(*?3?)/?? yak betuul! Jawabannya adalah ikutan bobo. wkwkwkkw. Jadi begini ceritanya:
***
Cahaya temaram kamar menjadikan pemandangan ibu dan anak tidur terlihat sangat menenangkan jiwa. Namun, Salvador sedang kesal, pemandangan itu tidak membuatnya terkesima.
Jadi, wanita ini enak- enakan tidur sementara aku kalang kabut memikirkannya? gemas batin Salvador. Akan kuganggu tidurnya!
"Tuan ...," lirih Latanza yang muncul di sisi Salvador, ingin memelas jikalau Salvador hendak memaki- maki.
Salvador malah berujar dengan rahang terkatup. "Latanza, ambil Valentina dan bawa ke kamarnya!"
"Baik, Tuan."
Salvador melangkah menuju ranjang sembari membuka kemeja tanpa mempedulikan nyeri lukanya. Terlihat perban bebercak darah rembesan. Mata tajam menyasar targetnya yang sedang terbuai mimpi.
Latanza berkindap- kindap mendahulu Salvador. Ia menyisihkan tangan Coraima perlahan tapi pasti dari tubuh Valentina, lalu mengangkat bayi itu. Valentina merengek.
Sontak Coraima membuka mata dan segera terbelalak melihat Valentina diambil, lalu seorang pria beringas menaiki ranjang untuk menindihnya.
"Kyaaah! Tidaak!" pekik Coraima yang mengira Os Bezos datang menyerbu dan seseorang hendak memperkosanya. Apalagi sepasang tangan kasar dan kotor menekan pundaknya.
Latanza berlari keluar kamar membawa Valentina sekaligus menutupkan pintu untuk tuannya.
Coraima berteriak, "Menjauh dariku atau Salvador Torres akan menembak kepalamu, berengsek!"
Pria itu malah tertawa terbahak- bahak, yang segera Coraima kenali suara tawa pria yang senantiasa tertawa di atas kemalangan hidupnya.
"Huahahaha, tapi Salvador Torres adalah aku sendiri, Cora. Jadi, apa yang akan kau lakukan?"
"Sss Sal?" Coraima berusaha menyesuaikan penglihatannya dalam keremangan lampu tidur. Ia terhenyak melihat kondisi Salvador sedemikian rupa. Dari siluet wajahnya saja bisa tergambar betapa melelahkan hari yang dilaluinya.
"Kenapa? Kau kira aku sudah mati, huh?" tuding Salvador.
"Bb bukan .... Sal, kau terluka." Coraima berujar iba. Ia hendak menyentuh perban Salvador, tetapi Salvador kembali menekan pundaknya dengan sentakan kasar agar ia tidak bergerak.
"Tidak usah sok peduli. Kejutan, sayang, aku tidak mati dan akan kubuktikan padamu," geram Salvador. Ia menunduk menciumi leher Coraima. Ia menghirup kuat aroma tubuh wanita itu, aroma penenang jiwa yang membuatnya ingin memasuki Coraima seperti memasuki tempat persemayaman terindah.
Puncak kembar Coraima mencuat di balik gaun tidur satin yang dikenakannya. Coraima mendesah diikuti kernyitan enggan pundaknya. "Sal, kau terluka. Bagaimana kalau tambah parah?"
Pria itu menggerutu, "Apa pedulimu? Toh apa yang kurasakan aku sendiri yang menyandangnya."
"Tidak, aku peduli. Sungguh, aku peduli. Aku menyaksikan semua orang mengkhawatirkanmu. Aku diam saja ... karena aku tidak tahu harus berbuat apa," kilah Coraima.
Salvador berhenti mencumbu. Ia menegapkan punggung menatap Coraima dan seketika senyum menyeringai terbentuk di sudut bibirnya. "Jika kau benar- benar peduli, kau pasti tahu kegemaranku, bukan?"
"Mm, membunuh orang?"
Salvador merutuk keras. "Sialan, Coraima! Kau pura- pura to.lol? Aku ingin es krim vanillaku!"
"Kau yakin?"
Salvador melotot.
Coraima buru- buru beralasan lagi. "Maksudku bukankah lebih baik minum obat lalu tidur? Besok akan kubuatkan makanan kaya nutrisi yang membantu penyembuhanmu."
Salvador mendengkus sebal. Ia berlutut beringsut dari Coraima. "Ambil ember es krimku dan bawa ke sini!" titahnya.
Wanita itu tergopoh- gopoh bangun, turun dari ranjang lalu berlari kecil keluar kamar. Pandangan Salvador mengiringinya.
Coraima ke dapur mengambil ember es krim vanila dalam lemari es kemudian membawanya ke kamar. Pria itu menunggu bagai raja berselonjor di tengah peraduan. Coraima membawa es krim itu ke hadapan Salvador. "Sudah. Ini es krimnya."
Pria itu kembali membentak. "Kau ingin aku makan sendiri es krimku? Tidakkah aku melihat bahuku sedang cedera?"
"Baiklah, aku suapi." Coraima membuka tutup wadah es krim. Di dalamnya sudah ada sendok. Ia lalu duduk di sisi Salvador bersiap menyendokkan es krim.
Namun, pria itu rupanya punya rencana lain. Salvador mendorong Coraima menjauh dari ranjang. "Bukan pakai sendok seperti ini, Cora," ujarnya.
Coraima berdiri mematung sambil memegangi ember es krim. Salvador mengomandonya.
"Telanjangi dirimu lalu oleskan es krim itu di tubuhmu. Di tempat biasanya aku memakannya."
Bagaimana cara melakukannya? pekik dalam kepala Coraima. Sebelumnya Salvador yang melakukan. Ia tidak bisa berbuat apa- apa. Sekarang ia harus melakukannya sendiri?
Coraima kesulitan menelan ludah. Menyajikan diri sendiri demi kesenangan Salvador tidak pernah ada dalam keinginan terdalamnya sekali pun, akan tetapi bisakah ia menolak?
Coraima meletakkan es krim di nakas, kemudian ia mundur selangkah dari ranjang dan perlahan- lahan melucuti pakaiannya sendiri. Tidak banyak. Hanya selembar gaun satin tipis serta renda segitiganya. Kedua bahan itu diinjaknya ketika ia mendekat memenuhi panggilan Salvador.
"Kemari, mi corazon ...," desah parau Salvador. Ketika dalam jangkauannya, ia meraih pinggul Coraima, mengajak naik ke ranjang untuk berlutut di hadapannya.
Melakukan hal baru butuh keberanian yang tidak bertele- tele. Coraima tidak pernah menyentuh intim tubuhnya sendiri, mengoleskan es krim di gundukan daranya terasa sangat mendebarkan. Dingin menyesap ke saraf- sarafnya, membuat tengkuknya meremang, bukan karena ketakutan, tetapi sesuatu yang tidak bisa dikendalikannya. Gelora merasa dibutuhkan.
Kedua tangan menyangga gundukannya bagai baki penyaji, ia membawa es krim vanila kepada Salvador. Mendekatkan puncak mengerasnya ke mulut pria itu. Ia berujar tersipu- sipu. "Ini, Sal, es krimnya."
Salvador melahap yang sebelah kiri. Mulut kelaparan Salvador segera mangap hingga rahangnya bergemeretak, membuka seluas mungkin supaya seluruh gundukan es krim beserta gundukan kenyal Coraima masuk dalam rongga mulutnya.
"Ngghh ... Saal!" isak Coraima merasakan nyeri lumatan rahang Salvador, tetapi ia pasrah. Sebelah tangan meremas pundak Salvador, sebelah lagi mempertahankan es krim di buah daranya.
Rasa manis su.su vanilla meluncur melewati tenggorokannya. Salvador terengah mencari napas sembari melahap. Mulutnya penuh hingga ia tidak bisa bicara, tetapi ia bisa mendengar dalam kepalanya menyebut Cora terus menerus sama seperti desahan Coraima.
Wanita itu merengek. "Sal, yang sebelahnya meleleh. Aduuh, aku tidak bisa menahannya." Es krim mencair merembes ke jari jemarinya.
Tidak perlu diberitahu dua kali, Salvador berpindah ke gundukan yang sebelah dan memperlakukan sama seperti sebelumnya. Memenuhi mulutnya dengan kekenyalan buah kenikmatan.
"Hmmph, Salvador ...," ucap Coraima lagi, menahan nyeri yang sangat nyaman.
Lumatan demi lumatan yang intens dari pria dewasa seperti Salvador membuat sudut hatinya terenyuh. Ia memandangi pundak Salvador yang terluka dan melihat darahnya. Ia merasakan badan Salvador lekak bekas keringat dan beraroma amis darah, seolah Salvador keluar dari medan pertempuran itu hanya untuk mendatanginya dan makan es krim bersamanya.
Mata Coraima sayu terpejam. Jemarinya bergerak menyusuri rambut Salvador. "Salvador ...," sebutnya lagi seakan nama itu sering dipanggilnya karena ia takut kehilangan.
Coraima menggeleng kuat, menampik rasa itu. Seharusnya ia takut kehilangan Godfreido, bukan kehilangan Salvador. Ia berusaha mengingat wajah Godfreido yang rupawan, tetapi yang memenuhi angannya hanya wajah buruk rupa Salvador.
Salvador merasakan belaian Coraima di rambutnya. Ia berhenti melahap untuk berbisik serak, "Cora ...." Ia mendongak menatap wajah menyerah Coraima. Diemutnya bergantian bulir mungil buah dara Coraima dan desahannya lembut terdengar.
Tampaknya Coraima sudah siap, batin Salvador. Ia membuka pinggang celananya sehingga tonggak berdiri tegak menohok lekukan lembut wanita itu.
"Ah, Sal ...," desis Coraima merasakan batang hangat menyentuh tonjolan mungil di muara rongga kasihnya. Ia berpegangan erat ke pundak pria itu.
"Ya, sayang?" sahut Salvador. Ia membiarkan Coraima menekan bahunya yang cedera. Tahu jika itu refleks alaminya. Ia melingkarkan tangan di pinggang Coraima. Kakinya berkial- kial melepaskan celananya lalu benda itu berada di ujung ranjang dan jatuh ke lantai.
Salvador menatap Coraima lalu parau memelas padanya. "Masukkan milikku, sayang."
Coraima tidak menyahut, tetapi pinggulnya cukup memberikan jawaban. Ia menuruni batang Salvador bersama segenap kesungguhan yang tidak dibuat- buat. Ia pun butuh batang itu di dalamnya, memperkasai jiwa dan raganya. "Hummh, Sal ...," pelas Coraima, kikuk memutar pinggulnya karena biasanya batang itu yang bergerak ganas.
"Oh, iya, sayang ... terus ...," arahan Salvador. "Bergeraklah lebih cepat, sayang. Ayo, jangan malu!"
"Ah, iyaah ...," sahut Coraima seraya mempercepat mengindik di pangkuan Salvador. Ranjang pun berderit-derit mengiringi suara erangan Coraima. "Ooh, Sal ...."
"Iya, Cora ... aku di sini, sayang ...." Salvador balas mengerang. Berangsur- angsur ia terbaring sepenuhnya, menjadi pihak yang pasrah dikendarai Coraima. Ia sangat lelah, tetapi bahagia bisa kembali pada Corazon-nya untuk berada dalam ruang suci kasih sayangnya.
Bisakah pinggul ini berhenti bergerak? Kenapa aku tidak bisa menghentikannya? Sialan, aku sudah sejalang ini pada Salvador! Tapi ia benar- benar nikmat. Oh, ya, miliknya begitu padat dan keras, dan ... uhhh, aku butuh kembang apinya. "Saaal!" pekik Coraima ketika percikan dahsyat itu menyala dalam dirinya.
Jika tahu diri, seharusnya ia berhenti. Namun, yang dilakukan tubuhnya adalah membuat kembang api susulan yang jauh lebih banyak dan lebih besar.
"Ohh, Sal ... hmmmhh ... Sal ...." Dirapalnya sepanjang waktu. Bulir- bulir peluh bercucuran. Coraima mengindik seraya mengangkat rambutnya ke puncak kepala. Buah daranya dikecup- kecup Salvador penuh pemujaan. Pria itu menggigit bulirnya silih berganti.
Setelah mengindiknya lama dan keluar berkali- kali, Salvador hendak mencapai klimaksnya. Ia dekap Coraima dan menindih wanita itu.
Coraima terperanjat. "Sal?" pekiknya. Pria itu diam saja, tetapi memompa inti tubuhnya sekuat tenaga. Coraima harus mencengkeram seprai dan berposisi merayap di bawah Salvador. Memang beda jika Salvador yang memegang kendali. Gerakannya bisa dibilang kasar atau ganas, tetapi gilanya justru ledakan yang terjadi adalah kembang api sempurna yang dinanti-nantikan pada setiap puncak acara.
"Saaal!" teriak Coraima terbawa melesat ledakan dahsyat Salvador.
Salvador mendekap erat wanitanya. "Oohh, mi Corazon ...," sebutnya pasrah. Benihnya memancur dalam rahim Coraima adalah sensasi terbaik dalam setiap percintaan.
Mereka berdua terengah- engah berlomba mencari napas. Mata Coraima mengerjap- ngerjap berusaha membuka mata, mengandalkan sisa- sisa tenaganya. Salvador mengecup keningnya berkali- kali. "Aku merindukanmu, Cora. Sangat merindukanmu."
Coraima tercenung mendengar ucapan itu. Bukan ucapan yang akan disebut oleh seorang seperti Salvador Torres, akan tetapi hatinya melembut. Ketika Salvador mengecup bibirnya, ia balas mengecup. Pria itu lalu menatap lekat sambil mengusap pipinya.
Untuk pertama kalinya, Coraima melihat sorot penuh kasih dari mata Salvador (meskipun berwajah penjahat) dan ucapan Salvador berikutnya membuat ia bertanya- tanya. "Jika kau mengingatku sebagaimana aku dulu, apakah kau akan mencintaiku seperti aku mencintaimu?"
Kening Coraima mengernyit. Ia menjawab ragu. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Salvador."
Salvador mengalihkan pandangan sekaligus menyembunyikan sorot getirnya. "Tidak apa- apa. Aku meracau. Mungkin karena pengaruh obat bius," katanya. Ia berbaring lalu mendekap Coraima seraya mencium puncak kepalanya. "Ayo kita tidur, Cora. Aku sangat lelah dan butuh istirahat."
Coraima tidak bersuara apa pun. Ia terdiam merasakan debaran jantung Salvador, tak lama kemudian dengkuran halusnya yang sangat menenangkan. Coraima pun berusaha sesantai mungkin mendekap Salvador. Terpikir apa yang baru saja Salvador lakukan menunjukkan sisi dirinya yang lain. Seorang pria biasa yang tidak punya pertahan. Kenapa Salvador mesti bersikap seperti ini padanya? Sekadar sandiwara untuk membuatnya simpati ataukah benar tulus menyayangi? Jika demikian, siapa Salvador sebenarnya?
Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea
Share this novel