26. Terputus

Romance Completed 10892

Selesai makan, juga minum obat, hingga saatnya tidur malam, Salvador masih saja membuntuti Coraima hingga ke dalam kamarnya. Coraima jadi jengah. "Sal, aku mau tidur," katanya, tetapi pria itu malah melengos ke tempat tidurnya.

"Aku juga mau tidur," sahut Salvador. Ia berbaring santai seraya melepas kemeja, lalu melemparnya begitu saja ke lantai.

Coraima meringis tidak suka pada ulah Salvador yang serampangan. Ia memungut baju Salvador lalu melempar balik ke da.da pria itu. "Kau punya kamar sendiri. Tidurlah di sana. Ranjangku terlalu sempit untuk kita berdua!"

Salvador malah terkekeh dan membantahnya. "Kau bicara begitu seolah kita tidak pernah tidur bersama saja. Cora, kau tahu faedahnya tidur denganku. Kau bahkan bisa bicara lagi tanpa harus terapi lama."

Oh, astaga! Ingin sekali Coraima menendangnya keluar kamar, tetapi Salvador adalah bos gangster dan ia harus menyenangkannya. Coraima berujar lembut. "Sal, kau sedang pemulihan. Kau harus istirahat maksimal. Jadi, tidurlah di kamarmu sendiri."

"Aku pemilik rumah ini. Terserah aku mau tidur di mana."

Coraima tidak ingin berdebat sepanjang malam, ia memutar tubuh ke lemari pakaian untuk mengambil baju tidur seraya bergumam, "Terserahlah kalau itu maumu. Jika lukamu berdarah lagi, jangan salahkan aku." Coraima menyeringai merencanakan mencederai pundak Salvador lagi saat tidur. Ia akan memukul atau menyundul bekas luka tembak itu tanpa sengaja yang disengaja.

Coraima mengangkat gaunnya melewati atas kepala, sehingga menyisakan lingerie cantik di badannya. Perbuatan sengaja yang tanpa sengaja menarik perhatian pria bernafsu tinggi seperti Salvador. Pria itu beranjak dari ranjang bergegas menyosor Coraima sebelum ia memasang gaun tidurnya.

"Kyah!" pekik Coraima. Pintu lemari tertutup dan ia terlekap di situ. Salvador menekannya seperti polisi meringkus PSK jalanan. "Sal, kau mau apa?" ringisnya.

"Ah, Cora, kau masih bertanya lagi. Aku mengambil jatah malamku," katanya lalu melucuti renda pinggul Coraima. Wanita itu merapatkan kakinya sehingga renda tertahan di lekukan lututnya.

"Tolong, Sal, jangan. Aku ingin lekas tidur."

Pria itu mendesak seraya menyentak kaki Coraima dan lepaslah pengekangnya. "Sebentar saja! Lagi pula kali ini aku yang main. Kau diam saja."

"Diam bagaimana?" Tidak mungkin. Ia pasti ikut bergerak.

Pria itu mencengkeram pinggulnya dan menyodokkan kepala batangnya berkali-kali karena pintu surga tidak berhasil didobrak.

Coraima meringis desahan memelas. "Jangan, Sal. Aku benar-benar sedang tidak ingin. Ah!" Coraima mencengkeram tepian lemari sebagai pegangan karena tuas pria itu menancap dalam rongga kesatnya. Coraima berteriak merengek. "Sudah kubilang jangan! Aahh ... hmmmh!" Salvador menggojlok tuasnya sepenuh tenaga.

"Oooh, Cora ...," erangnya seraya meremas pipi pinggul Coraima.

Tubuh Coraima berguncang penuh semangat, disertai tangis kegirangannya. "Hu hu huuu, Saal, sudah kubilang, 'kan jangan. Kalau begini, aku ... juga oh, hmm, enaknya." Otot-otot surga dunianya meremas tuas kokoh Salvador. Punggung Coraima melengkung hingga ia terdongak dan ujung untaian rambutnya menyentuh pinggul. "Ooh, Saal!" engah Coraima dan bibir terbuka menanti tetesan air yang bisa ditenggaknya.

Berdiri dan menyedekap Coraima dari belakang menghindarkan wanita itu mencengkeram bahunya. Salvador mengecup pelipis Coraima yang berpeluh. "Cora ...," desisnya. Kemudian kecupannya berpindah menyusuri leher Coraima dan tiba di bahunya, ia sesap kuat seolah mengambil sari- sari sukma Coraima.

Keduanya mendesah saling menyebut nama. Nyaris menyaksikan ledakan kembang api yang sangat indah, tiba-tiba sumbu api itu padam karena terdengar tangis bayi sangat keras dari depan pintu kamar, ditambah ketukan dan seruan panik Latanza. "Nyonya Coraima, tolong saya! Valentina tidak mau berhenti menangis."

Coraima terperangah. "Hah? Valentina?" Ia ingin melepaskan diri dari Salvador, tetapi pria itu menahannya tetap di tempat dengan tekanan kuat. Ia jadi bimbang. "Sal?!"

"Sialan! Mengganggu saja!" gerutu Salvador. Ia mempercepat hunjamannya lagi untuk mengembalikan nyala kembang api tadi. Coraima tidak bisa protes karena ia berteriak siap meledak. "Aah!"

Ketukan di pintu juga tambah gencar. "Nyonya Coraima?" panggil Latanza lagi.

Salvador meneriakinya. "Tunggu sebentar, Latanza! Aku sedang menyelesaikan proses penyerbukan. Kau paham tidak?!"

Latanza ternganga dan terbelalak mendengar suara itu. Astaga, bagaimana bisa ia tidak menyadari tuannya ada di dalam sana? Astaga! Ya Tuhan, semoga Tuan Salvador tidak menembak kepalanya. Aduuh! Latanza kelimpungan antara ketakutan dan pengang tangisan Valentina. Ia berlari kecil membawa Valentina ke ruangan lain.

Coraima juga ikut terdesak dan konsentrasinya pecah. Ia memelas. "Sal, hentikan! Ini tidak akan berhasil. Aku tidak bisa. Kasihan Valentina."

Geliat otot Coraima berhenti. Salvador jadi gusar. "Lanjutkan, Cora!"

"Tidak bisa!"

"Hissss!" desis Salvador seraya mencabut miliknya. Ia menjauhi Coraima sambil memegangi tuasnya seolah mencekik seseorang. "Berengsek!" makinya pelan.

Coraima bergegas mengenakan pakaian dalamnya, lalu mengenakan jubah tidur, dan pergi menyusul Latanza.

Latanza berjalan mondar mandir menggendong Valentina yang menangis sampai mukanya merah dan basah air mata.

"Mama," rengek Valentina ketika melihat Coraima.

Coraima menjulurkan tangan mengambil bayi itu. "Oh, dulce bebe, kau kenapa, sayang? Sakit perut lagi?" Valentina bersungut ke belahan dadanya.

"Dia tidur nyenyak, Nyonya, lalu tiba-tiba saja terbangun dan menangis nyaring. Sepertinya Valentina bermimpi buruk," urai Latanza.

Coraima mengusap-usap punggung Valentina dan tangis bayi itu berkurang. "Ya sudah. Buatkan susunya. Aku akan mencoba menidurkannya lagi."

"Baik, Nyonya!"

Coraima membawa Valentina ke kamarnya sambil mendesus menenangkan anak itu. Salvador ada di ranjang, duduk di balik selimut menutupi keperkasaannya. Muka pria itu beringas karena kesenangannya dirampas tiba-tiba oleh seorang makhluk kecil.

Coraima tidak enak hati, tetapi mau bagaimana lagi? "Sal, kenapa kau masih di sini? Aku akan menidurkan Valentina bersamaku."

"Oh, jadi kebiasaannya, ya sekarang? Tidak, Cora. Malam adalah jatahku. Aku tidak akan mengalah pada seorang bayi!"

Bola mata Coraima terputar. "Oh, ya ampun! Apa kita akan berdebat soal ini semalaman?"

"Kau yang memulai! Kau lebih memilih bayi itu daripada aku!"

Rasanya kepala Coraima pusing sekali. Entah jam berapa, pokoknya tubuhnya memberitahu bahwa itu jam tidur. "Sal, kau benar-benar seperti anak kecil!" gumam Coraima.

"Jangan mengolokku! Kau melihat dan merasakan sendiri kemampuanku!"

"Kelakuanmu, bukan ukuran tubuhmu!" ralat Coraima sudah setengah emosi.

Salvador bersedekap dan wajah tersengih pongah. "Pokoknya aku tidak akan pergi dari sini!"

Latanza datang membawakan dot Valentina. Coraima menerimanya sambil mengomeli Salvador. "Valentina mesti mengedot supaya tidur. Kau ingin juga sebotol untukmu?"

Latanza cemas menyaksikan sikap Coraima pada tuannya, sehingga ia buru-buru menjauh daripada menyaksikan peristiwa berdarah akibat sikap kolokan seorang ketua gangster.

"Mau tahu keinginanku, Cora? Aku tidak ingin sebotol. Aku ingin su.su di seluruh tubuhmu!"

"Oh, ya ampun, kau dan food fetishmu!" Coraima ingin menyebut Dasar ODGJ, tapi nanti Salvador marah. "Dasar orang kaya! Kau melakukan apa pun semaumu, ya?"

Salvador tersenyum- senyum me.sum, membayangkan Coraima berendam di mangkok besar mandi su.su bersama potongan buah stroberi, peach, semangka, daun mint, vanili, serta taburan kelopak mawar.

Coraima memandangi pria itu. Ia meringis karena bisa membayangkan isi kepala Salvador. Ia menahan diri berdebat demi Valentina yang sudah tenang mengedot. Matanya juga megap-megap mengantuk berat. Coraima bersenandung meninabobokan Valentina.

Arrorró mi niño,

Nina bobo bayiku

arrorró mi sol,

Nina bobo matahariku

arrorró pedazo, de mi corazón.

Nina bobo si mungil buah hatiku

Cierre los ojitos

Tutuplah matamu

ya se va a dormir

Tidurlah segera

Que el pícaro sueño

Agar mimpi buruk

no quiere venir.

Tidak jadi datang.

Lagu mengalun lembut dan bayi yang ditimangnya, membawa Salvador kembali pada nostalgia masa kecilnya. Bagaimana hatinya tidak tersentuh? Memori itu adalah sisi terang hidupnya, ruang suci yang mendamaikan hatinya. Tempat di mana kepingan jiwanya yang tidak ternoda masih hidup. Kepingan jiwa itu membutuhkan teman, membutuhkan nutrisi, dan semua itu ada pada diri Corazon.

Salvador memejamkan mata turut terlelap seperti Valentina. Coraima terus menyanyi pengantar tidur, tetapi wajahnya geram sekali pada Salvador. Pria itu tidur di situ menguasai ranjangnya, lalu ia dan Valentina harus ke mana?

Coraima membuka pintu hendak keluar, tetapi suara derit pelan saja membuat Valentina terbangun lagi. Coraima terpaksa tetap di kamar. Untuk beberapa saat ditimang, Valentina kembali pulas.

Karena ia juga sudah sangat mengantuk, akhirnya Coraima menidurkan Valentina di sisi Salvador dan ia sendiri tidur menyamping sehingga mengapit Valentina di tengah ranjang. Tidak perlu waktu lama, ia juga terlelap.

Yakin Coraima sudah tidur pulas, Salvador membuka mata untuk sekadar memandangi Coraima tanpa mendapat prasangka buruk. Menatap keseluruhan wajah wanita itu, mengamati garis perubahan pendewasaannya, bercakap-cakap dalam batin, kau mengejekku anak kecil, tapi dulu siapa yang memaksaku bermain bersamamu? Dulu siapa yang mengejarku? Dulu siapa yang merayuku duluan?

Salvador terkekeh sendiri. Ia mengecup dahi Coraima. Wanita itu mengernyit, sebelah mata mengintip karena ia terbangun. Coraima menggerundel pelan. "Ya ampun, Sal, aku mengantuk sekali. Apa maumu?"

Karena Coraima terbangun, ya sekalian saja ia bangun juga. Salvador mencondongkan badan sedikit agar bibirnya bisa mendekati bibir Coraima. Ia mengecup yang tidak ditolak Coraima, lalu membisikkan hal konyol. "Aku ingin jadi Papi Salvador, sayang."

Sontak mata Coraima terbuka lebar. Apa-apaan lagi orang kaya ini? Tidak ingin Valentina terbangun, terpaksa Coraima membentak sangat pelan. "Apa?!"

Pria itu menyeringai seraya bangkit perlahan dari ranjang. "Melanjutkan yang terputus tadi," katanya.

Coraima ingin protes, tetapi tidak bisa membuat gaduh atau ia harus meladeni bayi kecil dan satu bocah bongsor yang suka memaksakan kehendak. Salvador menarik tangannya sehingga ia bangun lalu mengiringi pria itu membawanya ke ruang rahasia mereka.

Sangat hati-hati Salvador menggeser lemari dan setelah pintu ruang rahasia itu terbuka, ia tidak membuang waktu lagi. Ia bawa Coraima ke dalam sana dan memulai tuasnya masuk menyalakan kembang api yang tadi sempat padam.

"Oh, Cora...," desahnya ketika berada dalam tubuh Coraima lagi. Ia mengayun pinggul berirama mengentak dan cepat memburu Coraima ke ambang batas.

Salvador memborgol tangannya dan memposisikannya membungkuk di altar. Borgol itu mencegahnya menjambak rambutnya sendiri karena rasa menggila dalam jiwanya. Melanjutkan rasa terdahulu ternyata seperti diberi kembang api ukuran besar. Durasi lebih lama dan ledakannya lebih besar hingga langit bergemintang. Coraima nyaris kehilangan kewarasannya. Ia sudah meledak berkali-kali, tapi Salvador tidak kunjung memadamkan apinya.

Ia berteriak lepas bebas dalam ruang berperedam suara itu. "Lebih cepat, Sal. Aku mau meledak! Oh, ya,Sal, aku tidak tahan lagi. Aaaah!"

Salvador membiarkannya meledak sendirian. Pria itu terkekeh menyaksikannya tepar seperti habis melambung tinggi lalu pecah berkeping-keping.

"Sal," lirih Coraima, tanpa daya tertelungkup separuh badan. Ketika semburan hangat mengguyur rahimnya, Coraima mendesah puas, memejamkan mata, dan bibirnya mengulas senyum bahagia.

Salvador membungkuk ke punggung Coraima, mengecupi kulitnya yang basah. Menyusuri hingga ke tepi telinganya. Ia bertanya, "Siap kembali ke kamar, sayang? Sayangnya aku tidak bisa menggendongmu sekarang. Mau kupapah?"

Coraima mengangguk tersipu-sipu. Ia tidak mencintai pria itu, tetapi bagaimana bisa ia mendustakan nikmat darinya? Bahkan hingga terseok-seok pun ia jalani.

Coraima kembali ke ranjangnya, tertidur pulas dalam hitungan detik. Salvador naik ke ranjang ekstra berhati-hati agar Valentina tidak terusik. Ia ikut tidur lagi bersama bayi itu, bukan karena tidak mau mengalah pada Valentina, tetapi jiwa suaminya wajib berada di sisi istri setelah percintaan yang memuaskan.

Sisi kiri dan kanan Valentina ibarat ayah dan ibu sesungguhnya. Ranjang itu dipenuhi hawa cinta, menyelubungi mereka dengan kasih sayang sejati.

*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience