Bagaimana bisa Cora tersenyum bersama Benicio? Bagaimana bisa Cora tersenyum bersama Godfreido? Kenapa tidak bisa tersenyum bersamanya? Padahal dulu senyum itu hanya untuknya. Coraima benar- benar melupakannya ataukah semua ini karena wajahnya yang cacat?
Salvador mendesis di depan bibir Coraima. "Bibirmu adalah milikku, Cora. Kau persembahkan ciuman pertamamu padaku, tidakkah kau ingat?"
"Kau gila! Sejak kapan aku suka rela berciuman denganmu? Ciuman pertamaku bersama Godfreido. Pria yang memperlakukanku dengan hormat dan lembut!" bentak Coraima. Ia mendesak melepaskan diri dan tiba-tiba saja Salvador berhenti menahannya. Pria itu berdiri tergamam.
Diperlakukan dengan hormat dan lembut? Itukah yang diinginkan Coraima? Bukannya wanita suka kekerasan? Mereka jatuh cinta pada penculik dan pemerkosa. Terutama bila pelakunya kaya raya. Itu adalah jalan tercepat memiliki wanita yang disukainya.
Coraima bisa sedikit lebih berani beralasan. "Tolonglah, aku benar-benar tidak mood untuk melakukan hubungan badan." Coraima memijat kening berlagak sakit kepala. "Aku ... aku butuh istirahat, Salvador. Kehidupan seperti ini bukan sesuatu yang aku inginkan. Aku tahu aku tidak bisa pergi darimu, tapi setidaknya kumohon, beri aku waktu untuk menenangkan diri."
Salvador menarik napas dalam-dalam. Coraima sudah paham posisinya membuat Salavador sedikit lebih tenang.
Coraima mengintip kejantanan Salavador menciut, sepertinya pria itu berhasil menurunkan berahinya. Coraima mengembus napas lega. Ahh, syukurlah ....
Karena Coraima membuatnya cemburu, Salvador membalasnya dengan menggerutu seraya memunguti bajunya. "Bah, seharusnya Lorena tidak kusuruh pulang kalau tahu bakal ditolak begini." Salvador mengambil ponselnya dari saku celana. Ia menghubungi nomor Lorena. "Akan kupanggil dia ke sini lagi," gumamnya.
Di belakangnya, Coraima mencibir. Yang menyuruh pesta bubar siapa? Dasar orang aneh!
Salvador berjalan keluar kamar dalam keadaan bertelanjang seluruh tubuh. "Lorena, kemari, sayang. Temani aku malam ini. Siapa? Cora? Oh, dia mengalami gejala menopause, butuh istirahat katanya."
Mendengar ejekan itu, Coraima terbelalak dan rasanya ingin meninju Salvador. Namun, pria itu meninggalkannya dengan santai membuat Coraima lega bukan main. Malam ini ia punya waktu "me time" yang begitu langka sekarang. Coraima tidak bergegas tidur, melainkan ia pergi mencari Latanza.
Latanza ada di kamar Esmeralda hendak menidurkan Valentina dengan menimangnya. Bayi itu sudah dibersihkan dan memakai baju tidur. Valentina merengek-rengek mengantuk, tetapi merasa tidak nyaman sehingga susah tidur.
Coraima melihat Esmeralda sudah ditidurkan. Berbaring telentang diselimuti rapi. Coraima berbicara perlahan pada Latanza. "Biar Valentina tidur bersamaku saja, Latanza."
"Oh, tapi ...."
Mendengar suara Coraima, Valentina membuka lebar matanya, lalu menggapai- gapai ke arah wanita itu. "Mama ...."
"Tapi bagaimana dengan Tuan Salvador?"
"Salvador sedang sibuk sendiri. Aku rasa aku bebas malam ini," ujar Coraima meyakinkan.
"Baiklah, Nyonya," ujar Latanza seraya menyerahkan Valentina ke dekapan Coraima. Ia berdoa lirih. "Ya Tuhan, semoga Tuan Salvador tidak marah."
Coraima tidak menggubris soal itu. Ia menyanjung Valentina dengan nyanyian lembut. Anak itu terlihat menikmatinya. Ia membawa Valentina ke kamarnya. Latanza mengiringi membawakan selimut dan bantal bayi.
"Taruh saja di situ, Latanza," ujarnya menunjuk kasur. "Kau istirahatlah. Biar Valentina bersamaku. Jika ada yang tidak bisa kutangani, aku akan mencarimu."
"Baik, Nyonya. Kalau begitu saya undur diri." Latanza pun keluar dari kamarnya sekaligus menutup pintu.
Coraima lanjut menimang Valentina. Bayi itu menatapnya dengan bola mata warna biru seperti mata Godfreido. Selanjutnya perlahan- lahan mata itu sayu terlelap. Coraima tersenyum haru disertai air mata meleleh di pipinya.
Setelah menikah, ia mendambakan memiliki bayi bersama Godfreido dan membesarkan anak bersama-sama, tetapi itu tidak akan pernah terwujud lagi. Namun, adanya Valentina mewujudkan setengah impian tersebut. Toh ia tidak mungkin lagi hamil anak Godfreido, tetapi, ia masih bisa membesarkan anaknya.
Valentina agaknya sudah lelap, Coraima membaringkannya di kasur, menyelimutinya. Ia menyalakan lampu tidur lalu berbaring di sebelah bayi itu dan ikut lelap.
Sama- sama kelelahan dan lega bisa lepas dari ancaman Salvador, keduanya bak menemukan belahan jiwa, senasib sepenanggungan. Valentina dan Coraima tertidur sangat nyenyak, hingga tidak terganggu ketika seorang pria memasuki kamar.
Salvador datang ke kamar itu untuk menenangkan diri. Tidak ada Lorena datang padanya. Ia pura-pura menelepon wanita itu hanya untuk mengintimidasi Coraima.
Dalam keremangan, Salvador bersandar di balik pintu, memandangi Coraima dan Valentina. Sorot mata Salvador sangat lembut penuh kasih meskipun ekspresi wajahnya tetap saja muka antagonis. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Bukan seringai yang biasa ditunjukkannnya pada khalayak, melainkan sebuah senyum terkenang masa kecil bersama Corazon yang suka main bayi- bayian dan ia menjadi suami- suamiannya.
Entahlah. Waktu itu sangat menyenangkan. Waktu terbaik dalam hidupnya. Ia bahagia, meskipun sangat konyol karena itu hanya permainan. Karena itu juga ia merahasiakan pertemanannya dengan Corazon. Kalau ketahuan, mau ditaruh di mana mukanya, seorang jagoan jalanan yang ditakuti anak satu kampung ternyata suka main Papi- papian.
Beh, sekarang istilah itu terdengar sangat me.sum. "Sialan!" desis Salvador yang mulai bangkit lagi berahinya. Ke mana ia harus menyalurkan benih- benihnya?
***
Pagi hari adalah jam sibuk di kediaman Salvador. Tidak terkecuali Coraima.
Ia bangun dengan perasaan lebih baik dan tubuh segar. Latanza datang ke kamarnya untuk menangani Valentina. Coraima bisa mandi dan berdandan seadanya untuk berkutat dengan urusan dapur. Benicio sudah ada di dapur, terlihat berwibawa seperti host sebuah acara. Bersamanya hadir para juru masak bawahan chef terdahulu.
"Mereka siap bekerja di bawah arahan Anda, Nyonya," ujar Benicio.
"Oh," seloroh pelan Coraima. Ia menatap orang-orang itu tampak antusias hendak bekerja, tidak terlihat ketakutan seolah mereka tidak mengetahui apa yang terjadi pada Chef Emanuel.
Coraima menelan ludah. Chef Emanuel mungkin orang kesekian yang bekerja bersama mereka dan ia adalah calon tumbal berikutnya jika ia gagal memenuhi ekspektasi Salvador. Coraima menarik napas dalam memantapkan diri. "Baiklah, semuanya, sebelum memulai aktivitas, marilah kita berdoa terlebih dahulu. Semoga kita diberkahi hari ini dan semua berjalan lancar. Amin."
"Amin!" sahut mereka.
"Ayo kita mulai!" seru Coraima dan orang-orang itu mengambil posisi masing-masing di dapur.
Ia mengarahkan para juru masak membuat hidangan komplit sarapan. Menu utamanya Migas, yaitu makanan pokok terbuat dari tortilla jagung yang tumis menggunakan minyak zaitun bersama sayuran dan telur kocok.
Sebagai makanan pembuka disajikan volovanes, sebuah kue bundar seukuran satu suapan berisi krim, sayuran dan udang.
Hidangan penutupnya adalah Spanish fardelejos, pastri bertabur kacang almond dan berisi krim lemon yang terasa asam menyegarkan.
Aroma masakan serta suara gaduh peralatan masak berpadu dengan desisan panas, benar-benar memberikan hawa serta suasana segar bagi Coraima. Salvador boleh jadi merenggut kebahagiaannya, akan tetapi dapur itu menjadi ruang sakral yang menenangkan jiwanya.
Makanan tersebut dibawa ke ruang makan prasmanan di bangunan terpisah dari kediaman utama. Di sana para anak buah Salvador yang jumlahnya ratusan makan bareng dengan lahap sekenyangnya.
Coraima ke sana, didampingi Benicio. Di situ ia melihat para anggota gangster terlihat sangat manusiawi, padahal beberapa dari mereka adalah orang-orang yang hadir saat Godfreido dibunuh. Mereka makan bersama-sama, bersenda gurau layaknya bersaudara, tanpa terlintas hiruk pikuk dunia yang sadis.
"Di sinilah mereka makan dan berkumpul bersama sebelum menjalankan tugas masing-masing, Nyonya," terang Benicio.
Coraima tidak ingin tahu yang dimaksud 'tugas masing-masing' itu bagaimana. Ia mencamkan niat dalam hati bahwa ia akan menyiapkan makanan tanpa menghakimi siapa pun yang memakannya.
"Wuaah, makanan hari ini benar-benar lezat dan berbeda dari biasanya," kata orang-orang itu. Semuanya mangut-mangut keasyikan menyantap.
Jika mengingat perkataan Salvador bahwa setelah kaya raya ia ingin makanan yang terbaik masuk ke perutnya, orang-orang ini juga berharap demikian karena mereka semua berasal dari jalanan. Dengan menyediakan sarapan seperti ini, Salvador menyanjung mereka agar merasa lebih baik. Jika asupan yang masuk ke tubuh mereka sesuatu yang disajikan penuh cinta, mungkin cinta itu akan meresap dalam hati mereka dan para gangster ini mungkin tidak akan terlalu kejam lagi. Begitulah pemikiran Coraima yang naif.
Coraima tiba-tiba tersentak. "Oh, iya. Aku harus menyiapkan sarapan untuk Salvador." Ia bergegas kembali ke rumah utama.
Coraima ke dapur dan meminta seorang koki menata piring dan isinya. Migas, volvanes, dan fardelejos tertata cantik. Tak lupa segelas anggur Mosto menemani. Mosto adalah minuman anggur non alkohol karena dibuat dari perasan anggur segar, tanpa difermentasi.
Bersama seorang pelayan, Coraima mengantarkan baki makanan ke kamar Salvador. Di depan pintu, Coraima menarik napas dalam, bersiap-siap menemukan pemandangan menjijikkan Salvador dan kekasihnya.
Coraima mengetuk pintu.
"Masuklah!" seru Salvador dari dalam.
Coraima membuka pintu dan sedikit lega melihat Salvador duduk bersedekap di ranjang dengan separuh badan tertutup selimut satin. Muka pria itu tertekuk menahan marah seperti tidak tidur sepanjang malam.
"Aku datang untuk mengantar sarapanmu," ucap Coraima sedikit waswas karena Lorena tidak tampak. Mungkin sedang di kamar mandi. Coraima ingin segera keluar dari kamar sebelum wanita itu muncul.
"Taruh saja di situ!" tunjuk Salvador dengan dagunya ke arah meja bundar dekat kursi santai.
Coraima melirik pelayannya dan wanita itu meletakkan baki di meja tersebut.
"Keluar!" seru Salvador lagi dan wanita itu buru-buru membungkuk sekaligus undur diri. Kesal, kesal, kesal! Itulah yang dirasakan Salvador sepanjang malam.
Coraima memutar badan hendak mengiringi pelayan itu, tetapi Salvador berseru keras. "Bukan kamu! Aku tidak menyuruhmu keluar. Kau masih ada tugas yang harus ditunaikan, Cora."
Coraima mematung di posisinya. Pintu kamar tertutup rapat dan suara kain seprai serta selimut bergemeresak terdengar jelas. Ia tidak mendengar suara langkah, tetapi ia tahu Salvador mendekatinya.
Pertama yang dirasakannya adalah embusan napas pria itu di tengkuknya, kemudian kecupan kuat beberapa kali diikuti sepasang tangan kekar yang berusaha melingkari pinggangnya sepelan mungkin. Kemudian itu, benda keras berbentuk batang yang menekan lekukan pantatnya.
Sekujur tubuhnya meremang panas. "Sss Sal ...," sebut Coraima tergagap.
Pria itu menyahut parau sembari tanpa henti menyusuri pundak dan tengkuknya dengan ciuman. "Kau sudah mendapatkan tidur nyenyakmu malam tadi. Aku sudah sangat pengertian padamu, sekarang aku menuntut jatahku."
"Tapi, Sal ... ngg ... Lorena ...."
Salvador memepet Coraima hingga melangkah maju dan melekap ke pintu. Salvador menyibak rok Coraima dan tangan menyusup ke lingerinya, meremas- remas pipi pantat yang hangat dan kenyal. "Siapa Lorena?" gumam Salvador.
Coraima berdecak sebal. Semudah itu Salvador mengabaikan wanita-wanitanya. Dasar pria kurang ajar! Coraima berusaha berbalik perlahan-lahan. "Lorena kekasihmu. Kau tidur bersamanya. Tidakkah itu sudah cukup?"
"Kata siapa itu cukup?" tuding Salvador sambil menekan Coraima agar kembali melekap ke pintu. Ia geram sehingga agak keras menekan, membuat Coraima terpekik kecil.
"Ah!"
"Jika cukup aku tidak akan membutuhkanmu sekarang," gumam Salvador sambil membungkuk menurunkan celana renda Coraima.
Coraima merapatkan kakinya tetapi itu tidak mencegah celana dalamnya lepas dari tungkai kakinya. "Ahh!" pekiknya lagi ketika Salvador kembali menekannya dengan seluruh tubuh dan tanpa aba- aba, batang kerasnya turut menekan hingga pantatnya harus terjungkit lalu pasak besar memadati liang mungilnya.
"Kyaaah!! Ahh hmmh, Saaall ....!" Coraima terpekik dan kuku menggaruk daun pintu berusaha mencengkeram.
Kehangatan Coraima dan kelembutannya sangat lekat memeras miliknya, Salvador terpejam dan mengerang lepas. "Oooh, Cora .... Aku tahu pagimu akan sehangat ini. Oh, mi Corazon ... aku menyukainya, sayang."
Salvador lalu mulai mengentak- entak cepat pinggulnya mendebur Coraima dengan segenap hasratnya. Wanita itu bertahan sekuat tenaga agar tidak membentur pintu.
Tangannya tidak banyak membantu. Coraima menekuk lengannya hingga siku menempel di pintu. "Oh ...!" Erangan parau Coraima sepanjang Salvador memacunya. Mulutnya termangap lama hingga terasa kering kerontang. Gempuran Salvador cepat tanpa jeda membuat Coraima klimaks berkali-kali hingga ia tidak merasa lagi kalau sedang berdiri. Kakinya terangkat dari lantai oleh hunjaman keperkasaan Salvador.
"Saaall! Huk hu hu hu ...," isak Coraima nyaring tak tertahankan lagi. Akumulasi cipratan dalam rahimnya melimpah ruah, meleleh di pahanya. Rasanya sangat memalukan. Ia tidak cinta pada Salvador, tetapi pria itu adalah kenikmatan terhebat yang pernah dirasakannya.
"Iya, sayang, aku tahu, sayang. Sebentar lagi aku menyusulmu," engah Salvador yang berusaha keras mencapai klimaksnya. Ia tidak ingin mengakhiri penyatuan itu, tetapi Coraima sudah sangat putus asa.
Tangannya menggerayangi ke bagian depan gaun Coraima, menyusup di sela branya lalu meremas-remas kedua gundukan itu sambil menjepit bulirnya, membayangkan itu adalah puncak es krim kesukaannya yang bisa ia jilat, emut atau lahap seluruhnya. Lalu anak- anaknya kelak mendapat asupan nutrisi dari sana. Anak- anaknya yang lahir dari rahim Cora. Bukankah dengan demikian hidupnya sempurna?
Salvador menembakkan benihnya dan ia mengerang girang luar biasa. "Uugghh, sssh aaahhh, Cora sayang ...."
Saat klimaks itu terlihat kembang api yang sangat indah, kata orang-orang. Begitulah yang dilihat Coraima setiap kali ia klimaks. Kilauan cahaya yang terpantul di mata indah itu. Merah rubi, hijau, biru, nyala neon.
Salvador menarik diri darinya. Sisa cairan maskulin pria itu meleleh di sepanjang kakinya yang lunglai. Coraima tersandar di pintu, lalu perlahan merosot terduduk di lantai. penglihatannya nanar. Ia berusaha mengatur napasnya yang tersengal sembari memandangi sosok Salvador yang berdiri membusung da.da penuh kepuasan.
"Kau sangat jahat, Sal. Kau menyanggamai Lorena, juga menyanggamaiku. Kau sangat tidak berperasaan. Bagaimana jika Lorena cemburu? Apa kau mau aku bersaing dengannya seperti drama telenovela? Aku tidak mau seperti itu. Bagaimana jika ia berniat jahat padaku?"
"Aku akan membunuhnya," jawab Salvador gamblang.
Coraima membisu.
Ia mendekati Coraima lagi, berjongkok di hadapan wanita itu lalu mengelus rambutnya. Sorot mata Salvador melembut bersamaan dengan caranya berucap. "Aku benci menjelaskan, tapi secara singkatnya begini: aku akan membunuh siapa pun yang menyentuhmu, apalagi sampai menyakitimu, mi corazon. Aku akan melindungimu dan memberimu segalanya yang terbaik. Karena itu, jangan mengkhianatiku, atau aku sendiri yang akan menghabisimu. Kau memberiku 1 kebaikan, maka akan kubalas berkali-kali lipat. Begitupun sebaliknya."
Coraima enggan menatap mata indah Salvador. Ia menoleh ke arah lain. "Tapi aku tidak ingin bersaing dengan wanita lain, Sal. Persaingan antar wanita bisa sangat mengerikan." Ia ingin menyerah saja duluan.
"Baiklah. Hal itu terselesaikan. Aku tidak akan berhubungan dengan Lorena lagi."
Coraima terperangah atas keputusan itu. Salvador memutuskan Lorena begitu saja? Tidak mungkin.
Salvador bergerak sigap mengangkat Coraima dari lantai lalu menggendongnya. "Sebagai balasannya, maka kau tidak boleh menolak aku lagi."
Salvador melangkah membawa Coraima ke ranjangnya. Coraima merasa terjebak, sehingga ia protes. "Eh, tunggu dulu, tunggu dulu!"
Namun, Salvador tidak mau mendengar alasan apa pun lagi. Sekali ada kesempatan bicara, Coraima akan membuatnya jadi orang plin-plan. Ia membungkam perkataan Coraima dengan ciuman dan menindihnya seraya memberikan ayunan pinggul terbaiknya.
*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea
Share this novel