Bab 11

Romance Completed 28558

Happy Reading

 ***

Vero menelan ludah sebelum ia melayangkan protes, Kafka mendorong tubuhnya hingga bersandar di sisi sofa empuk itu. Lalu pria itu mengurung tubuh dengan kedua tangannya. Ia menatap ke mulai memperhitungkan jarak dirinya ke pintu utama, karena itu adalah satu-satunya jarak agar ia bisa keluar dari perangkap ini. Vero berhitung dalam hati, mulai dari angka pertama, aksi nekatnya kabur, satu … dua … ti …

Ummppphhh … semua controlnya hilang. Yang ia temukai posisinya saat ini bersandar di sofa , merasakan bibir Kafka memangut bibirnya. Ia bisa merasakan nafas beraroma cengkeh yang segar. Kafka menyerang bibirnya bertubi-tubi, menghisap lalu lidahnya menelusup ke dalam rongga mulutnya.

Ketika ia di serang laki-laki seperti ini, justru membuat libidonya naik. Ia ingin melayangkan protes namun bibir Kafka membuatnya hilang kendali, pertahanannya runtuh ketika Kafka menghisap bibirnya dengan kuat. Tubuhnya kaku dan saluran nafasnya seperti tersumbat, karena terlalu kaget dengan semuanya.

Kini tubuhnya mengikuti pikiran, bibir Kafka sudah membelai bibirnya dengan ganas. Sementara tangan Kafka menarik kuciran rambut di kepalanya, hingga terurai. Bibirnya seakan memaksa dirinya mengangkat wajah ke arahnya, agar dia punya akses menciumnya lebih dalam.

Tangan Kafka yang lain berpegang di sofa dan tangannya yang kiri memegang wajahnya. Ia baru saja ingin perotes, namun digunakan Kafka  untuk menyerangnya lebih ganas lagi. Oh God, ia tidak munafik bahwa saat ini libidonya semakin naik.

Kafka sudah mengobrak-abrik bibirnya. Ia menyadari bahwa ia sudah hanyut dalam ciuman Kafka, karena rasanya sangat luar biasa. Pada saat yang sama, ia mencoba mendorong dan menjauhi diri, tapi telapak tangannya justru  menyentuh dadanya. Oh Tidak, tubuh Kafka sangat tegap sekali.

Justru dirinya menarik kaos yang dikenakannya karena hilang keseimbangan dan kini justru Kafka mangakta tubuhnya, lalu duduk dipangkuannya. Kedua tangannya berada di punggungnya dan menekan, agar tubuh mereka tidak ada jarak.

Tubuhnya dan tubuh  Kafka sudah sangat intim, Kafka masih menyerang bibirnya dengan rakus. Ia tidak bisa berpikir jernih, ia mendesah.

“Ahhh …” desah Vero.

Pada detik ini ia hampir gila, bisa-bisanya ia mendesah saat dicium Kafka. Ia pasti sudah gila karena  bisa tetap single, padahal ia sangat merindukan sentuhan laki-laki pada tubuhnya. Vero membiarkan Kafka mengecupnya lebih.

Vero menyisir rambut Kafka dengan jemarinya,  rambutnya ternyata sehalus rambut bayi. Rambutnya sangat natural dan beraroma segar. Ia menarik nafas dan membalas lumatan-lumatan Kafka. Sementara tangan Kafka aktif mengangkat dress yang di kenakan Vero.

Kafka tahu bahwa ia pria bisa melewati batas  kemampuannya sendiri. Mereka tidak berhenti memangut satu samalin, karena ia dan Vero sudah terbakar gairah. Mereka sedang berada di apartemen hanya merka berdualah di sini. Tidak akan  ada yang melihat apa lagi yang masuk, karena  apartemen seperti ini sangat privasi.

Dalam hitungan deti Kafka meloloskan dress yang dikenakan Vero, setelah itu ia menyerang lagi bibir itu habis-habisan. Mereka sama-sama terbakar gairah, tidak ada yang ingin saling berhenti. Kafka melepaskan pangutannya, kini beralih ke leher Vero, ia mengecup dan menghisap, lidahnya bermain dengan basah. Ia mendengar desahan-desahan dari bibir Vero.

Ia mengecup semua bagian leher hingga punggung, hingga akhirnya kedua tangannya melepas pengait bra yang dikenakan Vero. Kafka  lalu menghisap dada kanan, ia menghisap seperti bayi yang kehausan. Tidak ada satupun yang tertinggal bagian tubuh yang ia hisap. Vero mendesah ketika ia merasakan geli bercampur nikmat. Hisapnya semakin membuatnya gila, ia melenguh tanpa henti.

Raga Vero sudah tersesat, bibir, bahu, leher, dada sudah di sentuh. Vero membuka matanya secara lebar, akal sehatnya lalu sadar. Ia menatap Kafka, menantang untuk melakukan hal yang sama. Ia yakin saat ini, ia sudah gila, karena ia sudah membiarkan Kafka mencumbunya, dan tubuhnya hampir naked. Sangat tidak adil untuknya, pria itu masih memakai pakaian lengkap. Sedangkan dirinya sudah naked, hanya satu-satunya g-string menutupi tubuhnya.

“Oh, no!” ucap Vero, dengan cepat ia melonggarkan pelukannya dan lalu menjauhi tubuh Kafka.

Otomatis Kafka menghentikan aktivitasnya, “Kamu nggak mau?”

Vero dengan cepat menyingkirkan tubuh Kafka di hadapannya, ia dengan cepat memungut bra dan dress nya yang sudah tergeletak di lantai. Ia mengenakannya dan Kafka hanya bisa menatapnya.

Kafka yakin ia bisa saya menarik tubuh itu lagi dan menciumnya bertubi-tubi, ia sangat yakin bahwa mereka dalam hitungan detik mereka bisa berakhir di ranjang. Ia memandang Vero mengenakan pakaiannya. Wajah wanita itu bersemu merah karena sudah terbakar gairah, ia melihat ada tanda kemerahan di leher Vero.

“Kamu nggak apa-apa?” Tany Kafka.

Vero nyaris menganga, mendengar Kafka mengatakkan dirinya tidak apa-apa. Yang benar saja mengatakan tidaka apa-apa, sementara dirinya sudah naked di hadapannya. Ia sangat tidak masuk akal, ia sudah terbakar malu, ditanya seperti itu lagi. Mukanya kepalang malu dilihat seperti ini.

Vero ngambil  kuciran rambutnya dan mengikatnya kembali. Ia merasakan hawa panas di sini, AC yang menyala sudah tidak berguna, ia sudah seperti wanita yang haus belaian pria.

“Saya harus berhenti, karena ini sudah kelewatan,” ucap Vero sebelum meninggalkan apartemen pria itu.

Oke, mungkin kata-kata itu tidak masuk akal setelah ia menikmati cumbuan Kafka. Ia memandang seutas senyum dari bibir Kafka, sepertinya pria brengsek itu puas karena berhasil mencumbunya.

“Maaf, aku tidak bermaksud memaksa kamu,” ucap Kafka.

“Saya harus pulang,” Vero melangkah mendekati pintu utama.

“Ver.”

Vero menoleh kebelakang memandang Kafka yang melangkah mendekatinya, ia memegang ganggang daun pintu, jika sewaktu-waktu, Kafka menyerangnya lagi ia bisa keluar dengan bebas.

“Apa?” Tanya Vero, ia menetralkan nafasnya.

Kafka melangkah mendekati Vero, ia pandangi wajah cantik itu, “Ternyata kamu lebih liar dari pada yang saya pikirkan selama ini,” ucap Kafka menyungging senyum, sambil menyentuh rambut panjangnya.

Entah, mungkin ia sudah gila, ia ikut tersenyum, “Is that good or bad?” Tanya  Vero.

“This is fantastic. You are fantastic,” bisik Kafka.

Vero tersenyum mendengar komentar Kafka, ia berdiam diri beberapa menit, sambil menetralkan nafas. Ia merasa jika menatap iris mata itu, ia yakin tubuhnya akan meleleh lagi dalam pelukan Kafka. Tinggal selangkah lagi tadi ia hampir making love.

Ia menatap senyum Kafka, senyum itu sungguh mengerikan, seolah mengajaknya melakukan hal lebih gila lagi seperti yang tadi mereka lakukan. Dalam kurang satu menit, ia lalu keluar dari ruangan ini. Meninggalkan semua  isi kepalanya yang penuh nafsu. Oh Tuhan, ia akan menceritakan ini kepada sahabatnya Ester.

***

Ketika tiba di apartemennya, Vero dengan cepat mencari keberadaan ponselnya. Ia mendepati apa yang ia cari, ia mencari kontak nomor Ester. Ia meletakan ponsel itu di telinga, ia mendengar suara sambungan di sana.

Beberapa detik kemudian, sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya.

“Iya, halo Ver?” Tanya Ester di balik speaker ponselnya.

“OMG, lo harus tau, apa yang gua alami barusan.”

Ester mengerutkan dahi, “Apa?”

“Lo tau? Si Kafka hampir perkosa gua!” Ucap Ester hampir menjerit.

“Oh May God! Serius lo!”

“Serius lah.”

“Kok bisa?”

“Bisa lah.”

“Gimana ceritanya, lo hampir di perkosa, yang ada lo keenakan diperkosa sama cowok sexy kayak Kafka.”

“Ah, lo gitu deh.”

“Cepet, cerita, gimana bisa?”

“Lo mau tau? Gua sama  Kafka itu unit apartemennya sama, terus di lantainya sama.”

“OMG! Serius?”

“Iya, serius, terus terus.”

Vero menarik nafas, “Tadi gue ketemu dia di supermarket bawah, terus dia bantuin gue ngangkat belanjaan gue yang super banyak itu. Doi tanya ini belanja untuk apa? Ya, gue jawab buat cookies. Karena doi udah baik hati karena ngangkat belanjaan gua. Gua kasih tuh cookies ke apartemen dia.”

“Baru berapa menit ngobrol tentang cookies. Kafka cium gua, parah banget doi.”

“Enak ciuman doi?”

“Enak banget lah, gua aja sampe nggak bisa mikir lagi, tau-tau dress gua udah melayang, bra gua udah di lantai, separah itu, tau nggak sih lo.”

Ester tertawa geli, “Kenapa nggak di lanjutin aja? Nanggung banget udah naked juga.”

“Untung gua sadar. Gau langsung lepasin dia, gua buru-buru balik, langsung nelfon lo. Lo ke sini deh, ngeri gua ada Kafka di sini, takut khilaf gua,” ucap  Vero.

Ester tawa, “Takut apa pengen.”

“Ih, lo gitu deh.”

“Iya, iya gua ke sana. Gua juga rencana mau ke apartemen lo. Libur gini juga nggak tau tujuan ke mana.”

“Kalau lo, udah nyampe lobby kasih tau gua.”

“Oke.”

Vero mematikan sambungan telfonnya, ia lalu menutup wajahnya dengan tangan. Ia memegang bibirnya, ia merasakan bibirnya kebas karena di cium Kafka. Ia tidak percaya bahwa bibirnya sudah di sentuh pria itu. Sekarang sudah menyebabkan candu, seakan-akan tidak punya arti tanpanya. Senyuman Kafka membuatnya sulit untuk memejamkan mata.

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience