Penyesalan dalam hidup akan selalu ada. Dua tahun adalah waktu yang dihabiskannya bersama Corazon. Dua tahun juga waktu yang dihabiskan Coraima bersama Godfreido, tetapi wanita itu malah menjadikan Godfreido segalanya. Waktu memang mengubah segalanya.
Jika bisa memutar balik waktu, malam itu, Salvador tidak akan meninggalkan Corazon bersama Godfreido. Ia seharusnya tetap menggenggam tangan gadis itu dan tidak mengabaikan panggilannya.
***
"Sal ...." Corazon memanggil sambil menangis dan kaki kecilnya berlari mengejar Salvador, penyelamatnya, akan tetapi pemuda itu dengan cepat menghilang di kerumunan.
Godfreido yang khawatir terjadi sesuatu pada anak sekecil itu, bergegas menyusulnya. Ia menarik pergelangan tangan Corazon agar berhenti berlari. "Jangan berlari sendirian, kau bisa tersesat di tengah banyak orang seperti ini," nasihat Godfreido.
Gadis kecil itu menangis sesenggukan, sebelah tangan mengucek- ngucek mata. "Tapi aku ingin ikut Salvador. Aku tidak berani pulang tanpanya," rengek Corazon.
Godfreido berjongkok di hadapan Corazon, berusaha membujuknya agar berhenti menangis karena orang-orang memandangi. "Sudahlah, jangan menangis lagi. Aku yang akan menemanimu. Kita susul Salvador. Jika tidak menemukannya, aku yang akan mengantarmu pulang. Bagaimana?"
Gadis itu mengangguk dan tangisnya mereda. Ia menurunkan tangannya sehingga mata mereka saling bertatapan. "Siapa namamu?" tanya Godfreido.
"Corazon Suarez," jawabnya .
Godfreido tersenyum seraya mengusap-usap rambut gadis itu. Senyuman jahil dalam hati menertawakan sobatnya bisa salah tingkah karena gadis sekecil itu. Jauh dari bayangan sosok perempuan yang memenuhi hasrat dalam imajinasi para pemuda.
Godfreido berdiri seraya menuntun Corazon. "Ayo, ikut aku. Aku rasa aku tahu ke mana Salvador-mu pergi," ujarnya.
Mereka berjalan menyusuri emperan yang ramai orang- orang berkencan atau sekadar jalan bersama teman dan kerabat. Kembang api masih bersahutan di langit. Suara letusannya juga masih memekakkan telinga.
Corazon dan Godfreido melihat Salvador di kejauhan berbelok memasuki sebuah motel, dan respons Corazon membuat Godfreido terkejut. "Itu motel tempat Mami bekerja. Mamiku Paloma Suarez. Ia juru masak di situ."
Godfreido nyaris tertawa terbahak. Ia membekap mulutnya sendiri untuk beberapa saat hingga desakan tawanya berhenti. Malam tahun baru kemungkinan besar Paloma sedang melayani pelang.gan khusus dan sobatnya pergi ke tempat itu mungkin ingin membuktikan diri bahwa ia lebih tertarik pada perempuan dewasa daripada anak kecil.
Godfreido menarik Corazon ke arah lain. "Aku antar kau pulang saja, Corazon. Ini sudah terlalu malam untukmu keluyuran."
"Tapi aku ingin menemui Salvador. Aku tidak ingin ia marah padaku. Aku ingin mengatakan padanya kejadian tadi jangan dipikirkan dan aku minta maaf jika ia tidak menyukai tindakanku."
Godfreido menarik napas. Ia tahu bukan itu masalahnya. Salvador hanya tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Godfreido berusaha membujuk Corazon lagi. "Tapi itu bukan tempat yang bisa dikunjungi anak kecil, Cora," katanya.
"Aku tahu. Aku akan menunggu di luar dan kau bisa memanggilkan Salvador untukku."
Hmm, gadis yang sangat naif, tetapi sangat gigih. Godfreido pun tidak berusaha mencegahnya lagi. "Baiklah," katanya. "Aku akan membantumu."
Berpegangan tangan, mereka pergi ke motel itu.
"Tunggu di sini!" ujar Godfreido ketika di teras motel. Corazon diam di tempat sementara ia masuk ke dalam mencari Salvador.
Temannya itu baru saja bicara dengan resepsionis, tentunya Salavador akan masih berjalan di selasar kamar. "Aku cuma ingin menyampaikan pesan pada temanku tadi," kata Godfreido pada resepsionis dan orang itu membolehkannya masuk.
Kamar motel penuh dan Salvador sebenarnya tidak punya uang untuk menyewa kamar apalagi menyewa perempuan. Ia bimbang dengan perasaannya. Corazon makhluk termanis di muka bumi. Bagaimana ia bisa menjadi suami yang bertanggung jawab jika hidupnya saja luntang lantung di jalanan? Benar- benar gadis yang konyol!
Ia masuk ke situ supaya Corazon tidak membuntutinya, tetapi agaknya Godfreido juga penasaran apa yang akan dilakukannya di motel. Ia ingin ke atap motel dan merokok di sana.
Salvador berjalan menyusuri selasar lantai dua. Terdengar suara sayup-sayup desahan di setiap kamar, akan tetapi, satu kamar di depannya terbuka dan orang di dalamnya berbicara keras bertengkar sengit. Salvador ingin lewat saja, tetapi malah terpaku di sudut selasar dan melihat semua kejadian.
Ada 4 orang di kamar itu. Seorang wanita cantik jelita, berambut pirang, berderai air mata sambil marah- marah karena memergoki suaminya seranjang dengan perempuan mu.rahan. Dia adalah Esperanza, ibu kandung Esmeralda, menangkap basah suaminya, Jeronimo Torres, berselingkuh dengan Paloma Suarez.
Kecantikan Paloma tidak sebanding dengan cantiknya paras Esperanza, akan tetapi Jeronimo sudah cinta mati pada Paloma meskipun dia seorang wanita peng.hibur.
Yang terburuk dari semua itu adalah kehadiran orang keempat, yaitu Barbarosa, ketua klan Os Barbarosa. Pria itu bertubuh tinggi besar dan beringas. Ia datang ke kamar itu karena mengetahui Paloma ada hubungan dengan dua orang penipu kasinonya dan ia ingin menyeret wanita itu untuk disekapnya.
"Akan kubunuh kau dan anakmu, perempuan si.alan!" bentak Barbarosa.
Jeronimo tentu saja melindungi wanita(selingkuhan)-nya. Barbarosa mengeluarkan pistolnya hendak menembak Jeronimo, akan tetapi Esperanza melindungi Jeronimo. Peluru itu menembus perut Esperanza yang sedang hamil 2 bulan.
Dor!
"Kyaahh!" pekik Esperanza.
Paloma dan Jeronimo mematung karena terkejut. Sedetik kemudian, Esperanza megap- megap di lantai, lalu mengembuskan napas terakhirnya.
"Tidak! Esperanza ...!" Jeronimo berteriak seraya memangku istrinya.
Suara tembakan itu tidak kentara karena tertutupi suara letusan kembang api, jadi tidak ada orang yang datang untuk melihat atau melaporkan. Barbarosa yang sudah kalap menembak lagi.
Salvador yang melihat perkelahian sebrutal itu gemetaran sekujur tubuhnya, akan tetapi otaknya berpikir cepat dan satu-satunya yang menjadi prioritasnya adalah keselamatan Corazon. Gadis itu harus dibawa pergi secepatnya. Salvador berlari hendak keluar motel untuk mendatangi Corazon. Ia lega ketika di selasar bertemu Godfreido.
"Sal, Corazon ...." Ucapan Godfreido segera dibekap Salvador. Godfreido langsung waswas melihat Salvador secemas itu. "Sal, apa yang terjadi?"
"Godfreido, aku mohon, tolong aku. Bawa Corazon pergi sejauh mungkin dari sini," desis Salvador sambil mendorong Godfreido ke arahnya datang.
"Apa? Kenapa?"
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, yang jelas ada hubungannya dengan Os Barbarosa."
Jika berkaitan dengan nama itu, tidak ada seorang pun berani terlibat. Namun, Salvador dan Godfreido bisa dikatakan sedang dalam usia membangkang. Mereka menemukan momen membuat hidup lebih berwarna.
"Bawa Corazon pergi sejauh mungkin dari Roquetes de Mar," ujar Salvador.
Keluarga Godfreido punya mobil. Ia juga bisa menyetir. Godfreido tahu apa yang harus dilakukannya. "Baiklah," katanya lalu beranjak pergi. "Tapi setelah ini kau harus menceritakan padaku apa yang terjadi. Kau harus berjanji!" pesannya.
"Ya, aku janji!" sahut Salvador yang sebenarnya itu adalah kesepakatan bahwa sesukar apa pun situasinya, mereka akan lolos dan bertemu lagi.
Godfreido keluar motel, sedangkan Salvador masuk lagi ke dalam. Wajah Salvador mengeras dan matanya menyorot tajam. Jika Barbarosa hendak menghabisi nyawa Corazon, maka terlebih dulu ia yang akan mencabut nyawa Barbarosa. Tidak ada seorang pun boleh menyakiti Corazon- nya.
Salvador kembali ke kamar motel tadi. Paloma tidak ingin mati sia- sia, terlebih lagi ada anak yang harus dilindunginya. Wanita itu menerjang Barbarosa sehingga tembakan Barbarosa meleset. Mereka berebut pistol hingga terdengar letusan lagi.
Dor!
Barbarosa dan Paloma sama- sama terdiam dengan mata terbelalak. Paloma menarik tangannya dari pistol Barbarosa dan gemetaran melihat tangannya berlepotan darah. Ia melangkah mundur, sementara Barbarosa perlahan-lahan kehilangan kesadaran lalu terkapar di lantai.
Jeronimo yang sebelumnya meratapi istrinya, ikut terdiam selama beberapa detik sampai Barbarosa tidak bergerak lagi.
"Apakah ia sudah mati?" gumam gugup Jeronimo.
"E- entahlah," sahut Paloma juga tak kalah gugupnya.
Barbarosa tidak mungkin datang sendirian. Anak buahnya pasti akan segera datang mencarinya.
"Apa yang harus kita lakukan?" gamam Jeronimo. Di pangkuannya jasad istrinya, di hadapannya jasad bos gangster.
Di luar motel, Godfreido menggenggam tangan Corazon ingin membawanya pergi. "Ikut aku, Cora," kata Godfreido. Mereka sempat bertatapan, tahu- tahu sekitar mereka meledak. Orang-orang, mobil, benda- benda berat, terlempar jauh disusul semburan api yang sangat besar.
Ledakan besar terjadi dari gudang yang berada di sebelah motel. Gudang itu ternyata menyimpan mesiu selundupan dalam jumlah besar dan percikan kembang api merembes ke dalam gudang tersebut sehingga menyulut api. Ledakan yang sangat kuat, suaranya sangat nyaring hingga menulikan pendengaran. Bangunan dan tanah bergetar bagai gempa bumi.
Teriakan keras terdengar berbarengan suara runtuh dan pecahan kaca.
Godfreido dan Corazon terlempar beberapa meter dari bangunan motel. Godfreido mendapati masih berpegangan tangan dengan Corazon, akan tetapi anak itu pingsan. Godfreido bergegas bangun ketika kepingan logam terlempar ke arah mereka. Ia memeluk Corazon dan berguling bersamanya.
Godfreido melihat sekelilingnya. Orang-orang banyak terkapar di jalanan, juga berlarian menyelamatkan diri. Teriakan histeris sambung menyambung.
Api membesar tak terkendali disertai ledakan- ledakan bagai dijatuhi bom dari angkasa. Godfreido melihat motel dilalap api. Beberapa orang berlari keluar dari situ. Anak buah Barbarosa berlarian ke dalam motel, akan tetapi mereka kurang koordinasi karena musibah yang tidak disangka- sangka.
Godfreido sempat memikirkan nasib Salvador. Namun, teringat janjinya pada sahabatnya itu, ia segera bangun menggendong Corazon lalu berlari seperti yang lainnya.
Api di mana- mana. Jalanan berasap dan berjelaga. Suara sirine terdengar meraung dari berbagai arah, akan tetapi tidak ada pertolongan segera karena skala kebakaran terlalu luas dan terlalu banyak manusia dalam lautan kepanikan.
Sambil membawa Corazon, Godfreido berusaha menyadarkannya. Dahi anak itu benjol sebesar telur ayam, tetapi Godfreido yakin selain itu Corazon tidak cedera lain. "Cora, bangun, Cora!" katanya.
Gadis itu mengerang lemah, tetapi tidak sadar juga. Godfreido tetap membawanya ke lokasi ia memarkir mobilnya.
Mengabaikan orang sekitarnya yang juga butuh pertolongan, Godfreido pergi dari kawasan itu dengan Corazon dibaringkan di jok penumpang. Ia terus mengemudi ke arah luar Roquetes de Mar.
Godfreido pernah diajak orang tuanya ke Cudillero. Jadi, ke situlah ia pergi membawa Corazon. Corazon sadar, tetapi ia jadi aneh. Gadis kecil itu duduk mematung dan mata menatap kosong. Dia tidak bicara, tidak juga merespons ketika ditanya. Dia tidak makan, tidak minum, bahkan tidak pipis selama perjalanan dari dini hari hingga siang terang benderang.
Godfreido yang khawatir dikejar kelompok Os Barbarosa dan kena razia, tidak berleha-leha di perjalanan. Mampir sebentar isi bensin, beli makanan cepat saji dan kencing, lalu ia lanjut lagi mengemudi.
Ia menyembunyikan Corazon dalam mobil supaya tidak ada yang melihatnya membawa gadis itu.
Saat malam mereka tiba di Cuddilero, berita musibah di Roquetes de Mar tersiar sampai ke tempat itu. Masyarakat sangat prihatin sehingga mereka banyak berdiam diri di rumah sambil mengikuti berita memantau informasi keadaan di Roquetes de Mar. Kota Cuddilero sunyi sepi, di samping cuaca dingin berangin kencang.
Dari kejauhan, Godfreido melihat patroli polisi berjaga dan menghentikan mobil satu per satu. Jika polisi menemukannya bersama Corazon, maka gagal lah pelarian mereka. Di sudut gang sepi dan gelap, Godfreido menurunkan Corazon. Ia berbicara saksama dengan gadis itu. "Kau tunggu di sini. Setelah lewat pemeriksaan polisi, aku akan menjemputmu. Kau mengerti?"
Gadis itu diam saja. Bahkan tatapannya tidak bereaksi. Godfreido tidak bisa berhenti lama- lama atau polisi akan curiga. Ia mendudukkan Corazon di tempat gelap itu, lalu keluar dari gang. Ia masuk lagi ke mobil dan menyetir seperti biasa.
Godfreido nekat mengantre di pemeriksaan polisi. Apesnya, polisi mencurigai SIM- nya palsu dan ia tidak cukup usia menyetir. Godfreido kena tilang dan polisi menelepon orang tuanya agar menjemputnya di Cuddilero.
Beruntungnya Godfreido, orang tuanya tidak marah karena sebelumnya mereka mengira putra mereka itu jadi korban di kebakaran Roquetes de Mar. Mereka malah mengelu-elukan perbuatan isengnya mengemudi ke luar kota karena bosan. Siapa sangka justru itu menyelamatkannya dari mara bahaya.
Godfreido tidak bisa mengatakan soal Corazon. Ia dibawa pulang dan dijaga ketat orang tuanya. Sementara Salvador mengalami luka bakar sehingga dirawat di rumah sakit.
Banyak koran jiwa di kebakaran itu. Kerugian material juga sangat besar. Nyaris 2/3 kota Roquetes de Mar ludes oleh si jago merah.
Seminggu berselang sejak malam itu. Godfreido memantau berita kalau- kalau ada peristiwa anak hilang atau apa di Cuddilero, tetapi nihil. Yang ada malah heboh berita mengenai penemuan jasad Barbarosa sebagai salah satu korban kebakaran di motel Roquetes de Mar.
Barbarosa ditemukan dalam kamar bersama seorang wanita bernama Esperanza. Kabar burung mengatakan, Barbarosa dan Esperanza berselingkuh, tetapi mereka berkelahi lalu keduanya mati tertembak karena berebut pistol.
Situasi mereda dan Salvador sudah bisa bangun, walaupun luka bakar di tubuh dan wajahnya belum sembuh. Ia sangat kesakitan, tetapi es krim vanilla menawar rasa itu. Ia kabur dari rumah sakit untuk menemui Godfreido. Ia masuk melalui memanjat jendela kamar Godfreido.
"Bagaimana keadaan Corazon, Godfreido?" tanyanya, lebih cemas daripada hidupnya sendiri. Bahkan Godfreido simpati melihat wajah Salvador yang rusak separuh.
"Ya ampun, Sal, wajahmu ...."
"Tidak usah mengkhawatirkanku. Katakan saja, bagaimana Corazon?"
"Aku membawanya ke Cuddilero. Ketika aku meninggalkannya dia baik- baik saja, Sal, tapi aku tidak bisa menjemputnya lagi karena aku ditahan polisi," beber Godfreido.
"Sialan!" desis Salvador. Ia ingin marah, akan tetapi di sisi lain merasa lega Corazon sudah jauh dari Roquetes de Mar.
"Jika kita ada kesempatan, kita ke Cuddilero dan mencarinya. Bagaimana?" usul Godfreido.
Apa mereka punya cara lain? Keberadaan Corazon pun masih harus dirahasiakan karena kerabat gangster Barbarosa bisa jadi masih mencarinya.
Bagaimana caranya agar Corazon bisa lepas dari semua itu? Salvador bertekad menjadi orang kuat dan berpengaruh seantero Spanyol agar ia bisa melindungi Corazon dari siapa pun.
Keberuntungan menjadi anak Jeronimo, Salvador punya peluang mewujudkan semua yang menjadi obsesinya. Kekuatan, kekuasaan, dan kaya raya.
Jeronimo sangat terbantu oleh pertolongan Salvador malam itu. Salvador menyelamatkan banyak orang sampai- sampai ia sendiri mengalami luka bakar. Anak muda yang gagah, pemberani, dan sangat pintar. Ia mengadopsi Salvador menjadi putranya dan jadilah dia Salvador Torres, sang penyelamat.
Salvador sibuk urusan gangster. Di samping itu, ia tidak ingin ada yang tahu hubungannya dengan Corazon sebelum gadis itu ditemukan. Bahkan Paloma tidak tahu. Salvador tidak ingin gadis itu jadi incaran semakin banyak pihak. Oleh karena itu, ia mempercayakan pencarian Corazon pada Godfreido.
Tahun demi tahun berlalu. Jejak Corazon tidak juga ditemukan. Salvador tidak melupakannya, tetapi selalu mengenang Corazon sebagai gadis kecil yang meluluhkan hatinya.
Kekuatan klan Torres semakin besar, karena itu, Salvador juga bisa mendukung bisnis hotel Godfreido hingga besar dan mendunia.
Sebagai orang yang mencari Corazon selama bertahun-tahun, tumbuh rasa terobsesi Godfreido pada sosok Corazon, seolah gadis itu juga kesayangannya. Godfreido lalu membuka cabang Hotel Reyes di Cuddilero, sebagai sarana memudahkannya menyusuri keberadaan Corazon.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba, kata orang. Jodoh tak akan ke mana. Dunia itu sempit. Ketika seleksi penerimaan karyawan hotel di Cuddilero, Godfreido berhadapan dengan satu gadis pelamar posisi chef dan seketika ia terkesima. Laksana di dunia hanya ada mereka berdua, Godfreido yang duduk di balik meja pejabat hotel menatap lembut gadis bernetra cokelat yang tidak akan pernah dilupakannya. Ia bertopang dagu seraya menyapa gadis itu. "Siapa namamu?"
"Coraima Aldevaro, Tuan. Nama saya Coraima Aldevaro."
"Dan apa yang membuatmu ingin menjadi seorang chef ..., Cora?"
"Untuk memberi makan orang- orang yang saya cintai dengan makanan terbaik setiap hari dalam hidup mereka."
Godfreido mengulum senyum kegirangan yang ditahan- tahan. Dalam hati berseru, Oh, Corazon, kau masih saja senaif dulu.
*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea
Share this novel