"Berengsek!" maki Salvador, tersandar di pintu mobil setelah peluru bersarang di bawah tulang selangkanya. Di atas kepalanya melesat puluhan peluru tanpa henti. Di sisinya dua rekan membalas tembakan pihak klan Os Bezos.
"Sal!" teriak anak buahnya yang lain. Mereka khawatir dan ingin mendekat, tetapi tidak ada peluang berpindah leluasa selama musuh masih menyerang.
"Sepertinya mereka menggunakan penembak jitu khusus menyasarmu, Sal," kata rekan di sebelahnya.
"Ugh!" dengkus Salvador sambil meraba ke balik jasnya dan menarik tangannya lagi hanya untuk melihat lumuran darahnya sendiri. Salvador menghela napas berusaha meredam rasa sakit. Penyerangan sudah terjadi beberapa jam. Pihak kepolisian memanggil tim taktik khusus yang memiliki persenjataan berat. Kalau mereka turut campur, maka pertempuran akan dihentikan dan polisi akan mengamankan para pelaku, dengan demikian kesempatan membalas Ruben Bezos semakin kecil. Jika ingin menuntaskan masalah, maka harus secepatnya. Lagi pula ia ingin pulang. Ia sudah berjanji pada Coraima boleh menelepon orang tuanya.
Ini semua ulah Os Bezos yang nekat sekali menyerang di siang bolong di saat semua orang sedang khusyuk mengikuti prosesi penyemayaman Chef Emanuel. Dasar Ruben Bezos sialan!
Salvador mengisi penuh peluru pistolnya, kemudian bersiap menembak lagi. Melalui chip alat komunikasinya, ia bicara pada semua anak buahnya. "Siapa yang berhasil membunuh Ruben Bezos akan mendapatkan hadiah 5000$!"
Hadiah semacam itu membuat semangat anak buahnya menggelora. Tembakan balasan dari sisi kelompok klan Torres semakin gencar, bahkan mereka semakin gesit mengecoh lawan untuk membuka kesempatan rekan mereka menerobos pertahanan Os Bezos.
Orang klan Torres menembak semakin beringas seolah peluru mereka tidak ada habisnya. Satu per satu orang Os Bezos berjatuhan lebih cepat. Hingga mereka mengepung Ruben Bezos. Pria berusia 40an yang tampil brewokan itu berusaha membalas tembakan, tetapi ketika pistolnya tak bisa lagi memuntahkan peluru, Ruben Bezos terbelalak dan menjatuhkan pistolnya seraya mengangkat tangan. Namun, sebelum tangannya terangkat melebihi kepala, semua orang yang mengepungnya menembak bersamaan berkali- kali, menghujani tubuh Ruben Bezos dengan timah panas.
Dor dor dor dor dor!
Tubuh Ruben Bezos bergedek, lubang- lubang dalam sarang peluru memenuhi badannya. Darah menciprat ke sekeliling dan juga ke wajah para penembaknya. Mulut Ruben Bezos melelehkan darah segar, kemudian pria itu jatuh terempas ke tanah, tertelentang tak bernyawa dengan mata terbuka lebar.
Menyaksikan hal tersebut, sisa anak buah Ruben Bezos berlarian kocar kacir menyelamatkan diri. Namun, tidak ada yang berhasil kabur karena anak buah Salvador Torres yang lainnya menghalau mereka.
"Ruben Bezos beres, Sal!" lapor anak buahnya seraya terkekeh. Salvador menarik napas lega. Selang beberapa detik kemudian, anak buah yang lain melapor padanya. "Penembak jitunya kabur, Sal!"
Mendengar laporan tersebut, Salvador tersengih sinis. Awas saja, jika informasi sudah dikumpulkan, ia akan melacak penembak jitu tersebut. Sekarang, terlebih dahulu ia harus membereskan masalah Os Bezos.
Bertepatan Ruben Bezos berhasil dibunuh, pasukan taktik khusus Kepolisian Spanyol tiba. Mereka mengamankan lokasi. Kedua belah pihak yang berseteru sama- sama ditangkapi. Yang tewas dicek kondisinya, sedangkan yang terluka mendapat penanganan medis, termasuk Salvador. Mereka dibawa ke rumah sakit yang dijaga ketat polisi.
Khusus Salvador, kepala polisi mendatanginya untuk berbicara dengannya.
Salvador membentak dokter yang menanganinya. "Keluarkan saja pelurunya, setelah itu diperban dan biarkan aku pulang!" ujarnya saat duduk di ranjang tindakan. Telanjang da.da memperlihatkan luka tembaknya serta puluhan bekas luka lainnya yang ditutupi tato.
"Iya, tapi obat ini harus disuntikkan dulu atau rasanya akan sangat sakit," ujar dokter itu.
Obat itu adalah obat bius yang akan membuat Salvador lemas. Ia tidak ingin lunglai saat menemui Coraima. Salvador tentu saja menolak keras.
"Aku bilang aku tidak perlu dibius! Kau lihat seluruh badanku ini. Kurang waras apa lagi? Peluru sekecil ini tidak ada apa- apanya. Jika kau bertele- tele, aku akan ambil sendiri pelurunya."
Salvador meraih peralatan bedah minor di dekatnya, akan tetapi dokter segera menghentikannya. "Baiklah, Tuan, kami tidak akan menyuntikkan bius. Kami lakukan tindakan seadanya."
Salvador mendengkus keras, tetapi manut saja ketika ia kembali dibaringkan dan dokter mulai mensterilkan sekeliling luka tembaknya. Dokter lalu menggunakan penjepit stainless mengambil peluru yang menembus ototnya.
"Gaaah!" geram Salvador ketika nyeri rasa ditusuk hingga ke tulang saat lubang peluru diobok- obok. Dokter menemukan peluru tersebut dan menariknya keluar secepat mungkin.
Clang! Benda metal tersebut dijatuhkan di baki stainless. Bersama penjepit dan kasa lap berlepotan darah.
Untungnya luka tembak tersebut tidak mengenai pembuluh besar. Kasa penyerap darah ditempelkan ke bekas tembakan lalu selangka dan bahu Salvador dibebat kasa elastis.
"Obat- obat ini harus diminum agar lukanya tidak infeksi. Anda mungkin demam atau merasa kedinginan saat proses penyembuhan, karena itu obatnya jangan sampai terlewat atau tidak diminum," nasihat dokter.
"Ya, ya ya," sahut Salvador masa bodoh karena yang diinginkannya adalah segera pulang. Terpikir Coraima pasti sedang cemas dan ketakutan, atau marah padanya karena pergi terlalu lama.
Salvador hendak turun dari ranjang tindakan, tetapi terdiam karena Macerio Balenciaga, Kepala Kepolisian Madrid, mendatanginya.
Macerio didampingi 2 ajudannya. Petugas medis disuruh keluar sehingga hanya mereka berempat di ruangan itu.
"Salvador, lagi- lagi kau membuat ulah!" seru Macerio.
"Jadi, kau mau menahanku?" tantang Salvador.
"Menurutmu apa yang harus kulakukan demi meredam gejolak publik? Ratusan orang mati di luar sana, Sal, seseorang harus bertanggung jawab."
"Kalau begitu, tuntut Ruben Bezos. Ia yang menyerangku duluan. Aku datang ke sana murni untuk melayat, dia yang tidak tahu tata krama merusak acara orang. Kalau begini kasihan sekali keluarga Chef Emanuel, mereka akan semakin trauma."
"Ruben Bezos tewas, Sal. Kau pura- pura tidak tahu?"
"Wah, beruntung sekali dia. Dia yang memulai lalu dia kabur ke neraka supaya tidak kena hukuman darimu. Pengecut sekali dia!"
Macerio menarik napas dalam- dalam berusaha mengendalikan emosi atas kekonyolan sikap Salvador. "Kau mengolok- olok aku, Sal?" tudingnya.
"Tentu saja. Coba lihat ini!" Salvador menunjuk perban di bahunya. "Aku tertembak lebih dulu. Hanya karena mukjizat aku tidak mati. Karena aku masih hidup, lalu aku yang harus menanggung kesalahan yang tidak kulakukan? Lalu aku harus bagaimana? Diam saja dan suka rela membiarkan diriku dibunuh?"
Macerio menarik napas dalam lagi. Ia kelu. Salvador mencecarnya lagi. "Kalian sengaja tidak turun tangan segera, bukan? Kalian memang menunggu salah satu dari kami kalah atau sama- sama habis agar pekerjaan kalian berkurang dan jauh lebih mudah."
Macerio memanyunkan bibir. "Kau tahu, Sal, kau pandai sekali berlindung di balik tameng tidak bersalahmu," ungkapnya.
"Aku memang tidak bersalah," sahut Salvador. "Kalian periksa saja CCTV atau rekaman yang beredar, di situ kalian bisa melihat siapa yang memulai serangan."
Kedua ajudan membisiki Macerio. Itu memang keadaan yang sebenarnya. Salvador kemungkinan besar dinyatakan tidak bersalah jika diproses pengadilan. Lagi pula, jika ditahan pun, Salvador akan bebas dengan uang jaminan.
Macerio akhirnya merendah. "Baiklah, kau boleh pulang, tapi kami mewajibkanmu lapor setiap 24 jam dan kau tidak boleh pergi ke luar Spanyol."
"Huh, Tuan Macerio, kau seperti pengasuh anak kecil saja," gerutu Salvador.
Macerio balas bergumam, "Kau benar, Sal. Saking seringnya kita berurusan, aku menangani kasusmu lebih banyak daripada waktu yang kuhabiskan bersama anak- anakku. Kau benar- benar menyita waktuku, kau tahu?"
Salvador berdiri mengenakan kemejanya yang berlepotan darah dan berlubang bekas peluru. Ia menyahuti Macerio. "Karena itu, berhenti mengurusiku. Urus Os Bezos saja. Mereka yang selalu mencari masalah dengan klan Torres. Jangankan hendak berusaha memulai bisnis sendiri, mereka mau enaknya saja, menggunakan jalan pintas ingin melenyapkanku. Tidak semudah itu, Ferguso!"
"Aku Macerio, Sal!"
"Ya, terserahlah!" sahut Salvador sambil berlalu dari hadapan Macerio.
Segala urusan pasca penyerangan itu membuat waktu berlalu begitu cepat. Jam malam diberlakukan. Polisi patroli keliling kota, sekaligus memberikan kesempatan tim khusus memeriksa TKP, serta membersihkan bekas kekacauan tersebut. Jika tidak begitu, banyak orang akan menggunakan tempat tersebut sekadar membuat konten atau ajang berfoto-foto, yang akan mencemari TKP.
Di luar rumah sakit, Salvador dijemput oleh Benicio. Selanjutnya mereka pulang ke ranch Salvador diiringi mobil patroli. Di dalam mobilnya, berduaan saja, Salvador mengerang keras seraya mengusap perbannya. "Aahhhssh, Bezos sialan!"
Benicio di balik kemudi meliriknya melalui kaca pantul. "Kalau sesakit itu, kenapa kau tidak minta obat penahan sakit, Sal?" tanyanya.
"Cih, aku memaki bukan karena aku kesakitan, tapi karena ini aku melewatkan janjiku dengan Coraima. Juga bagaimana aku bisa maksimal menyanggamainya jika bahuku cedera begini?"
Benicio memanyunkan bibirnya. "Ya ampun, Sal. Itukah yang kau khawatirkan? Hhh ...."
Salvador tiba- tiba senyum- senyum sendiri. "Ehm, bagaimana reaksi Coraima? Apa dia tahu aku tertembak? Apa dia khawatir?"
"Tidak, Sal, ia biasa- biasa saja."
Salvador menyengir kesal. "Bah, seharusnya tadi aku minta diantar pakai mobil jenazah saja."
"Oh, kalau itu dia bakalan senang sekali, Sal," sahut Benicio.
Salvador terperangah. "Cora apa? Dia mengharapkanku mati?" Ah, rasanya Salvador ingin sekali mencekik Benicio.
Benicio menyahut datar. "Ayolah, Sal, apa yang kau harapkan dari perempuan yang kau ambil paksa? Kau sangat kekanak- kanakan jika menyangkut Coraima."
Salvador merengut sambil bertopang dagu menghadap ke jendela di sisinya. Mereka melewati kawasan pemakaman tadi, yang dipasangi palang barikade dan garis polisi. Beberapa tim kepolisian juga berjaga di situ. Selanjutnya tempat itu cepat dilalui. Salvador menikmati pemandangan lampu- lampu jalanan.
Tanpa mengalihkan tatapannya, Salvador bergumam pada Benicio. "Bagi anak- anak yang tewas, berikan uang duka dan santunan bulanan pada keluaga mereka."
"Ya, Sal. Aku sudah merunut daftar mereka."
"Yang berhasil membunuh Ruben Bezos, berikan mereka masing- masing 5000$."
"Baik, Sal."
"Bagaimana keadaan Os Bezos?"
"Hancur," jawab Benicio. "Tapi kudengar putra Ruben Bezos yang baru selesai kuliah di Amerika Serikat akan datang untuk memakamkan ayahnya. Dia digadang- gadang akan melanjutkan takhta Os Bezos. Bagaimana kalau kita membunuhnya sebelum dia tiba di Spanyol?"
Salvador tidak antusias pada rencana tersebut. "Amerika," gumamnya lagi. "Ada aktris favoritku berasal dari Amerika Serikat. Biarkan saja bocah itu datang. Seorang pria harus memberi penghormatan terakhir pada ayah yang telah menyekolahkannya sampai setinggi itu. Bezos harusnya belajar pada anaknya, jadi dia bisa punya bisnis yang bagus juga."
Benicio berdecak sambil geleng- geleng kepala. "Selain humor gelapmu, caramu memberi perhatian pada orang lain benar- benar aneh, Sal."
Salvador terkekeh sambil menoleh pada Benicio. "Aku tidak memberi perhatian, Benicio. Aku ingin melihat bagaimana cara bocah itu membalasku. Aku yakin ia tidak mempersiapkan diri menghadapi kematian ayahnya. Sangat pengecut jika menyerang bocah itu sebelum ia berbuat apa- apa. Aku sangat baik hati, bukan?"
Benicio mendesah saja. "Ah, ya, kebaikan hatimu yang menyeramkan. Kau ingin membuatnya terseok- seok memohon padamu lalu kau tembak kepalanya."
"Itu adalah bagian terbaik dari membunuh. Seperti memecahkan buah ceri di puncak es krim. Hehehe."
Setibanya di rumah, dini hari tetapi rumah Salvador ramai oleh semua penghuni yang berkumpul menyambut kedatangannya. Meskipun Salvador terlihat lusuh bekas keringat bercampur darah dan bajunya juga sangat kotor penuh noda darah, mereka mengelu- elukan Salvador. Sangat gembira sampai berderai air mata.
"Oh, puji Tuhan, Tuan Salvador sudah kembali. Tuan, syukurlah. Ooh, Tuan Salvador, Anda benar- benar seorang penyelamat, karena itu Tuhan selalu menyelamatkan Tuan ...."
Sebenarnya itu bukan pertama kali Salvador terluka, tetapi selalu saja, setiap kali peristiwa, mereka yang tidak bisa ikut ke medan laga akan berdoa sepanjang waktu dan menantikan kepulangannya.
Salvador sudah biasa diperlakukan demikian dan ia tidak peduli. Memasuki rumahnya mengabaikan puja-pujaan semua orang, Salvador menanyakan satu hal. "Di mana Coraima?"
Mendengar hal itu, Latanza tergagap. "A- ada, Tuan. D-di kamarnya."
Benicio membubarkan hadirin dan berpesan besok akan sangat sibuk karena mengurus pemakaman saudara- saudara mereka yang tewas.
Salvador melangkah lebar menuju kamar di sebelah dapur.
Tuan Salvador tampaknya akan marah- marah pada Coraima dan teringat Valentina ada bersamanya, Latanza khawatir Valentina turut jadi sasaran kemarahan. Ia bergegas mengikuti Salvador.
Salvador membuka pintu kamar Coraima dan mendapati wanita itu tidur pulas berdekapan bersama Valentina. Mata Salvador terpicing tajam. Yang dilakukan berikutnya adalah ....
Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea
Share this novel