kemudian pencarianpun dapat. Ia melihat ada 200 tag di sana. Wow, ia tidak menyangka bahwa tag Kafka sebanyak ini. Ia menelan ludah, akhirnya memeriksa satu persatu yang ngetag di sana. Kebanyakan memberi nama
#Dr. Kafka
#Dr. Kafka tampan
#Direktur Rumah sakit
#Si tampan
#Suami Idaman
#Killer
#Arogant
#Playboy
#Dr. Playboy
#Dr. sakit jiwa
#Sayangku
#Cinta pertama
#Room666
#Hot baby
#Buaya
#Tamu saya
#Kang Selingkuh
#Dr. Sepesialis Bedah Jantung
#Nasabah Prioritas
#Dr. Kafka Carrigan
Masih banyak lagi di bawah sana memberi nama Kafka. Vero hampir shock melihat tag yang tersemat diponsel Kafka, ia menutup mulutnya dengan tangan, membuatnya hampir menjerit.
“Tuh, kan gua bilang apa. Si Kafka nggak bener nih,” ucap Vero.
“Emang, apa sih isinya?” Tanya Vero.
“Lo liat deh, itu, nggak ada benernya tuh orang.”
Ester mengambil ponsel dari tangan dan melihat hastag di sana, “Ya ampun, ini serius?”
“Serius lah.”
“Wah, nggak bener nih cowok lo. Cowok lo playboy abis,” timpal Ester.
“Tuh kan, dari awal gue udah curiga kalau Kafka tuh emang nggak bener, playboy,” rengek Vero.
“Mungkin ada cewek yang nggak suka sama dia kali, makanya di tulis kayak gitu.”
“Tapi hastag palyboy lebih dari tiga, lo liat kan? Berarti bener dia kang selingkuh. Suka mainin cewek gitu.”
“Dia kayak gitu, jual tampangnya yang ganteng itu kan?
Ester mengusap lehernya yang tidak gatal, bingung akan berkata apa. Ia akui pria bernama Kafka itu sangat tampan,
“Hemmm.”
“Iya, sih gue liat. Parah banget tuh cowok lo. Kalau satu sih wajar gitu kan, lah ini lebih dari tiga. Gimana coba?”
“Emang dia playboy abis, sih kayaknya.”
“Wajar sih, kalau playboy kalau tampang oke, keren banget tau.”
“Ah, lo. Kok belain si Kafka.”
“Wajar kali yang suka sama doi. Secara keren banget, bahkan gue bandingin sama Jay, keren Kafka kali dari pada mantan lo. Mungkin aja si cewek udah kebaperan duluan.”
“Enggak gitu sih. Kalau playboy mah, playboy aja,” sahut Vero.
“Tapi cowok playboy, fuckboy itu keren tau. Kalau modelan kayak gitu tuh, kharismanya kuat.”
“Tapi kan tetep aja brengsek.”
“Terus ini dia kasih nama room 666 apaan coba? Emang dia booking cewek apa gimana?” Tanya Vero kesal.
“Ruang prakteknya kali Ver. Itu yang kasih nama pasiennya kali. Terlalu hot, makanya di kasih room 666.”
“Lo mah belain Kafka mulu.”
“Ya kali sekelas Kafka mau main gituan. Enggak perlu main gituan sama cewek dia kan tau konsekuensinya kayak apa kalau suka main sembarangan. Gua aja rela ditidurin kalau sama Kafka.”
“Ih, serem deh lo.”
Ester tertawa geli. Mereka menatap server mengantar pesanan mereka. Kini hidangan tersaji di meja, mereka tidak lupa mengucapkan terima kasih.
“Jadi gimana dong Es, gue udah nggak enak nih jadian sama Kafka.”
“Yah, mau gimana lagi, kan sekarang jadi cowok lo. Nikmatin aja lah. Kece tau, apalagi kata lo dia hot banget.”
“Tapi gua jadi negative thinking gitu sama Kafka.”
“Mana playboy banget, udah gitu suka booking cewek, Arogant pula. Paket komplit, harusnya gue nggak usah percaya sama tampang cakepnya Kafka tadi malam. Tau gitu nggak usah jadian.”
“Harusnya sih, cuma ya udah terlanjur, baru jadian, nikmatin aja,” ucap Ester, ia memotong beef dan lalu memasukan ke dalam mulutnya.
“Ya, mau gimana lagi, bingung gua. Tau nggak sih lo, Kafka tuh lebih parah dari Jay,” timpal Vero lagi, ia memakan beefnya.
“Setuju sama lo!” Sahut Ester.
“Bukannya dapat lebih baik, malah dapat ancur gini.”
“Bener banget!”
“Tapi dia kan dokter, gimana coba bagi waktunya dia yang playboy sama kerjaan?”
“Udah, ah, lo jangan nethink gitu.”
“Bukan gitu, gua penasaran sama mantannya. Kenapa mereka putus? Harusnya gua cari tau itu kan.”
Ester memandang sahabatnya, “Udah lah, jangan cari tau. Nanti hidup lo nggak bakalan tenang. Mending lo nikmatin aja pacaran sama Kafka. Jarang-jarang ada cowok keren profesinya dokter.”
“Masa lalu biarin aja. Yang penting Kafka nyaman sama lo dan lo juga gitu.”
Vero memakan lagi makanannya, “Iya, sih. Tapi gua masih kepikiran dia main-mainin gua, apa nggak, Es.”
“Nah itu, gua nggak tau. Takutnya lo cuma sebagai untuk tidur doang.”
“Tuh kan. Gua cuma di manfaatin aja sama Kafka buat temen tidur doang. Kan gue satu apartemen sama dia.”
Ester menarik nafas, menatap sahabatnya cukup serius, “Udah deh, jangan bahas Kafka lagi. Semoga dia serius sama lo, Ver. Oiya gimana lo liat mantannya si Kafka, oke nggak?”
“Biasa aja sih. Kata Kafka cantikan gua dari pada Fiona mantannya.”
“Kerja apa mantannya? Dokter juga?” Tanya Ester.
Vero menyesap lemon tea nya, ia mengangguk, “Dokter anak.”
“Keren dong. Dari pada lo pengangguran,” Ester tertawa geli.
“Udah ah, jangan bahasa mantannya, nanti lo sakit hati lagi. Lagian baru jadian juga sama Kafka. Nanti malah berantem, gara-gara get contact, gara-gara mantan. Nikmatin aja lah, lagian dia hot banget.”
“Iya sih, gue ngakuin kalau Kafka itu hot.”
“Pakek pengaman nggak kalau doi main?”
Vero menggelengkan, “Enggak.”
“Lo digempur dia, sehari semalam, nggak pakek pengaman?”
“Enggak. Enggak kepikiran juga mau pakek pengaman,” ucap Vero makan dengan tenang.
“Hamil baru tau rasa lo!”
“Kalau dokter itu kan ada obat mujarab biar nggak hamil gitu, kan.”
“Pasti ada sih obat mujarabnya.”
“Takut gua, tiba-tiba telat bulan depan.”
“Kan Kafka yang tanggung jawab Ver, nggak usah takut lah.”
“Tapi tetep aja belum siap.”
“Bilang aja sama Kafka, kalau main harus pakek kondom.”
“Nanti deh, gua bilang Kafka. Kalau main lagi pakek pengaman, ngeri juga kan tiba-tiba gua hamil.”
“Bener banget.”
Vero dan Ester memakan-makanannya hingga habis tidak tersisa. Lalu menyesap lemon teanya secara perlahan, sambil menikmati suasana bistro yang ramai. Mungkin karena sudah masuk jam makan siang. Vero menatap ponselnya bergetar, ia melihat nama “Kafka Calling” pada layar ponsel.
“Siapa?” Tanya Ester.
“Kafka.”
Vero menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga, “Iya, halo,” ucap Vero.
“Hai, sayang, kamu lagi apa?” Tanya Kafka dibalik speaker ponselnya.
“Baru selesai brunch sama Ester.”
“Di mana?”
“Di Loewy. Kamu udah lunch?” Tanya Vero.
“Bentar lagi aku makan di cafetaria.”
“Kamu pulang jam berapa?”
“Jam empat udah pulang kok. Aku tiba-tiba kangen sama kamu?” ucap Kafka.
Vero tertawa, “Ia aku juga kangen sebenernya. Nanti pulang kerja aku masakin kamu ya.”
“Senengnya di masakin sama pacar. Yaudah kalau gitu, love you sayang.”
“Love you to.”
Vero mematikan sambungan telfonnya, ia meletakan ponsel di meja. Jujur sebenarnya ia sudah nyaman bersama Kafka, namun hal-hal yang ada di get contact tadi membuatnya kepikiran. Apa Kafka seplayboy itu. Tuh, kan jadi kepikiran, kepikiran kalau Kafka pacaran dengan dirinya hanya untuk main-main saja.
***
Share this novel