18. LAYANAN PUTUS

Romance Completed 10894

Kedekatan Godfreido dan Coraima sebagai bos dan bawahan, membuat Godfreido bisa mendalami latar belakang Coraima. Dari cerita Mami dan Papi- nya, serta foto masa kecilnya ketika baru diangkat anak, Godfreido yakin 1000% bahwa Coraima adalah Corazon yang hilang.

Namun, setelah yakin pun, ternyata Godfreido tidak memberitahu Salvador. Godfreido orang yang berotak bisnis. Bertahun-tahun ia mencari Corazon, lalu begitu saja Salvador memilikinya? Tidak. Apalagi kala itu Salvador sedang dijodohkan dengan Esmeralda. Godfreido menyimpan rahasia Corazon untuk dirinya sendiri.

Hidup Esmeralda juga mengalami perubahan drastis setelah kebakaran itu. Kehilangan ibu yang senantiasa memanjakannya serta tudingan yang tidak benar, lalu tiba-tiba saja ayahnya membawa pemuda asing ke rumahnya dan ayahnya memuja pemuda itu lebih dari anak kandung. Esmeralda tumbuh dalam kebencian pada ayahnya dan Salvador, pemuda buruk rupa yang terobsesi menguasai harta ayahnya. Pemuda tak tahu malu, hidup bak benalu dalam keluarganya. Ditambah ayahnya menikahi wanita mu.rahan perusak rumah tangga orang, Esmeralda semakin membenci keluarganya sendiri.

Berbeda dengan Godfreido. Pemuda itu tampan, berpendidikan, punya karier yang gemilang, dan bisnis besar. Kaya raya karena usahanya sendiri. Semua kesempurnaan itu membuat Esmeralda jatuh cinta dengan Godfreido. Dan ternyata Godfreido menyambut cintanya. Mereka menjalin hubungan diam- diam karena tahu Jeronimo tidak menyukai Godfreido.

Bagi Godfreido, Esmeralda tidak lebih dari tantangan berikutnya. Kesenangan bermain kucing-kucingan dari Jeronimo karena Godfreido tahu pria itu tidak menyukainya.

Atas alasan apa? Terjadi begitu saja. Ada rasa tidak suka yang tak bisa dijelaskan Jeronimo jika menyangkut teman akrab putra angkatnya itu dan instingnya tidak salah setelah apa yang terjadi pada Esmeralda.

Salvador menahan kemarahannya cukup lama setelah mengetahui bahwa pria yang menghamili Esmeralda adalah Godfreido. Ia menyusun rencana dan menunggu momen yang tepat untuk balas dendam. Mengetahui Godfreido menjalin kasih dengan juru masak di hotelnya, Salvador pun mulai menyelidiki latar belakang Coraima Aldevaro. Mulai di situlah ia menemukan bahwa Coraima adalah Corazon-nya yang telah lama hilang.

Salvador sempat gamang, akan tetapi rencana awal yang sudah ditetapkan bersama Jeronimo harus terlaksana. Salvador menyelamatkan apa yang harus diselamatkannya. Ia menyelamatkan Coraima meskipun wanita itu harus tercabik- cabik dan merana.

Apa mau dikata? Bagi Salvador, untuk menggapai mimpi butuh usaha keras dan pengorbanan. Godfreido yang mengetahui Corazon adalah impiannya, mengambil mimpi itu. Salahnya karena terlalu bergantung pada Godfreido dan dengan mudahnya pria itu menghancurkan impiannya.

Meskipun Coraima sakit hati dan membencinya, ia akan tetap mengikat wanita itu. Ia tidak akan membiarkannya jatuh bak layangan putus. Ia yakin Coraima wanita yang menjadi pendamping hidupnya, maka dia harus bisa bangkit lagi dalam keadaan sesulit apa pun.

***

Salvador sangat kesal. Godfreido sudah mati, tapi Coraima masih membelanya, bahkan menyayangi anak haramnya. Pria itu pasti sedang menertawakannya di neraka sana. Kurang ajar! Salvador memilih mengunci diri dalam kamar daripada semakin emosi.

Coraima ke kamarnya membawa Valentina. Meskipun tangannya tidak bisa bergerak leluasa, ia bisa mendekap bayi itu dan menyandarkannya ke pundak. Ia mengusap punggung Valentina untuk menenangkannya. Anak itu masih sesenggukan dan badannya berpeluh dingin.

"Sepertinya Valentina sakit perut, Nyonya. Dia baru belajar makan makanan padat, mungkin perutnya masih penyesuaian," ujar Latanza yang mendampinginya.

Coraima tidak punya pengalaman mengurus bayi, tapi ia cukup cekatan karena sering memperhatikan anak-anak yang dirawat di rumah sakit. Ia membaringkan Valentina di ranjang, memeriksa perutnya yang teraba kembung. Anak itu menangis keras lagi, sehingga Coraima kembali menggendongnya. "Jika sampai malam Valentina masih begini, tolong panggilkan Dokter Guinan," katanya.

Latanza terlihat ragu. "Ehm, jika tanpa izin Tuan Salvador, saya tidak berani menelepon siapa pun. Sebentar, Nyonya, saya bicara dulu dengan Tuan Benicio. Mungkin ia bisa bicara dengan Tuan Salvador." Latanza lalu keluar kamarnya.

Coraima mendesah lelah atas semua kerepotan tata aturan Salavador. Ia menggendong Valentina sambil membawanya berjalan mondar mandir di tengah kamar. Tangannya pegal karena posisi tangan yang susah digerakkan. Namun, Coraima tetap telaten menjaga bayi itu, karena ia berterima kasih atas kehadiran Valentina. Hadirnya anak itu membantunya mengalihkan pikiran dari kesedihan dan keputusasaan.

Ia mendekap anak itu dan membisikinya, "Jangan takut, sayang. Aku akan jadi temanmu. Kita harus bertahan, agar kita bisa keluar dari sini bersama- sama."

Hari pun malam. Seharusnya jam makan malam, tetapi Salvador mengundang beberapa orang, termasuk Lorena dan teman- teman modelnya. Ia sedang kesal dan ingin membuat Coraima kesal juga.

Mereka berpesta pora di ruang tengah. Musik sangat nyaring, riuh tawa dan pekikan manja para wanita. Lampu laser menyala warna warni memeriahkan suasana. Mereka berdansa sambil minum-minum, sebagian lagi bermesraan di sofa, termasuk Salvador. Di tengah-tengah banyak orang itu, ia dan Lorena bercum.bu intim penuh gai.rah.

Coraima keluar kamar ingin mencari Lantanza, tetapi urung. Ia melirik sekilas ketika melintas di dapur bagaimana Salvador berpesta. Valentina yang tadinya sudah tenang mulai menangis sesenggukan lagi. Coraima geleng-geleng kepala, kemudian masuk ke kamarnya lagi dan menutup pintu rapat-rapat agar suara ribut itu sedikit teredam.

Coraima mendudukkan Valentina di ranjang, tetapi bayi itu menangis keras, protes tidak ingin pisah dari badan Coraima.

"Sebentar, sayang, aku melemaskan bahuku dulu," pelas Coraima seraya menepuk-nepuk kedua belah pundaknya bergantian.

Terdengar ketukan di pintunya. Coraima bergegas menggendong Valentina lagi dan menuju pintu lalu membukanya. Ternyata Benicio datang untuk mengecek.

"Bagaimana keadaan Valentina, Nyonya?" tanya pria itu.

"Seperti kau lihat, dia masih rewel," jawab Coraima agak ketus karena ia kelelahan dan Salvador bertingkah masa bodoh.

Benicio memahami Coraima kesulitan karena kondisi tangannya. "Biar saya coba menggendongnya, Nyonya," katanya. Benicio mengambil Valentina dari Coraima. Bayi itu menangis keras. Benicio segera menimangnya dengan irama perlahan dan mendesus lembut sambil mengusap punggung bayi itu. "Hussshh sssh sssh ...."

Coraima membiarkannya beberapa saat, karena ia juga sedang capek. Untungnya, tangis Valentina berangsur- angsur reda dan mulai tenang bersandar pada pria itu. Coraima tersenyum dan wajahnya berbinar lega. "Wah, Tuan Benicio, Anda berbakat dengan anak-anak rupanya," pungkasnya.

"Ah, tidak juga, Nyonya. Ini karena saya punya banyak adik. 12 Bersaudara. Mau tidak mau saya harus membantu menjaga adik- adik saya," terang Benicio.

"Menyenangkan sekali punya saudara. Pastinya rumah tidak pernah sepi dan kalian berteman akrab," puji Coraima. Wajahnya sendu terkenang rumah.

Benicio memperhatikan perubahan itu. Ia segera mengalihkan pembicaraan. "Dokter Guinan keluar kota, Nyonya, tidak bisa datang dulu malam ini."

Coraima menarik napas dalam lalu berujar tanpa semangat. "Oh, ya? Kalau terjadi sesuatu, apa menurutmu Salvador akan mengizinkan membawa Valentina ke rumah sakit?"

"Saya yakin diizinkan, Nyonya. Bagaimanapun, Valentina adalah cucu Tuan Jeronimo Torres, meskipun masih sukar menerima kehadirannya."

Coraima mencibir. "Susah dipercaya. Salvador ingin bayi ini mati, aku rasa jika Valentina sakit parah, ia akan senang."

Benicio tersenyum mendengar pendapat Coraima dan ia ingin menyelanya, akan tetapi tiba- tiba terdengar bunyi kentut keras dari Valentina.

Broot!

Coraima dan Benicio sama- sama terdiam dengan mata membulat.

Kentut itu tidak berhenti sampai di situ. Bunyinya terdengar beberapa kali, bahkan Valentina mengejan kuat sampai mukanya merah padam dan berkeringat.

Aromanya mulai tercium. Coraima dan Benicio sama-sama menahan napas sehingga suara mereka sengau berujar, "Iih, Valentina, kamu buang air besar!"

Benicio jadi kikuk menggendong Valentina. Meskipun anak itu mengenakan popok, tetap saja ia khawatir tembus ke bajunya. Lagi pula, pantat Valentina menggelembung karena itu. Benicio menjauhkan Valentina dari dekapan. Ia segera berteriak lantang memanggil pelayan. "Latanza! Latanza!"

Pelayan itu tidak segera datang. Benicio memegangi Valentina seperti memegang kantongan berisi bom. "Huffh ....!" Ia mendengkus kebauan beberapa kali.

Coraima tertawa kecil melihat tingkah laku Benicio.

"Latanza! Latanza!" seru Benicio lagi.

Tergopoh-gopoh pelayan itu muncul. Latanza nyaris tidak mendengar panggilan Benicio karena suara hiruk pikuk pesta Salvador. "Ya, Tuan Benicio? Ada apa?" tanyanya.

"Ini, Valentina membom," rutuk Benicio.

Latanza bergegas mengambil bayi itu dari tangan Benicio. Ia memegangi Valentina dengan lebih cekatan. "Waah, Nona, akhirnya keluar juga!" ujarnya riang. Wajah Valentina berangsur-angsur berona segar dan bisa tersenyum lagi.

Coraima dan Benicio pun turut gembira. Mereka membecandai Valentina yang menyelesaikan pembuangan akhirnya, terlihat lebih nyaman serta menggigit- gigit kepalan tangannya.

"Hagu gu gu gu ...," celoteh Valentina, senang melihat orang di sekeliling memperhatikannya.

"Syukurlah, kita tidak perlu memanggil dokter atau ke rumah sakit. Masalah sudah terselesaikan," kelakar Benicio yang disahut Coraima dengan penuh semangat.

"Iya, tadinya aku khawatir akan sepanjang malam ia rewel seperti tadi."

Salvador tiba-tiba muncul di dapur dan berceletuk sinis. "Sepertinya seru sekali. Apa yang kalian rayakan?"

Sontak Coraima manyun dan mendelik sebal pria itu. "Bukan sesuatu yang harus kau pedulikan, Sal," jawab Coraima.

Salvador melotot dan berkacak pinggang. Kemejanya yang terbuka bekas bercum.bu memperlihatkan da.da padatnya membusung.

"Permisi, Tuan, Nyonya!" Latanza buru- buru meninggalkan area itu untuk menyilih Valentina.

Benicio juga undur diri. "Aku akan kembali ke posku," katanya.

"Tetap di tempatmu!" titah Salvador dan Benicio tidak jadi beranjak.

Coraima tidak ingin berada satu ruangan dengan Salvador. Ia berbalik ke arah Latanza pergi. "Aku akan membantu Latanza." Ia berlari kecil, tetapi Salvador mencegatnya.

"Heh, kau pikir bisa pergi begitu saja dariku?" tuding Salvador seraya menarik punggung baju Coraima. Wanita itu tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.

"Bukankah kau sedang berpesta, Sal? Teman- temanmu akan mencarimu," balas Coraima. Ia menoleh disertai tatapan mencemooh, Salvador balas dengan picingan tajam mata penguasa.

Pria itu berujar pada ajudannya. "Suruh mereka bubar, Benicio. Pestanya sudah berakhir."

"Baik, Sal!" sahut Benicio lalu pria itu ke ruang tengah, menghentikan musik dan menyuruh semua orang pulang.

"Yaah ...!" seru kecewa semua orang, tetapi mereka meninggalkan tempat dengan tertib.

Lorena saja yang masih bertahan dan menanyai Benicio. "Apa- apaan ini? Sekarang bahkan belum tengah malam, kenapa aku harus pulang?"

"Karena Salvador memerintahkan," jawab Benicio.

Lorena merengut lalu memungut tas tangannya dan melangkah mengentak- entak keluar rumah. Ia yakin pasti karena Coraima. Semenjak wanita itu hadir, Salvador tidak seperti dulu lagi. Perhatiannya selalu teralihkan. Lorena mengebut mobilnya meninggalkan halaman kediaman Salvador.

Di dapur, Salvador menyeret Coraima ke kamarnya sendiri.

"Kau mau apa?" tanya Coraima sambil mengedikkan pundak, tetapi cengkeraman Salvador di bajunya sangat kuat.

Bola mata Salvador berputar. Ya ampun, dia masih bertanya juga? Apa perlu ia mengumumkan setiap saat apa yang diinginkannya?

Salvador mendorong Coraima ke tengah kamar. Pintu segera dikuncinya, dan ia bergegas membuka kemejanya sambil menjawab Coraima. "Aku sudah bilang padamu aku akan menguras tenagamu setiap malam dan itulah yang sedang kulakukan!"

Sebentar saja seluruh pakaian Salvador tanggal, teronggok sembarangan di lantai. Dengan tonggak keperkasaan yang berdiri tegak pria itu melangkah mantap mendatangi wanitanya.

Lidah Coraima kelu. Matanya mengerjap-ngerjap nanar, berusaha menghindari menatap tubuh Salvador. Meskipun banyak bekas luka, tetapi otot badan Salvador sangat atletis, ditambah lukisan tatonya sangat artistik, terkesan gagah perkasa dan penuh bahaya. Salvador tidak memberinya suntikan perangsang, tetapi jantungnya tetap saja berdebar cepat dan darahnya memanas. Napasnya jadi terasa sesak.

Pria itu mendempetnya hingga tersandar di dinding. Coraima memalingkan muka, tetapi bibir Salvador menyerbu bibirnya, memaksa bertaut dan mengambil kendali.

Coraima memukul- mukul da.da Salvador seraya bersikeras berpaling meluah bekas ciumannya. "Puh! Kau baru saja bercum.bu dengan wanita lain, lalu kau mendatangiku. Kau menjijikkan!"

Salvador mencengkeram dagu Coraima dan memaksakan ciumannya lagi sambil menggeram. "Aku tidak peduli. Kau milikku, Cora dan kau tidak berhak menolakku, apa pun alasannya. Kau miliku!" Lalu ia melumat bibir Coraima dalam mulutnya.

*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience