24. Eyes, Nose, Lips

Romance Completed 10892

Selesai mandi, Salvador keluar dari bak dan Coraima mengeringkan badannya sekaligus memasangkan jubah handuk. Melakukan hal itu, Coraima bisa melihat saksama inci demi inci tubuh Salvador. Semua tatonya menjadi kulit baru agar bekas luka tidak terlihat menjijikkan. Namun, Coraima tidak merasa jijik pada tubuh Salvador. Ia lebih jijik kepada perbuatannya. Jadi, secara keseluruhan wujud pria itu menyenangkan matanya.

Salvador mengamati ke mana mata Coraima menyusur. "Membayangkan seperti apa api yang membakarku?" tuding Salvador.

Coraima tersentak. "Tidak," jawabnya lalu merapatkan jubah mandi Salvador. "Kondisi tubuhmu sangat bagus untuk korban luka bakar. Pastinya juga karena pengobatan yang mahal 'kan?" Ia bergegas menuju cermin rias di kamar mandi itu untuk menyiapkan alat cukur Salvador.

Salvador melangkah mendekati Coraima, mendempetnya di nakas cermin tersebut. Tubuh Coraima menegang. Ucapan Salvador mengembus di tengkuknya, membuat wajah Coraima merona. Salvador bisa melihatnya di cermin. "Tetap saja aku tidak akan sembuh seperti sedia kala. Kerusakannya permanen dan aku akan menyandang bekas luka ini seumur hidupku, termasuk yang di wajah. Banyak orang mencemoohku karena rupaku ini, bahkan tidak mengenaliku."

Coraima bergerak gelisah agar Salvador memberinya ruang. "Tapi sekarang tidak ada seorang pun berani menghinamu. Kau berhasil memukul balik orang-orang itu. Kau bisa berbangga diri sekarang," tukasnya.

Salvador semakin mendempet dan berbisik di tepi telinga Coraima. "Orang-orang menyukaiku karena melihat jumlah uangku."

"Apa pun itu, kau mendapatkan semua keinginanmu. Apa lagi yang kau sesali?" tuding Coraima seraya memutar tubuh sehingga mereka berhadapan. Coraima menyalakan mesin cukur di depan wajah Salvador. "Sekarang kita bercukur, setelah itu kau makan dan minum obat lalu istirahat."

Salvador manyun, tetapi melonggarkan ruang untuk Coraima. Wanita itu mulai mencukur bakal janggut di sepanjang rahang dan lehernya dengan telaten. Ia menatap sayu wajah berkonsentrasi Coraima. Sangat memesona seperti ketika ia memasak. Dia memiliki kecantikan yang lembut, ayu penuh kasih. Seorang ibu yang penyayang, seorang istri yang perhatian. Persis sebagaimana dia kecil dahulu.

Salvador ingin mengejek Coraima. "Kau mahir sekali melakukan ini, Cora. Apa kau berlatih bersama Godfreido?"

Wajah Coraima pias sekilas, tetapi dia segera menguatkan diri. "Tidak, Sal. Aku sering membantu Papi bercukur jika ia sedang sakit, karena itu aku terbiasa." Ia menyelesaikan tugasnya dan merapikan alat cukur. Tahap akhir, ia mengambil aftershave mint vanilla, menuangnya ke telapak tangan lalu menepuk -nepukkannya ke wajah Salvador, sekalian menampar kecil wajah pria itu.

Salvador terjengkit sambil mengusap rahangnya dan mengomel. "Issh, Cora, kau sengaja? Kurang ajar!"

"Oh, apakah tepukanku tadi terlalu keras? Maaf, aku tidak sengaja." Coraima pura-pura memelas.

"Tidak sengaja? Kau pikir aku bisa kau kibuli?"

"Kalau tidak percaya denganku, ya sudah, kau kerjakan saja semuanya sendiri!" cebik Coraima. Sejurus kemudian ia berlari terbirit-birit meninggalkan pria itu.

Salvador meneriakinya. "Hei, kita belum selesai, Cora! Cora! Cora, aku belum pakai baju!" Akan tetapi wanita itu sudah menghilang. Salvador jadi berteriak memanggil pelayannya. "Latanza! Latanza!"

Pelayan wanita itu datang tergopoh- gopoh. "Ya, Tuan? Ada apa?"

"Bantu aku berpakaian!" ketus Salvador.

Memakaikan pakaian pada Salvador bagi Latanza adalah seperti memasangkan baju pada putranya sendiri. Jadi, tidak ada masalah dengannya.

Salvador keluar kamarnya berpakaian rapi dan wajah lebih berseri. Ia bergegas ke dapur mencari Coraima sambil berteriak sepanjang langkah. "Cora, mana makananku? Jangan mangkir dari tugasmu atau aku akan ...."

Salvador terdiam karena aroma sedap daging berbumbu rempah-rempah menguar dari dapur. Coraima mengeluarkan hot plate dari oven dan menyajikannya di pantri. Bola- bola daging albondigas membaur bersama kentang potong dadu tampak berasap menggoda. Salvador termangap dengan mulut berliuran yang segera disesapnya. Ia bergegas duduk di pantri. Mata terpaku pada masakan Coraima tersebut. Makanan yang paling berkesan baginya.

"Aku ingin secepatnya memanaskan albondigas ini untukmu, Sal," alasan Coraima dan sepertinya manjur karena pria itu sudah lupa pada kemarahannya.

"Ambilkan sendok dan garpuku, Cora," gumam Salvador.

"Kau yakin mau makan sendiri?" selidik Coraima. Pria itu menolehnya.

"Kau mau menyuapiku?"

Memberi makan anjing liar dengan tanganmu sendiri akan meraih kepercayaannya lebih mudah. Coraima tersenyum manis seraya menjawab Salvador. "Tentu, Sal. Aku akan menyuapimu."

Di kejauhan, Latanza dan para pelayan lainnya mengintip sambil cekikikan. Baru sekarang melihat tuan mereka bertingkah seperti anak kecil.

Bukan di meja makan mewah atau jamuan yang tertata megah. Di pantri dapur di mana hanya ada mereka berdua, Coraima menyuapkan albondigas ke mulut Salvador. Bagi Coraima itu tidak lebih dari siasat meluluhkan hati Salvador, tanpa dia sadari bahwa hati pria itu sudah luluh sejak lama.

Salvador menikmati momen itu bagai nostalgia ke masa kecilnya. Ia menikmati wajah Coraima yang condong padanya saat memperhatikan setiap suapan. Matanya, hidungnya, bibirnya, menyerupai Corazon kecil yang senantiasa memperhatikannya. Meskipun situasinya berbeda, tetapi gadis itu menepati janjinya.

{Kelak aku akan jadi istrimu, Sal. Aku akan memasak untukmu dan merawatmu penuh kasih sayang.}

Selesai makan, Salvador menjadi lebih bertenaga dan ia juga meminum obatnya. Karena situasinya kondusif, ia meminta Coraima menemaninya beristirahat di kamar Coraima yang mana itu membuat Coraima keheranan.

Kamar Salvador besar dan ranjangnya paling empuk yang pernah dirasakan Coraima, tetapi Salvador malah memilih kamarnya. Dan pria itu punya kehendak yang membuat Coraima segan. Salvador tidur- tiduran dengan kepala di pangkuannya dan tetiba pria itu mendongak, ia meminta sebuah ciuman.

"Cium aku, Cora," ucapnya pelan.

Coraima kikuk karena wajah mereka berlawanan arah. "Di posisi seperti ini?"

"Iya."

Coraima menunduk dalam. Sebelah tangan Salvador meraih belakang kepalanya, memberikan tekanan sekalian mengusap helaian rambutnya sehingga jatuh menutupi wajah mereka berdua. Bibir mereka pun bersentuhan dan sesapan Salvador sangat lembut sampai Coraima terpana.

"Oh, Cora ...," desah Salvador di sela kecupannya. Ia menyatukan bibir Coraima berkali- kali, mereka ulang ciuman pertama mereka.

Lama berciuman membuat tubuh Coraima memanas. "Sal," selanya lirih, yang segera dibekap bibir kasar Salvador. Coraima mendesah dan memejamkan mata membiarkan diri terbuai.

Tanpa memutus ciumannya, Salvador duduk berhadapan dengan Coraima, perlahan membaringkan wanita itu lalu meningkatkan intensitas ciuman disertai rangsangan lainnya.

"Sal!" desah tegas Coraima. Ia menghentikan tangan Salvador menangkup buah daranya. Mereka terdiam bertatapan. "Kau sedang sakit. Jangan memperburuk kondisimu."

Salvador mendengkus kesal beberapa kali sampai ia bisa mengutarakan kekhawatirannya. "Cora, kau lihat sendiri bagaimana kehidupanku. Aku bisa mati kapan saja sedangkan aku belum punya keturunan. Kau pikir aku mau menyia-nyiakan kesempatan memiliki bayi bersamamu?"

Demi Tuhan! Alasannya. Coraima berusaha berkelit. "Tapi, Sal, ingat pesan dokter kau harus istirahat!"

"Tapi kau juga dengar apa kata Dokter Guinan. Aku semakin tua dan vitalitasku menurun. Kapan lagi saat yang tepat bagiku memiliki anak kalau bukan sekarang?"

"Tapi, Sal ...."

"Atau kau ingin aku bertindak lebih jauh?" ancam Salvador.

Coraima tidak bisa membantah lagi. Ia tertunduk seraya mengigit bibir. Salvador menyibak tirai surganya dan masuk menerobos tanpa melumasi. "Ahh, Sal!" pekik tertahan Coraima lalu meringkuk di bawah kungkungan Salvador. Bahu yang cedera sebagai tangan bertumpu sedangkan tangan yang sebelah menyingkirkan setiap helai pakaian. Tubuhnya diguncang bersama di peraduan.

Meskipun singkat, Coraima sempat mendapat sekali ledakan, kemudian Salvador menyusul dan pria itu jatuh di dekapannya, sama-sama terengah mandi keringat.

"Aargh!" Salvador membenamkan wajahnya di bantal, menggigit kain demi menahan nyeri.

Coraima mendapati perban Salvador berdarah lagi. Ia terisak mengiba. "Jangan lakukan lagi, Sal. Lihat, kau berdarah lagi. Kalau kau tidak sembuh-sembuh juga, bagaimana jika orang Os Bezos menyerbu kemari? Aku sangat takut, Sal. Bagaimana jika mereka membawaku? Kau menakutkan, tapi kurasa mereka lebih mengerikan. Aku tidak ingin berpisah darimu, Sal."

Mendengar ucapan manis itu, sakit yang dirasakannya berangsur-angsur menghilang. Salvador tersenyum yang tidak diperlihatkannya pada Coraima. Ia mendekap Coraima dan membelai rambut wanita itu. "Aku pun tidak ingin berpisah darimu. Jangan takut, mi corazon. Aku akan melindungimu." Lalu Salvador terlelap cepat oleh rasa damai.

Coraima terjaga dalam dekapannya. Ia mengetis bibir keheranan sendiri. Siapa Corazon ini sebenarnya? Bagaimana caranya mencari tahu soal gadis itu? Ia akan bertanya pada Benicio. Pria itu sepertinya tahu banyak hal.

***

Bersambung ....

*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience