15. Artificial Love

Romance Completed 10892

"Sal, ... hentikan .... Kumohon ... lepaskan aku," isak Coraima setengah sadar antara gelora nafsu buatan Salvador dan rasa sesal menjadi tahanan cintanya. Ia merasa melawan, tetapi pada kenyataannya tubuhnya menikmati digetarkan Salvador. Engahan pendek suaranya sendiri tak henti menggema di telinganya. "Ah, hmmh, ah ... Sal .... ngghh ...."

Salvador mengusap rambut Coraima lalu mengecupi keningnya. "Tidak akan lagi, sayang ...," katanya. "Aku melepaskanmu sekali dan butuh 17 tahun menemukanmu lagi. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi, Corazon."

Coraima menyahut menggerundel, "Aku bukan Corazon ...."

"Aku tidak peduli." Lalu ia mengecup kuat bibir Coraima.

Dan itu menutup argumen Coraima. Ia terpejam larut dalam percintaan di atas altar dingin.

Bukan hanya menyanggamai, Salvador juga merawat Corazon- nya. Selesai menumpahkan benihnya dalam rahim Coraima, Salvador melepaskan pengekang tangan dan kaki Coraima lalu menggendongnya ke kamar mandi.

Dini hari itu, ia membawa Coraima berendam air hangat. Ia membiarkan Coraima tidur bersandar ke dadanya sambil membersihkannya. Ia mengalungkan kedua tangan Coraima yang masih beperban ke lehernya agar tidak basah.

Saat mengeringkan tubuh, ia mengecup ujung-ujung jari Coraima dan berujar penuh sesal. "Kau ceroboh sekali, Cora. Lihat ini. Bagaimana kau akan memasak jika tanganmu terluka?"

Coraima tidak menyahut karena terlelap. Salvador membungkus tubuh Coraima dengan jubah handuk dan menggendongnya ke tempat tidur. Ia turut tidur sambil memeluk Coraima sehingga terasa hangat sepanjang sisa malam.

Pagi menjelang dan udara menjadi sangat dingin. Coraima dan Salvador meringkuk semakin lelap berdekapan erat. Hingga matahari bertambah tinggi, tidur mereka masih tidak terusik.

Tidak ada tim masak memasak, sehingga anak buah Salvador makan makanan darurat seperti roti, mi instan atau sekadar telur ceplok dan sosis goreng.

Di kamar atas, Lorena terbangun terperanjat karena ia seorang diri dan di sebelahnya ranjang dingin menandakan Salvador tidak tidur bersamanya. Lorena kesal bukan main. Insting jalangnya tahu penyebab hal itu. Ia bergegas bangun hendak ke kamar wanita lain Salvador, akan tetapi teringat Salvador akan marah dan menembaknya, Lorena urung melabrak pria itu. Ia menggerutu sendiri seraya bergegas mandi, menata penampilannya lalu pergi meninggalkan rumah Salvador. Benicio yang berpapasan tidak ditolehnya.

Benicio memandangi kepergian Lorena dengan kening mengernyit sebelah. Selanjutnya ia melirik ke dalam rumah dan tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan dari kamar Coraima. Ia yakin Salvador masih ada di dalam sana, sehingga ia menjauh dari area tersebut. Ia mengomando anak buah mengatur para juru masak agar siap bekerja seperti biasa setelah mereka mendapat chef baru.

Hampir tengah hari, Dokter Guinan datang untuk mengontrol kondisi Coraima. Agak segan akhirnya Benicio mengetuk pintu kamar Coraima.

Tok tok tok!

"Ehm! Sal, permisi. Apa kalian di dalam sudah bangun? Dokter Guinan datang. Luka Coraima perlu dibersihkan dan ganti perban," kata Benicio.

Coraima dan Salvador sama-sama terbangun oleh ketukan itu. Salvador menguap dan menggeliat santai, akan tetapi Coraima terjengkit ketakutan dan beringsut menjauhi Salvador. Ia merapatkan jubah yang dikenakannya, tetapi terpekik kecil karena tangannya sakit.

Selain luka di bagian jari dan telapak tangan, pergelangan tangan dan kakinya juga agak lecet bekas borgol Salvador. Coraima menatap tajam dengan mata berkaca-kaca pada pria yang telah semena-mena menidurinya.

Salvador memasang tampang tak bersalah. Ia menggaruk kepala sambil turun dari ranjang lalu meraih jubah satin menutupi kepolosan tubuh penuh tatonya. "Ya, ya, aku pergi dari sini. Tidak perlu kau usir," gerutu Salvador tanpa perlu menunggu Coraima berucap. "Toh kalau aku mendatangimu, kau tidak berhak menolak," tambahnya.

Coraima terisak sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. "Aku membencimu, Salvador!" kecamnya yang dibalas lirikan mencemooh dari sisi wajah buruk rupa pria itu. Salvador menyengir singkat lalu ia membuka pintu dan keluar kamar.

Benicio mengiringi Salvador pergi ke lantai atas.

Bergantian, Dokter Guinan yang memasuki kamar Coraima. "Permisi, Nyonya, saya datang untuk memeriksa luka Anda." Dokter Guinan meletakkan tas peralatannya di nakas sisi ranjang.

Coraima tidak menyahut. Ia sibuk terisak. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana bersikap pada orang lain. Jika dia menaruh harapan besar pada seseorang, ia khawatir Salavador akan membunuh mereka lagi.

Dokter Guinan membuka perban lukanya. Seketika Coraima terdiam melihat luka- lukanya. Seharusnya luka terkena pecahan beling hanya berupa goresan kecil. Kalaupun dalam, tetap saja lukanya tidak akan kentara. Namun, yang terjadi goresan- goresan bekas kaca itu seperti menjadi borok yang sangat perih dan panas. Coraima meringis ngeri.

Dokter Guinan mengoleskan cairan pembersih luka ke tangannya, lalu krim khusus campuran obat penetralisir lepuhan dan antiinfeksi. "Anggur yang Anda bawa kemarin mengandung racun, Nyonya. Racunnya bereaksi dengan jaringan tubuh dan darah. Jika tertelan maka akan bereaksi merusak lambung dan masuk ke aliran darah. Orang yang menelannya akan muntah darah lalu mati seketika."

Coraima terperangah, tidak merasa lagi sakit di tangannya. "Oh, jadi ...."

Dokter Guinan menjelaskan tanpa mengalihkan perhatian dari luka yang dirawatnya. "Chef Emanuel berniat meracuni Tuan Salvador serta orang-orang yang makan bersamanya. Tuan Salvador sudah lama memantau chef itu. Chef Emanuel mungkin berpikir Salvador lengah dan ingin memanfaatkan Anda yang sudah pasti punya dendam pada Tuan Salvador."

Dokter Guinan lalu menatap Coraima dan wanita itu bicara agak terbata- bata. "Ka-karena Salvador mm membunuh Godfreido?"

"Betul, Nyonya," jawab Dokter Guinan.

Coraima menggeleng getir. Berarti Chef Emanuel mengenalinya sebagai istri Godfreido Reyes, tetapi malah memanfaatkannya. Chef Emanuel ternyata selicik dan setega itu. Air mata berlinang di pipinya.

Dokter Guinan berlagak sibuk melanjutkan pekerjaannya membebat luka Coraima. "Anda pasti sudah mengetahui selentingan perbuatan Tuan Godfreido. Dalam kehidupan Tuan Salvador, apa yang dilakukan Tuan Godfreido tidak dapat ditoleransi atau Tuan Salvador akan kehilangan pamornya. Kalau sudah begitu, apa gunanya ketua klan yang menjadi cemoohan semua orang?"

Coraima kembali membisu. Bukan karena ia syok lagi, tetapi terhenyak pada hal yang tidak disangkanya. Ia tidak tahu lagi mana benar mana salah. Sebagian logikanya masih berpikir Salvador mengatur skenario demikian untuk mengecohnya. Bisa saja perbuatan Chef Emanuel adalah bagian dari rencana Salavador. Lagi pula, ia tidak akan bisa mencari tahu kebenarannya selama masih berada dalam kekuasaan Salvador.

Dokter Guinan memplester ujung perban Coraima. "Nah, sudah selesai, Nyonya. Saya ingatkan lagi, obat Anda jangan lupa diminum supaya luka ini lekas sembuh. Karena luka di telapak tangan mungkin tidak akan berbekas, tetapi tentunya Anda ingin bisa beraktivitas seperti biasa 'kan? Anda tidak akan bisa memasak jika tangan Anda masih sakit."

Coraima mengangguk. "Iya, Dokter," katanya.

Sambil membereskan peralatannya, Dokter Guinan berkomentar. "Bicara Anda juga sudah pulih, Nyonya. Itu pertanda bagus. Saya rasa Tuan Salvador berhasil menyembuhkan Anda."

Wajah Coraima sontak merah padam. Lidahnya kelu, tetapi dalam hati memaki. Menyembuhkan apa? Yang dilakukannya hanya menciptakan cinta buatan demi memuluskan pelampiasan nafsunya. Dan bisa ada pria bercin.ta segila itu? Tidak terhitung lagi berapa kali ia mengalami klimaks yang luar biasa.

Coraima tersadar lalu buru- buru berkilah. "Hah? Apa? Ia tidak melakukan apa pun. Ia bahkan tidak menghibur saya dan sikapnya kasar."

"Anda tahu, Nyonya? Anda mengalami kesulitan bicara, tetapi ada orang yang mengalami kesulitan mengungkapkan perasaan mereka."

Coraima meringis seraya mengurut pergelangan tangannya, teringat bagaimana cara Salvador memanjakannya. "Atau ia tidak punya perasaan sama sekali," gumamnya.

Dokter Guinan tersenyum tipis saja kali itu. Ia tidak membela Salvador lagi. Jika saja Coraima tahu bagaimana Salvador meminta izin pada Jeronimo agar membiarkannya hidup, Coraima akan berterima kasih. Mungkin Coraima harus lebih baik banyak diam jika berhadapan dengan Salvador atau segala ucapan Coraima akan menyulut emosinya.

Dokter Guinan pulang setelah selesai mengontrol Coraima.

Selain Dokter Guinan, Demetrio juga datang ke rumah Salvador, membawakan berkas yang harus ditanda tangani Godfreido Reyes dan istrinya. Mereka bertemu di ruang kerja. Demetrio sangat gugup berhadapan dengan Salvador. Apalagi pistol selalu di tangannya.

Sambil memegang pistol itu, Salavador menepuk-nepuk pundak Demetrio. "Kerja bagus, Demetrio. Jika kau terus patuh seperti ini, aku mungkin akan menaikkan gajimu," kelakar Salvador.

Demetrio gelagapan. "Te terima kasih, ... Sal," katanya.

"Kau boleh pergi dan sampaikan salamku pada istrimu, semoga melahirkan bayi yang sehat. Huahahaha ...."

Salam yang sangat menyeramkan. Demetrio sampai gemetaran kakinya. "Ba baik, Sal. A akan saya ... sampaikan. Te terima kk kasih. Ss saya permisi!" Demetrio lalu keluar dari ruangan Salvador terbirit-birit nyaris terkencing- kencing.

Salvador dan Benicio lalu membuka- buka berkas perhotelan itu. Rincian penggajian karyawan dan aneka jenis pembayaran lainnya. Kemudian juga ada agenda rapat bulanan serta rencana promosi dan perkembangan hotel.

"Untungnya Coraima sudah bisa bicara. Ia bisa hadir di hadapan publik dan menyelesaikan acara-acara ini," gumam Salvador. "Oh iya dan juga menelepon mami papinya. Aku akan memastikan ia bersikap sewajar mungkin agar tidak mengundang kecurigaan." Salvador bergegas melangkah untuk menemui Coraima lagi, tetapi Benicio menyelanya.

"Sal, bagaimana dengan pemakaman Chef Emanuel? Visum dokter sudah menyatakan bahwa chef itu mati karena serangan jantung. Jasadnya rencananya akan dikremasi pihak keluarga besok lusa. Apa kau ingin hadir di rumah duka?"

"Ya, bolehlah. Aku akan hadir mengucapkan belasungkawa. Selalu menyenangkan mengantar kepergian orang sampai ke liang lahat mereka."

Benicio sudah biasa mendengar lelucon gelap Salvador sehingga ia tidak terpengaruh lagi. Ia melanjutkan mengurus berkas Hotel Reyes, sementara Salvador lanjut melangkah menemui Coraima. Ia kelaparan dan Coraima pastinya juga.

Coraima agak kesusahan mengenakan pakaian, tetapi ia berhasil mengenakan bra, celana dalam, lalu sepotong dress selutut berwarna salem yang cantik sekali jika dibawa pergi kencan makan siang. Namun, sekarang tidak ada gunanya berdandan. Dress itu kehilangan pesonanya di mata Coraima. Tangannya juga kesulitan memegang sisir, jadi rambutnya dibiarkan lepek lembap, dan kusut.

Ia sangat kelaparan sehingga memutuskan ke dapur mencari sesuatu yang bisa langsung dimakan. Ia membuka lemari es dan melihat su.su kotak sisa membuat kue karamel kemarin. Menggunakan kedua pergelangan tangannya, ia membuka tutup kotak karton su.su putih tersebut. Ia mengangkatnya dengan kedua tangan lalu menenggaknya.

"Hola, mi corazon!" seru Salvador memasuki dapur penuh semangat.

"Uhuk!" Coraima terperanjat dan nyaris tersedak. Su.su tumpah di sekitaran mulutnya dan sebagian terpercik ke lantai.

"Haissh, Cora, kau seperti anak kecil saja," rutuk Salvador yang segera mengambil kotak susu dari tangan Coraima, mendempet wanita itu hingga tersandar ke pintu kulkas, lalu menjilati su.su di seputaran bibirnya.

Coraima terjengkit sambil membuang muka. "Hummph, kau menjijikkan, Sal," pekiknya dan berusaha mengelap mulutnya dengan punggung tangan.

"Oh, ya? Malam tadi kau tidak mengeluh begini," kata Salvador. Ia menenggak su.su langsung dari kotaknya menyambung Coraima, setelah menelannya, ia menciumi Coraima meskipun wanita itu terpekik geli jijik sekaligus.

Sisa obat perangsang masih mengalir dalam darahku, pikir Coraima. Tubuhnya melemah pada sentuhan Salvador dan ketika pria itu mendorongnya ke pantri lalu mencumbunya sampai ia terbaring di permukaan, ia tidak protes sekeras sebelumnya. "Oh hmm ... Salvador ... kau ... kurang ajar ...."

Salvador menyahut serak berat. "Aku lapar, Cora. Cepat masak sesuatu sebelum aku memakanmu ...."

Coraima teringat tangannya, otomatis teringat pada kejahatan Chef Emanuel. Coraima berujar sungkan. "A aku tidak bisa. Tanganku ...."

Salvador mendadak berhenti mencumbu. Ia memandang sekeliling dapur. "Oh iya. Jadi, bagaimana? Setiap kurir makanan yang datang kemari berakhir kutembak mati. Haruskah aku melakukannya lagi?"

Coraima menegapkan tubuhnya. Mendengar ucapan Salvador. Ia tergagap. "Ti tidak usah, Sal. Mmm bagaimana kalau pelayan lain yang memasak?"

Salvador melirik tajam. "Jika masakan mereka memenuhi seleraku, kau pikir aku akan mempekerjakan Chef?"

"Oh." Coraima tidak tahu Salvador bisa secerewet itu soal makanan. Ia membisu. Tidak bisa bergerak karena kedua tangan Salvador mengungkungnya di pantri.

Salvador benci menjelaskan, tetapi ia ingin Coraima lebih santai bersamanya. Ia menceritakan masa kecilnya. "Aku besar di jalanan dan memakan apa saja, bahkan dari tempat sampah. Aku berjanji pada diriku sendiri, jika aku kaya raya aku akan makan masakan terenak setiap harinya. Aku sekarang punya segalanya, lalu kenapa aku harus makan sembarangan?"

Coraima merengut sebal. Ia meninju gemas da.da Salvador. "Kalau begitu kau masak sendiri saja!"

Salvador melingkarkan tangannya ke pinggang Coraima. Mata tertuju pada bibir wanita itu yang menggemaskan ranum bekas kecupannya. "Kau mau mengajariku, Chef?" tanya Salvador.

Wajah Coraima bersemu dan menghindari menatap wajah Salvador. Ucapan pria itu seperti para chef pemula biasa menggodanya. "Tentu ... Sal, tapi ... enak tidaknya ... tergantung keberuntunganmu."

Salvador mengecup cuping telinga Coraima dan membisikinya. "Seharusnya itu tergantung keahlianmu mengarahkan. Tapi jangan khawatir, jika masakanku tidak enak, sebagai gantinya aku ingin permainan ranjang yang enak darimu, Corazon."

"Gyaah!" pekik Coraima karena Salvador tiba-tiba meremas gundukan daranya. Pria itu lalu melepaskannya sambil terkekeh sendiri.

Coraima bergegas menjauh ke sisi lain pantri. Wajahnya merah padam karena tidak bisa mengusap buah daranya yang berdenyut-denyut bekas remasan Salvador. Ia berusaha berkonsentrasi mengajari Salvador. "Kau ... pilih saja bahan yang kau inginkan lalu ... kita bisa mulai memasak."

"Cacciatore," sebut Salvador.

Coraima tergemap. "Apa?"

"Cacciatore. Aku ingin masakan Cacciatore."

Ah, Salvador rupanya mengartikan sebutan itu sebagai nama masakan. Coraima jadi misuh- misuh sendiri.

Cacciatore (diucapkan [katt?a?to?re]) bermakna "pemburu" dalam bahasa Italia. Dalam istilah masakan, alla cacciatora mengacu pada makanan yang disiapkan "bergaya pemburu" dengan bawang, rempah-rempah, biasanya tomat, sering kali dengan paprika, dan kadang-kadang anggur.

Cacciatore sering dibuat dari ayam yang direbus (pollo alla cacciatora) atau kelinci (coniglio alla cacciatora). Salamino cacciatore adalah salami kecil yang dibumbui dengan bawang putih dan merica.

Berhasilkah Salvador membuat cacciatore di bawah arahan Coraima? Atau gagal total sehingga mereka harus menyelesaikannya di ranjang?

Jawabannya di ... next episode.

Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience