14. Ketika Kita 16

Romance Completed 10892

Betapa puasnya Salvador tergambar di wajahnya, membuat Coraima berpaling, enggan menatap pria itu. Ia ingin memaki lagi, tetapi alih- alih malah mengerang memelas, "Oh ... Sal ...."

Pinggulnya meliuk bagai gelombang pasang, menenggelamkan keperkasaan Salvador sehingga pria itu juga mengerang seraya menangkup mulutnya yang termangap mencari udara. "Oh ... Corazon ... sayangku ...."

Salvador terkenang. Tidak pernah mengira jika 17 tahun yang lalu, gadis kecil itu akan berubah menjadi wanita senikmat ini. 17 tahun kemudian dan mereka bertemu lagi di saat yang tepat, namun situasinya sangat jauh berbeda.

***

17 tahun yang lalu, setiap hari, meskipun terluka dan wajah babak belur, Salvador akan tetap menemui Corazon, menjalankan tugasnya sebagai penjaga gadis itu. Corazon akan menatapnya iba, mengusap lebam di wajahnya tanpa berkata sepatah kata pun. Salvador akan menepis tangannya. "Jangan disentuh! Masih sakit, tahu!"

Salvador menagih jatahnya. "Mana makananku? Aku sudah kelaparan."

Corazon akan menyerahkan kotak bekalnya tanpa basa basi, membiarkan Salvador menikmati makannya tanpa terusik. Kadang kala Salvador kesakitan mengunyah karena cedera, tetapi itu tidak menjadi masalah. Ia bisa menahan rasa sakitnya.

Corazon akan menghiburnya dengan memberikan Salvador es krim. Uang saku Corazon hanya cukup membeli satu cone es krim, tetapi ia tidak keberatan karena Salvador adalah penyelamatnya. "Ini, makanlah," kata Corazon.

Salvador mendelik. "Tidak, kau tidak makan apa pun, jadi es krim ini untukmu saja. Makanlah sendiri."

Corzon akan duduk mendempetnya dan menyodorkan es krim itu. "Kalau begitu, kita makan sama-sama saja," ajaknya.

Sukar menampik kalau berhadapan dengan makhluk semanis Corazon. Salvador yang terbiasa mendapat cacian, makian, perlakuan kasar, serta mara bahaya, menjadi seseorang yang spesial bagi gadis itu, ia merasa berharga.

Mereka akhirnya memakan es krim itu bersama-sama dan kadang kala bibir mereka bersentuhan.

Corazon akan baper sendiri. "Ketika kita berciuman, apakah itu artinya kita sudah menjadi suami istri?" Ia bertanya dengan pipi berona merah muda.

Salvador akan mendengkus sebal. "Tidak, Cora. Kau harus ke gereja dan berciuman di hadapan pendeta agar bisa jadi suami istri. Kau harus mengenakan gaun pengantin yang indah dan sepasang cincin. Seperti itulah suami istri." Salvador ingin sekali menambahkan bahwa laki- laki dan perempuan harus naik ke ranjang dan melakukan peresmian hubungan mereka, tetapi ia khawatir kalau Corazon ingin melihat praktiknya. Gadis itu masih terlalu kecil untuk tahu urusan orang dewasa. Salvador tidak menjelaskan lebih lanjut.

"Tapi Mami tidak melakukan itu semua. Ia punya suami berganti-ganti."

Salvador merutuk sendiri. "Bah, aku benci menjelaskan. Mari kita lakukan hal lain saja, Cora. Kutemani kau main boneka." Lumayan nanti makan keik dan teh. Salvador beranjak lebih dulu dan Corazon akan mengiringinya sambil bertanya macam-macam.

Salvador akan mengabaikannya dan asyik dengan pikirannya sendiri. Jika anak laki-laki memimpikan kelak jadi superhero atau bos mafia, maka anak perempuan bermimpi jadi pengantin atau tuan putri yang mana bagi bocah tahu realita seperti Salvador, hal tersebut sangat halu.

"Jika aku jadi pengantin nanti, apa kau mau jadi mempelai prianya, Sal?" tanya Corazon bersungguh-sungguh.

Salvador menjawab ketus. "Jangan terlalu berharap, Corazon. Aku laki- laki dan aku bercita-cita memiliki banyak kekasih. Kau tidak akan bisa menerimanya."

Corazon tertunduk sedih dan menggamit tangan Salvador seolah takut berpisah. "Ah, Sal, aku hanya ingin kau selalu ada di sisiku dan melindungiku."

Salvador senang mengetahui Corazon posesif padanya. Ia terkekeh seraya mengacak puncak kepala Corazon. "Aku bersedia melakukan itu, Cora. Selama kau memberiku makan dan merawatku dengan baik."

Corazon kembali riang dan tersenyum ceria. "Tentu, Sal, aku akan melakukannya. Aku akan memasak untukmu dan merawatmu penuh kasih sayang."

***

"Oh, Cora ...," desah parau Salvador ketika melahap es krim di gundukan dara Coraima. Bulir merah mudanya laksana hiasan ceri di puncak es krim vanilla itu. Bulir itu mengeras kedinginan, digigit- gigit oleh Salvador.

"Hengghh ...," engah Coraima yang terbaring di altar dengan kedua tangan terikat pada pancang di atas kepalanya. Punggungnya melengkung maksimal merasakan dingin es krim di puncak-puncak sensitifnya, disambung kehangatan mulut Salvador. Penglihatannya kabur oleh bias warna warni kristal air matanya yang terbentuk dari cahaya lampu di langit-langit.

Coraima berada di kamar rahasia bersama Salvador menikmati kegemarannya. Jika wajahnya tidak rusak, ia yakin Coraima mengenalinya, begitu pikir Salvador. Jika pun tidak ingat masa lalu mereka, setidaknya wajah tampan ketua gangster akan membuat wanita mana pun jatuh cinta. Sayangnya, Salvador sudah terluka soal tampangnya. Ia akan membuat Coraima tidak sempat mengeluhkan wajah buruk rupanya. Keperkasaan seorang Salvador Torres akan menguasai Coraima sepenuhnya.

"Hummh, Sal ...," engah Coraima lagi saat meliukkan pinggulnya sementara tangan Salvador mengusap kasar lekukan tubuh dan kedua kakinya. Liang mungilnya meronta minta dimasuki, tetapi pria itu masih asyik makan es krim seraya merangkak di atasnya.

Salvador mencolek es krim di buket dengan dua jari lalu memasukkannya ke mulut Coraima yang manis sekali menyebut namanya. Lidah Coraima melilit jemarinya. Salvador menyeringai. "Kau mau lagi, sayang?" tanyanya. "Tunggu, kuambilkan."

Dua jarinya mengeruk es krim vanilla dan membawanya lagi ke mulut Coraima. Lidah wanita itu berdecap saat melahap lalu bibir ranum menyeruput- nyeruput rakus. Salvador tidak henti menyeringai serta wajah menggelap karena berahi. Wajah terangsang pasrah Coraima lebih cantik dari pemain film por.no mana pun.

Seruputan rakus Coraima diselingi Salvador dengan ciuman basah lengketnya. Setiap tetes liur mereka berasa manis vanilla, saling mereguk dan bernapas dari mulut ke mulut.

Salvador mendesis. "Kau milikku sejak dulu, Cora. Bisa-bisanya Godfreido menyembunyikanmu dan mengklaimmu sebagai miliknya. Dia pantas mati, sayang. Tidak akan kubiarkan seorang pun memilikimu, mi Corazon"

Di telinga Coraima, ucapan Salvador terdengar sebagai bisikan-bisikan tidak jelas. Secuil pun ia tidak ingat soal masa lalu bersama Salvador. Ia tidak ingat pada Roquetes de Mar maupun kebakaran yang membuat hidupnya terjungkir balik.

***

17 tahun yang lalu, di mana persahabatan antara Salvador muda dan Corazon yang naif terjalin, hadir seorang pemuda berusia sepantaran Salvador. Pemuda yang rupawan, anak orang berada, ramah, dan pandai bergaul. Dia adalah Godfreido Reyes. Saat itu usia mereka 16 tahunan. Ibaratnya kenakalan yang mereka lakukan berdua, yang kena getahnya hanya Salvador. Godfreido pandai berkilah dan menghilang di saat yang tepat.

Godfreido datang ke rumah Salvador yang berupa gubuk kecil di gang sempit. Ia curiga Salvador sering menghilang mengurus urusannya sendiri. Sore- sore menjelang malam tahun baru, Salvador baru selesai mandi dan mandinya lebih lama dari biasanya. Godfreido mengusilinya. "Bung, kau punya pacar atau apa, jadi sering pergi sendiri?"

"Bukan urusanmu," sahut Salvador.

"Hei, aku hanya bertanya. Jika aku tahu siapa orangnya, aku tidak akan merebutnya darimu."

Salvador merengut. "Merebut apaan? Dia hanya anak kecil."

Godfreido terperangah. "Woah, kau pacaran dengan gadis yang usianya jauh di bawahmu? Apa? Anak SD?"

Salvador menyepak Godfreido seraya memakinya. "Sialan! Kami tidak pacaran, idi.ot!"

Godfreido berlari menjauh sambil menertawakannya. "Kalau tidak pacaran, kenapa mukamu semerah itu? Hahahaha ...."

Salvador tidak berniat mengejar sobatnya itu. Ia meneriakinya saja. "Kami hanya teman dan aku tidak perlu menjelaskannya padamu, bang.sat!"

Godfreido tidak tampak lagi, sehingga Salvador melanjutkan bersiap-siap pergi keluar. Ia mengenakan kemeja dan celana kain terbaiknya. Pakaian lama, tetapi paling bersih dibanding yang lain. Rambut cokelat gelap diberi pomade lalu disisir rapi dan licin. Salvador bahkan membeli sebotol parfum murah dan menyemprotkan ke seluruh tubuhnya. Entah baunya memabukkan seperti apa, tetapi Salvador merasa kepercayaan dirinya meningkat.

Corazon ingin melihat pesta malam tahun baru, jadi ia akan menemaninya. Salvador hanya ingin membuat malam itu lebih spesial untuk Corazon.

Gelap merangkak naik. Bulan terbit dan langit cerah bertaburan bintang. Jalanan ramai dan penuh hiasan lampu warna warni. Salvador tiba di depan rumah Corazon dan mengetuk pintu. Belum sempat berseru, gadis itu membuka pintu dan senyum manisnya terkembang. "Sal, kau datang! Jadi, kau mau menemaniku?"

Salvador menjawab enggan sok gengsi. "Ya, seperti yang kau lihat."

Corazon menyusuri penampilan Salvador dari ujung kaki hingga ujung rambut dan berseru kagum. "Wuaah, Sal, kau sangat tampan."

Salvador merengut. "Kita jadi pergi atau tidak?"

"Jadi. Hehehe ...," jawab Corazon, lalu berlari ke dalam rumah dan sebentar saja kembali ke hadapan Salvador mengenakan baju keluarnya. Baju model baby doll warna putih, berhias renda dan pita satin, dipadu celana legging, serta sepasang sepatu flat mungil warna glitter merah.

Salvador menggandeng tangan Corazon. "Ayo kita pergi," ujarnya. Gadis itu melangkah riang mengiringinya.

Semakin malam semakin padat kerumunan orang di jalanan. Mereka ingin melihat kembang api termegah penutup tahun. Salvador menggenggam erat tangan Corazon supaya tidak terpisah di tengah-tengah manusia yang berdesakan.

Corazon meringis kesakitan tergencet dan kakinya terinjak-injak orang. Di antara manusia dewasa, ia nyaris tidak bisa menikmati penampakan kembang api, tetapi ia tidak mengeluh karena tidak ingin Salvador kesal.

Salvador sebenarnya menyadari kondisi Corazon. Ia sedang memikirkan bagaimana caranya agar gadis itu bisa bergembira seperti yang lainnya. Ia menarik Corazon keluar dari kerumunan secepatnya hingga terkesan menyeret gadis itu dan tidak peduli dia tertatih-tatih. Corazon tidak protes karena rencana malam itu adalah keinginannya.

Nyaris tiba detik- detik pergantian tahun, dan Corazon akan ketinggalan menampaki kembang api utamanya. Gadis itu menangis tanpa suara.

Namun, Corazon terperanjat dan berangsur-angsur lega karena ternyata Salvador membopongnya duduk di pundak. Salvador berdiri tegak sehingga Corazon berada paling tinggi di antara orang sekitarnya.

"Bagaimana, Cora? Kau bisa melihatnya sekarang?" tanya Salvador seraya mendongak pada gadis di atasnya.

"Woaaah!" Corazon berseru takjub saat kembang api terbesar meletus di langit. Wajahnya berbinar warna warni bias cahaya terang benderang.

Selama beberapa menit mereka tidak bisa bercakap-cakap karena suara dentuman petasan dan asyik menikmati pemandangan langit malam itu.

Capek mendongak, Corazon menunduk dan bertatapan dengan wajah Salvador yang terpaku menatap langit. Pantulan cahaya di bola mata aquamarine- nya sangat indah, seperti cahaya kaleidoskop. Merah rubi, biru, hijau, dan neon. Corazon tersenyum dan sorot mata lembut memandangi keindahan tersebut.

Kembang api berangsur-angsur berkurang. Salvador tercenung mendapati Corazon memandanginya. "Ada apa, Cora?" tanyanya keheranan.

Corazon berujar tulus. "Terima kasih, Sal, telah menjadikan tahun ini tahun terbaik bagiku."

Salvador tersipu. "Sama juga untukmu, Cora," sahutnya, dan sedetik kemudian Salvador tak berkutik ketika bibir gadis itu menyentuh bibirnya. Kecupan kecil yang meruntuhkan pertahanan Salvador.

Tertutup untaian rambut Corazon, anak muda itu berciuman, lembut dan malu- malu melumat. Ciuman itu terhenti perlahan-lahan pula, hingga membuat jantung Salvador berdebar tidak karuan. Sepasang mata mereka bertaut. Salvador menurunkan Corazon dari pundaknya, berdiri berhadapan dengan perbedaan tinggi yang kentara.

Salvador gelagapan. Sialan! Seorang anak kecil membuatnya gelagapan. "Cora, itu tadi ...."

"Woaah, masih bilang kalian tidak berpacaran?" celetuk Godfreido yang sejak lama mengintai Salvador dan gadis kecilnya.

Salvador langsung marah. "Aku dan dia memang tidak pacaran!" bantahnya.

Melihat reaksi Salvador, Corazon tertunduk dalam menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Ia takut Salvador marah dan tidak mau mendampinginya lagi.

Ketakutannya terjadi. Salvador berbalik lalu pergi begitu saja, melangkah menjauhinya.

Corazon terisak memanggilnya. "Sal ...."

Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience