23. Sincerity

Romance Completed 10892

Salvador menyadari jauh dalam lubuk hatinya bahkan seorang baji.ngan seperti dirinya pun mengharapkan ketulusan dari orang yang dicintai. Sebanyak apa pun candu atau afrodisiak yang diberikannya pada Coraima, tidak akan bermakna jika rasa cintanya tumbuh tidak dari hati. Haruskah ia berhenti atau melanjutkan? Apakah ini semua akan sia- sia dan menambah kebencian Coraima padanya? Atau Coraima akan benar- benar mencintainya? Salvador tidak tahu. Soal perasaan tidak bisa ditakar seperti dosis obat. Sering kali ia bersikap masa bodoh karena tidak ingin bergantung pada harapan. Harapan kadang bisa sangat mengecewakan.

Salvador tertidur lelap di ranjang Coraima, bahkan tidak bangun- bangun juga sampai matahari tinggi. Coraima yang sudah siap dengan hidangan sarapan sejak pagi, menjadi cemas. Saat memunguti pakaian bekas, ia ngeri melihat baju Salvador, terutama kemejanya yang berlumuran darah serta bolong bekas peluru. Ia mengamati badan Salvador yang kotor, lalu perban lukanya yang bebercak darah semakin meluas, menimbulkan noda di seprai. Coraima merasa bersalah karena ia lupa diri menekan bagian tersebut dan bahkan tidur bersandar ke bahu itu. Ia duduk di sebelah Salvador dan meraba dahinya untuk mengecek kalau- kalau Salvador demam. Pria itu menggeleng gusar menepis tangannya seraya meracau, "Pergi! Biarkan aku sendirian!" Salvador membalik tubuh memunggunginya.

Coraima menarik napas dalam diikuti bola mata mendelik ke atas. Sebal pada sikap semaunya Salvador. Jika ingin sendirian, kenapa tidur di kamarnya dan mengotori seprainya?

Coraima mengubit punggungnya. "Sal, bangun! Kau harus membersihkan badanmu juga lukamu. Kau juga harus makan lalu minum obat," tukasnya, tetapi pria itu tidak merespons. Coraima meraba pipi dan leher Salvador merasakan suhu badannya menghangat. Memiliki bekas luka sebanyak itu di tubuhnya, Salvador rupanya merasa tangguh sehingga mengabaikan kondisi kesehatannya.

Coraima keluar kamar untuk bicara pada Benicio. Pria itu sibuk mengatur acara pemakaman anggota klan yang tewas pada insiden kemarin. Di halaman depan, kerabat mereka berdatangan. Wajah mereka tampak sedih tetapi juga berbinar lega. Coraima dengar, keluarga anggota yang tewas mendapatkan santunan dan tunjangan bulanan. Suatu perlakuan yang sangat murah hati, bahkan melebihi perhatian perusahaan bonafide pada karyawannya. Pantas saja para gangster ini betah hidup dalam klan mereka.

Setelah Benicio selesai dan masuk ke dalam rumah, Coraima menyapanya. "Tuan Benicio, apakah Dokter Guinan akan datang memeriksa Salvador?"

"Ya, beliau akan datang. Mungkin sedang di perjalanan. Saya sudah meneleponnya tadi."

"Oh, syukurlah kalau begitu. Tapi, kenapa Salvador tidak dirawat di rumah sakit saja? Bukankah itu lebih baik? Ia tidak kekurangan uang, tapi kenapa mengabaikan kesehatannya sendiri?"

"Susah mengawasi kalau ada orang yang menyusup hendak membunuh Salvador, Nyonya. Salvador lebih senang di rumah. Sejak dulu, ia memilih pulang daripada berada di rumah sakit. Saya rasa ia benci rumah sakit."

Coraima berseloroh sambil berlalu. "Dia benci sekolah, benci rumah sakit, benci gereja, lalu apa yang disukainya di dunia ini?" Seketika ucapannya sendiri membuat Coraima terhenyak. Teringat ucapan Salvador kesukaannya adalah es krim vanila dan tubuhnya. Oh, me.sum sekali!

Coraima kembali ke kamar untuk memeriksa Salvador lagi, tetapi pria itu sudah bangun, berjalan keluar kamarnya seperti mayat hidup. "Sal, kau mau ke mana?" tanya Coraima.

Salvador tidak menjawab. Ia melengos menuju lantai atas, menuju kamar tidurnya sendiri. Coraima membiarkannya, memilih menyalin seprai kasurnya. Ia meminta bantuan pelayan mengambilkan seprai baru.

Lega melihat ranjangnya rapi dan seprai putih bersih licin kencang. Coraima hendak membawa cucian kotor ke luar kamar. Namun, ia terperanjat Salvador muncul lagi di pintu kamarnya. Masih sama, seperti mayat hidup. Pria itu menggerundel seraya menyodorkan ponselnya. "Kau bisa menelepon Mami Papimu. Jika mereka menanyakan Godfreido, katakan Godfreido sedang sakit."

Coraima tercenung heran atas sikap Salvador. Dalam keadaan setengah sadar masih ingat soal Mami Papinya. Coraima menerima ponselnya dan ingin berterima kasih, tetapi menjadi kesal karena Salvador naik ke ranjangnya lagi dan menjatuhkan diri di sana. Seprainya usik dan kena noda lagi.

"Sal!" bentak Coraima.

"Diamlah! Aku mau tidur," gumamnya. Coraima berdecak. Salvador menambahkan. "Jangan mengacau saat menelepon orang tuamu. Benicio akan mengawasimu. Awas kalau berani macam- macam!"

Coraima mendengkus keras. Ia mencebik keluar kamar. Di depan kamar sudah ada Benicio menantinya. Coraima lanjut melangkah ke teras samping. Ia akan menelepon di situ karena tempatnya santai.

Coraima bervideo call dengan kedua orang tuanya dan seperti yang dikatakan Salvador, mereka menanyakan kabar Godfreido. "Dia sedang sakit, Mami," jawab Coraima datar.

Mami Juanita terkejut. "Sakit? Dulce bebe, dia sakit apa? Apa sudah ke dokter?"

"Godfreido ...," nyaris menyebut ditembak, "demam, Mami. Mungkin kelelahan."

"Kelelahan? Apa dia memporsir tenaganya di masa bulan madu kalian?"

Seandainya saja begitu. Coraima berusaha riang menanggapi godaan Mami Juanita. "Ah, hmm, sepertinya begitu," ujarnya kikuk, tetapi senang melihat Mami dan Papi malah semringah.

"Dulce bebe, urus suamimu dengan baik. Jangan sampai ia kelelahan lagi. Kasihan Godfreido. Kau terlihat semakin cantik, sayang. Aura yang hanya bisa dipancarkan oleh wanita yang dilimpahi cinta kasih. Semoga Godfreido selalu membahagiakanmu seperti ini, sayang."

"Oh." Hanya itu yang bisa disuarakan Coraima. Dalam kepalanya sedang mengkonversi sebutan Godfreido untuk Salvador. Dalam hati menyebut Salvador, tetapi di mulut menyebut Godfreido.

Coraima jadi tidak enak hati harus berbohong. Ia mencari cara mengakhiri pembicaraan. Kebetulan mobil Dokter Guinan melintasi halaman. "Iya, Mami, Papi, aku akan berusaha yang terbaik. Aku pergi dulu. Dokter sudah datang untuk memeriksa Sal— Godfreido."

"Baiklah, dulce bebe. Sampaikan salam kami untuk Godfreido. Mudah- mudahan ia lekas sehat kembali."

"Ya, Mami, Papi. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa lagi, sayang!"

Panggilan tersebut berakhir. Coraima mengembus napas panjang. Benicio mengambil ponsel Coraima dan menyimpannya. "Saya rasa Anda harus mendampingi Salvador, Nyonya. Supaya Anda bisa mengatur jadwal makan dan menu pendamping masa pengobatannya."

Coraima beranjak ke dalam rumah. Benicio mengiringi. Pria itu tiba- tiba ke sampingnya dan menceritakan masa lalu Salvador. "Salvador pernah dirawat di rumah sakit cukup lama karena luka bakarnya. Itulah penyebab Salvador benci rumah sakit dan juga makanannya. Saya rasa sekarang Anda bisa paham kenapa Salvador sangat sensitif soal makanan."

"Ya, aku mengerti," sahut Coraima.

Ia dan Benicio mendampingi saat Salvador diperiksa Dokter Guinan. Salvador agak sadar sehingga bisa diajak bicara.

"Usiamu bertambah tua, Sal, karena itu kau juga akan mengalami penurunan daya tahan tubuh. Luka yang sebelumnya cepat sembuh, sekarang menjadi lebih lambat," terang Dokter Guinan sambil membuka perbannya.

"Hmmph," sahut Salvador.

"Obatnya harus diminum. Nyonya Reyes akan mengawasimu dan memastikan kau meminum obatmu. Bukan begitu, Nyonya?"

Coraima tergamam, tetapi melihat peluang mengintimidasi Salvador, ia mengangguk setuju. "Ya, Dokter, akan saya laksanakan."

Salvador juga berpikir hal yang sama. Ia melirik Coraima. Jika Dokter berpesan demikian maka ia bisa bertingkah agar menyusahkan Coraima. Lirikannya beradu dengan sorot polos Coraima. Tiba- tiba mereka saling menyadari bahwa masing- masing punya niat tersembunyi.

Namun, Salvador tidak takut karena ia punya jurus pamungkas yang akan membuat Coraima tunduk. Apalagi kalau bukan orang tuanya dan Valentina. Huahahhaa, awas saja kalau macam- macam, aku dor mereka!

Coraima menghela napas dalam. Ia menoleh ke arah lain, merutuk dalam hati, malang sekali nasibku, terperangkap di sini bersama seseorang yang bukan suamiku, tapi harus mengurusnya selayaknya seorang istri.

Luka Salvador terbuka lagi sehingga mengeluarkan darah. Dokter Guinan memasang perban baru sambil menasihatinya meskipun sudah bisa menebak apa penyebabnya. "Untuk sementara, kurangi aktivitas fisikmu, Sal atau luka ini akan semakin lama sembuhnya. Suruh saja orang lain, tidak usah kamu yang turun tangan langsung."

Salvador merengut dan mengomel dalam hati saja. Mana mungkin ia menyuruh orang lain jika ingin bersanggama dengan Coraima. Dasar dokter tidak pengertian!

Selesai mengganti perban dan memberikan Salvador injeksi antibiotik, Dokter Guinan pulang, Benicio yang mengantarnya keluar.

Coraima tinggal di kamar bersama Salvador. Ia membereskan bekas perawatan.

Salvador tampak melamun duduk di ranjang. Wajahnya kuyu dan bibir memucat.

Berdiam diri mungkin bukan hal yang disukai Salvador. Untuk beraktivitas juga tenaganya sedang tidak ada. Coraima menegurnya. "Kau ingin makan, Sal? Atau minum sesuatu?"

Pria itu menggeleng. "Aku ingin mandi," katanya lalu menatap Coraima. "Temani aku."

Pundak yang sebelah tidak boleh banyak bergerak, Salvador pastinya butuh bantuan untuk menggosok badannya. "Baiklah, aku temani," ujar Coraima. Ia mengiringi Salvador ke kamarnya di lantai atas dan mandi di sana.

Kamar mandi yang sangat mewah. Lebih luas dari kamar tidurnya di bawah. Salah satu sisi dinding terbuat dari kaca sehingga bisa menikmati pemandangan luas tanah ranch. Bak berendamnya bisa muat 4 orang.

Coraima mengisi air hangat ke dalam bak. Salvador duduk berendam sampai da.da. Pundaknya tidak boleh kena air sehingga Coraima mengeramas rambutnya dan menggosok serta mengelap area punggung, leher, dan selangka Salvador. Pria itu memejamkan mata seraya bersandar sangat tenang. Kepalanya terdongak sehingga terlihat jelas jakunnya dan pembuluh di leher berdenyut- denyut.

Coraima menggosok lengan Salvador sambil melamun merancang pembunuhan seperti di film- film. Ia akan memecahkan kaca lalu menggunakannya untuk menyayat leher Salvador. Atau membekap pria itu dan menenggelamkannya dalam bak. Atau mengambil alat cukur listrik dan menceburkannya ke bak.

Rencana yang bagus, tapi bagaimana kalau gagal? Gerakan Salvador sangat cepat. Ia juga lebih kuat. Salvador akan meringkusnya lebih dulu lalu menembaknya, atau menyuruh orang menembak mami dan papinya. Coraima menggeleng mengenyahkan pikiran itu.

Bersabarlah, Cora. Salvador sepertinya masih punya timbang rasa. Jika ia melihat kesungguhanmu, mungkin ia akan melepaskanmu dengan ikhlas agar tidak ada seorang pun terluka.

Sorot mata Coraima kembali fokus. Ia melihat wajah kusam Salvador dan ingin mengelapnya, tetapi bekas luka bakarnya membuat Coraima urung. Tangannya terangkat menggantung.

Salvador melirik sekilas. "Ada apa?" tanyanya lalu kembali memejamkan mata.

"Tidak ada apa- apa. Aku hanya ingin membersihkan wajahmu. Boleh 'kan?"

Salvador membuka matanya lagi menyorot menyelidik. Wajahnya adalah bagian yang segan disentuh orang lain, tetapi karena Coraima menginginkannya, apa boleh buat?

Salvador kembali menutup matanya dan melemaskan bahunya. "Lakukan saja. Bersihkan wajahku," gumamnya.

"Baik!" Coraima menyahut antusias. Ia berdiri sebentar mengambil produk pembersih wajah yang ada di situ. Ada sabun wajah serta pelembab wajah sekaligus aftershave berbahan mint dan vanila.

Coraima kembali ke sisi Salvador membawa sabun wajah. Ia membusakan sabun di telapak tangannya, lalu mengoleskan busanya di wajah Savador. Tidak ada bagian yang tidak disentuhnya. Tulang hidung Salvador yang tinggi, rahangnya yang kokoh, bahkan bakal janggut yang menusuk- nusuk. Jemarinya agak gemetaran ketika menyentuh bagian bekas terbakar. Sangat bertekstur tetapi juga licin.

Saat membilas busa sabun lalu mengeringkannya dengan handuk lembut, Coraima kembali mengelus bagian rusak tersebut. Salvador mengintipnya. "Kenapa?" tanyanya. "Kau merasa jijik?"

Coraima tersentak. "Bukan. Aku hanya penasaran, apakah masih terasa sakit?"

Mata Salvador terpejam rapat. Ia mengembuskan napas kencang dan bibir mengerut sinis. "Tidak lagi," katanya.

"Aku mendengar ceritanya. Kau benar- benar menyelamatkan banyak orang malam itu? Berapa banyak?" tanya Coraima penuh minat.

Mata Salvador terbuka lebar, tetapi sorotnya menerawang ke langit- langit.

"Entahlah, aku tidak menghitungnya dan aku tidak peduli. Yang bisa kupikirkan saat itu adalah yang penting dia selamat, jauh dari Roquetes de Mar," gumam Salvador.

"Siapa dia?"

Salvador menoleh perlahan dan memasang tampang mencemooh pada Coraima. "Kau tidak perlu tahu. Jika kukatakan kau juga tidak akan mengenalnya."

"Apakah dia yang kau sebut Corazon?" tebak Coraima.

Mereka diam dan saling pandang sesaat. Salvador tidak tahu harus menjawab apa. Meskipun dialah sang Corazon, tetapi ia tidak ingin Coraima berpura- pura menjadi Corazon. Lebih baik Coraima tidak mengingatnya daripada bersandiwara memanfaatkan perasaannya.

"Bukan," jawab Salvador kemudian. "Dia adalah rahasia dan selamanya akan jadi rahasia yang akan kubawa sampai mati."

*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience