Resep dasar cacciatore biasanya dimulai dengan menggunakan beberapa sendok makan minyak zaitun yang dipanaskan dalam wajan atau panci.
Satu ekor ayam atau khusus bagian paha saja, dipotong- potong, lalu ditaburi dengan garam dan merica, digoreng dengan minyak zaitun tersebut selama tiga sampai empat menit di setiap sisinya. Ayam diangkat lalu sebagian besar sisa minyak yang bertambah lemak ayam, digunakan untuk menggoreng bawang, paprika atau sayuran lainnya, bisa ditambahkan jamur kancing atau irisan wortel.
Masakan Italia dan Spanyol banyak menggunakan tomat. Bisa dalam bentuk saos atau tomat segar. Untuk cacciatore bisa ditambahkan sekaleng tomat kupas (yang dikeringkan dan dicincang kasar) ke dalam panci bersama rosemary dan setengah cangkir anggur merah atau anggur putih.
Daun salam juga dapat digunakan bersama dengan irisan wortel untuk memberikan tambahan rasa manis. Potongan ayam dikembalikan ke dalam panci, lalu masak di atas api kecil tertutup dan biarkan mendidih hingga kuah mengental. Hidangan ini selesai sekitar satu jam. Cacciatore sering disajikan dengan roti pedesaan, aneka pasta atau spaghetti.
Dapur Salvador persis dapur di lomba Master Chef. Semua bahan tersedia tinggal pilih dan ambil. Karena Salvador muridnya, Coraima bisa sedikit mendominasi pria itu. Ia mengiringi Salvador menyusuri rak- rak sambil tangan bertaut di belakang. Sementara pria itu menenteng keranjang belanjaan.
"Pilih ayam betina yang masih muda dan virgin. Usahakan usianya kisaran 2 bulan saja, Sal," kata Coraima.
Salvador mendelik sangsi padanya. "Bagaimana aku bisa tahu itu ayam jantan atau betina? Apalagi umurnya. Apakah aku perlu bertanya siapa ayah ibunya dan kapan dia dilahirkan? Pada ayam yang sudah mati, Cora! Kau serius atau mengolok-olokku?" cecarnya.
Coraima berusaha mempertahankan wibawanya. "Aku serius, Sal. Daging ayam terbaik adalah yang masih muda dan belum pernah bertelur."
Mata Salvador terpicing. "Sialan! Kau mengerjaiku!" desisnya, tetapi lanjut membuka peti es dan memilih daging ayam sesuka hatinya. Ia kira- kira saja ayam seukuran 1,8 kg, dimasukkannya ke keranjang. Selanjutnya ia memilih pasta. Pilihannya jatuh pada spaghetti. Untuk bumbu, ia mengambil bawang bombai, paprika, tomat kalengan, wortel, dan jamur kancing. Dan setiap bahan itu, Coraima menetapkan ukuran, bentuk, dan kisaran usia tertentu.
Salvador ingin masakannya enak, sehingga terpaksa ia mengikuti semua instruksi Coraima.
Bukan hanya pemilihan bahan, saat memotongnya pun, ada teknik spesial, ukuran serta bentuk harus seragam. Rahang Salvador merapat saat ia harus merajang bawang bentuk dadu sekitar 0,5 cm. Saat memotong ayam, ia bisa sedikit melepaskan emosinya. Memotong ayam seperti menjagal musuh- musuhnya.
Ayam digoreng bersama minyak zaitun untuk mengunci proteinnya, kemudian sisa minyaknya untuk menumis bumbu. Wangi bumbu tercium ke penjuru ruangan, dan suara ributnya membuat para pelayan mendatangi dapur. Mereka segera bersembunyi dan mengintip di kejauhan ketika mengetahui siapa yang menggunakan dapur. Bos mereka!
Salvador bertelanjang da.da, melapisi dadanya dengan celemek, sedang mengaduk- aduk wajan.
Wanita muda memerintahnya penuh kuasa. "Masukkan ayamnya, Sal! Tambahkan tomatnya, Sal! Kecilkan apinya, Sal! Aduk, Sal!"
"Iya, iya, ini aku aduk! Huhhh, setelah bisa bicara kau cerewetnya bukan main," gerutu Salvador.
Coraima tidak menggubrisnya karena sedang memeriksa anggur yang akan ditambahkan ke masakan. Coraima meneliti setiap detail botol dan isinya, bahkan membauinya sebelum anggur itu dibuka.
Salvador menoleh dan menanyainya. "Kenapa? Ada masalah dengan anggurnya?"
Coraima menarik diri dari anggur itu, tetapi ia enggan menatap Salvador. Ia melihat ke cap botol lalu berujar segan. "Aku khawatir anggur ini juga beracun. Entah bagaimana cara memasukkan racun ke dalam anggur tanpa merusak segelnya."
Salvador menyengir tipis menutupi kegirangannya. Agaknya Coraima sudah mengetahui kebenaran tentang Chef Emanuel. Pantas saja dia lebih tenang dan mau bekerja sama. Salvador meletakkan sutil kayu, lalu meraih botol itu beserta gelas anggur. "Kalau begitu mari kita cari tahu anggur ini beracun atau tidak," katanya.
"Bagaimana caranya?" tanya Coraima.
"Meminumnya, tentu saja!" Salvador membuka sumbat botol tersebut, mengisi gelasnya dengan larutan merah gelap tersebut lalu meminumnya.
"Aaahhh!" desah puas Salvador setelah menghabiskan segelas anggur. Ia merentangkan kedua tangannya. "Bagaimana? Aku masih hidup, jadi tidak ada racun 'kan?"
Coraima mendengkus. "Kau gila!"
Salvador mengesampingkan gelasnya lalu ia membungkuk bertumpu siku di meja pantri, mencondongkan wajahnya pada Coraima seraya menyelidik. "Kenapa? Kau mengkhawatirkanku?"
"Dalam mimpimu!" desis Coraima. Ia mendengkus keras. "Itu! Lihat ayammu, akan terlalu kering saat memasukkan anggurnya, rasanya tidak akan meresap sempurna."
"Oh iya!" Salvador bergegas berbalik ke wajannya lalu menakar anggur dan menuangnya ke dalam masakan. Wangi masakannya bertambah mewah dan menggugah selera. Wajan ditutup dan dibiarkan selama beberapa menit, saatnya Salvador memasak spaghetti karena ia ingin hidangan chicken cacciatore-nya dimakan bersama spaghetti.
Saat memasak pasta tersebut, Salvador kembali diuji kesabarannya karena harus mengikuti step by step dari Coraima.
Pertama, ia harus menggunakan panci yang cukup besar.
Kebanyakan orang tidak menggunakan panci yang cukup besar saat memasak spaghetti. Padahal spaghetti ketika dimasak membutuhkan ruang untuk bergerak dan bisa matang merata supaya mendapatkan tekstur dan tingkat kematangan pasta yang sesuai.
Kedua, bumbui dengan garam
Setelah panci besar diisi dengan air, ternyata penting untuk membumbuinya dengan garam. Tambahkan garam saat merebus pasta, tidak hanya membuat cita rasa pasta lebih enak, garam juga menaikkan suhu didih air.
Ketiga, menunggu sampai air mendidih.
Saat memasukkan pasta ke dalam air, air dalam panci harus benar-benar mendidih. Memasukkan pasta ketika kompor baru saja dinyalakan akan membuat pasta menggumpal dan saling menempel.
Keempat, spaghetti jangan dipatahkan.
Di sini tujuannya supaya mendapatkan spaghetti dengan bentuk yang sempurna.
Kelima, aduk spaghetti.
Jangan pernah meninggalkan pasta setelah dimasukkan ke dalam air mendidih. Aduk pasta setiap satu atau dua menit agar pasta tidak saling menempel dan panas air yang dihasilkan juga menyebar rata.
Keenam, jangan bilas spaghetti
Mungkin Anda mengira dengan menyiram pasta dengan air dingin maka akan menghentikan panas dari pasta dan mempertahankan tekstur al-dente yang diinginkan. Ternyata dengan sisa air bertepung yang masih menempel sebenarnya bagus untuk membantu saus dan bumbu menempel pada spaghetti. Ini juga menambah kelezatan yang diinginkan pada rasa dan tekstur.
Ketujuh, tambahkan minyak paling akhir
Sebelum pasta dihidangkan ke piring, tambahkan lemak seperti satu dua sendok makan mentega atau sedikit minyak zaitun. Selain mencegah lengket, spaghetti dan sausnya akan menjadi lezat dan kaya rasa.
Spaghetti selesai dimasak, Salvador menatanya di piring, siap diguyur saos cacciatore dan ayam matang berbumbu diletakkan di atasnya. Tambahan jamur kancing serta taburan rosemary menyempurnakan penampilan makanan tersebut.
"Wuaah!" seru Salvador. Ada kepuasan tersendiri melihat karyanya tampak sangat sempurna.
Salvador bukannya segera menyantap masakannya, ia malah menyodorkan pada Coraima. "Silakan, Chef!" ujarnya semringah.
Salvador mengambil sendok garpu. Ia mengambil seujung sendok saos cacciatore terlebih dahulu, lalu menyuapkannya pada Coraima.
Coraima agak sangsi hendak menyantap masakan Salvador. Namun, ia mencicipinya. Ia mendecap- decap beberapa kali.
Salvador menunggunya antusias. Coraima tidak bereaksi apa pun. Salvador lanjut melilit untaian spaghetti, lalu menambahkan irisan daging ayam, jamur, dan saosnya. Ia kembali menyuapi Coraima. Sambil mengunyah, Coraima mengangguk- angguk. Setelah menelan, barulah ia memberikan komentar.
"Hmm, boleh juga! Harus kuakui, ini sangat enak, Sal."
Salvador berwajah ceria dan senyum merekah. Coraima menyelamatinya. "Selamat, Sal, kau berhasil di percobaan pertamamu. Sangat luar biasa!"
"Benarkah?" Salvador pikir, Coraima hanya ingin menghindari masalah dengannya. Ia bergegas mencicipi masakannya sendiri dan mata membulat takjub karena ternyata cacciatore buatannya benar-benar enak.
Coraima berujar waswas. "Jadi, aku tidak perlu menemanimu di ranjang 'kan?"
Muka Salvador langsung merengut. "Dalam mimpimu!" rutuknya yang diikuti menarik lengan Coraima agar tidak menjauh dari pantri. Salvador berujar dengan rahang merapat. "Tidak ada alasan menghindariku. Aku akan menguras tenagamu setiap malam, Cora dan kau harus selalu siap untuk itu!" Ia menyodorkan spaghetti lagi ke mulut Coraima. "Makan atau aku akan memaksamu!"
Soal makan sebenarnya Salvador tidak perlu memaksanya. Ia pasti makan karena butuh tenaga untuk hidup. Coraima mengunyah spaghetti saos cacciatore tersebut. Tatapan tajam beradu antara mata cokelat Coraima dan aquamarine Salvador.
Mereka berdua makan sangat lahap meskipun Coraima harus disuapi. Seporsi chicken cacciatore habis ludes dan ditutup dengan segelas anggur sisa bahan masakan tadi. Coraima mengangkat gelas menggunakan kedua tangan beperban, lalu menenggaknya ludes karena ia perlu untuk melegakan pikirannya. Ada banyak hal ingin diutarakannya, tetapi tahu ujungnya akan sia- sia belaka. Coraima hanya bisa meresah lelah. Ia termenung menatap gelas kosong.
Salvador tersenyum penuh arti. Ia menyesap anggurnya perlahan-lahan lalu mulai bercakap akrab. "Karena kau sudah lancar bicara, kau bisa menghubungi orang tuamu, tapi tentu saja kau harus bersandiwara pada mereka ... dan pada semua orang nantinya."
Coraima menatap pria itu, tetapi tidak berkata apa pun, meski dalam hati bertanya-tanya. Salvador sudah memberinya akses ke dapur, sekarang ia bisa bicara dengan Mami dan Papi, bukankah itu kemajuan yang bagus? Selama ia patuh dan menuruti apa pun keinginan Salvador, hidup ke depannya tidak akan sulit lagi sepertinya. Ya, jadi gundik bos mafia yang bergelimang harta terdengar menjanjikan. Impian terliar semua wanita mungkin.
"Kapan aku bisa menghubungi mereka?" tanya Coraima.
"Sekarang, jika kau ingin."
"Ya, aku ingin sekarang."
"Baiklah, tapi sebelum itu, kita benahi dulu penampilanmu," ujar Salvador, lalu memanggil pelayannya. "Latanza, kemari! Dandani Coraima!"
Latanza muncul dan siaga menerima titah.
"Rapikan saja rambutnya dan mekapi sedikit biar terlihat segar," lanjut Salvador.
"Baik, Tuan!"
Latanza lalu mengajak Coraima ke kamar. Rambut ditata tergerai megar dan licin bergelombang. Wajah dibedaki, diberi pemerah pipi dan bibir berwarna coral pastel.
Sorot mata Salvador melembut memandangi sosok Corazon- nya yang lugu telah tumbuh dewasa dan sangat manis menggoda. Salvador meminta Coraima duduk di teras samping di mana ada kursi gantung beserta bantalan yang nyaman. Coraima dipersilakan mendekap bantalan berbentuk boneka kelinci yang berlubang di tengah badannya, agar bisa menyembunyikan tangannya di sana.
Salvador memperingatkannya. "Dengar, Cora. Aku rasa aku tidak perlu menjelaskan lagi apa yang harus kau lakukan, jika kau mau mereka selamat."
Wajah Coraima sendu dan rahang mengeras. "Aku tahu," gumamnya.
Salvador memulai panggilan menggunakan teleponnya, Coraima menarik napas dalam bersiap- siap berakting. Ia memasang senyum terbaiknya, sementara Salvador berdiri di balik ponsel mengawasi saksama.
Panggilan tersambung dan tampak wajah Mami Juanita dan Papi Armando, duduk bersisian di teras mereka, menghadap pantai indah Cudillero.
Oh, betapa rindunya dia pada rumah itu. Mata Coraima berkaca-kaca nyaris menangis, segera dihelanya.
"Hola, dulce bebe!" sapa Mami dan Papi seraya tersenyum lembut di wajah tua mereka.
"Hola, Mami! Ya Tuhan, aku sangat merindukan kalian!" ucap haru Coraima. Tak bisa ditahannya, air matanya menetes.
"Oh, sayang, kenapa kau menangis? Apa sesuatu terjadi? Apa Godfreido menyusahkanmu?"
Coraima menggeleng. Ia menghapus air matanya menggunakan bahu. "Tidak, Mami. Aku hanya rindu kalian. Musim panas begini kalau malam udaranya sangat dingin. Kaki Mami pasti nyeri. Papi juga susah bergerak kalau harus mengambilkan air panas atau memijat kaki Mami."
Papi Armando menyela. "Oh, ya ampun, Cora, jangan kau khawatirkan hal itu. Kami memang sudah tua dan itu ajal kami. Kami baik- baik saja, sayang. Oh, ya ada tetangga baru di sebelah rumah. Seorang pria yang sangat ramah dan perhatian. Ia menjenguk kami setiap hari dan baru- baru ini ia memberi kami lampu infrared. Katanya sisa barang diskon di perusahaannya. Mamimu memakainya jika kakinya sakit dan itu sangat membantu mengurangi sakitnya.
Isakan Coraima bercampur senyum lega. "Oh, ya? Baik sekali tuan itu."
"Iya. Beruntung punya tetangga seperhatian itu. Katanya perusahaannya pemasok barang elektronik di Hotel Reyes. Sayang, menurutmu Godfreido turut campur dalam hal ini? Mungkin ia tidak ingin kamu selalu mengkhawatirkan kami."
Coraima tercenung. Apa mungkin sebelum menikah Godfreido memang mengatur demikian? Ataukah .... Mata Coraima berpindah ke pria di belakang ponselnya yang menyeringai bagai tokoh penjahat di film mafia.
Tidak mungkin!
Coraima tersentak lalu buru-buru menyela papinya. "Aku akan menanyakannya pada Godfreido, Papi. Jika benar, maka Godfreido benar- benar seorang malaikat."
Muka Salvador langsung merengut sebal mendengar hal itu.
Papi Armando bertanya lagi. "Mana Godfreido? Biasanya dia menelepon kami sekali sehari setiap pagi, tapi hari ini belum ada."
Coraima tergamam sesaat. Salvador memicingkan mata padanya dan kembali tersenyum menyeringai. Maaf, sekali lagi maaf. Wajahnya memang wajah antagonis. Wajah pembunuh berdarah dingin saat mereka sedang melakukan pembantaian. Ditambah bekas lepuhnya, komplit wajah penjahat.
Coraima lekas kembali pada sandiwaranya. "Dia ada urusan mendadak, Papi, jadi buru- buru pergi pagi-pagi sekali."
"Oh, anak muda pekerja keras. Jangan sampai dia mengabaikan kesehatannya karena sibuk bekerja, Cora. Tugasmu mengurusnya dengan baik."
"Ya, Papi."
Mami Juanita menimbrung. "Kau ada di mana, Dulce bebe? Tampaknya tempat yang sangat mewah."
"Oh, ini salah satu ranch milik Godfreido, Mami. Sangat menyenangkan dan damai di sini, jadi, Godfreido ingin kamu tinggal di sini saja."
Juanita mengerling. "Humm, apakah dia merencanakan begitu agar kalian cepat punya momongan?"
Coraima tersipu-sipu. "Sepertinya begitu, Mami."
Juanita menyemangatinya. "Semoga berhasil, dulce bebe. Kami juga berharap lekas memiliki cucu. Kami sudah sangat tua dan kematian bisa menjemput kami kapan saja."
Coraima merasakan nyeri di sudut hatinya. "Jangan berkata begitu, Mami. Jangan mati buru-buru. Masih banyak hal yang ingin kulakukan untuk kalian."
"Kami hanya ingin cucu, sayang," goda Juanita.
Agak segan Coraima menyahut. "Kami akan berusaha secepatnya, Mami. Doakan saja."
"Ya, sayang, tentu saja. Baiklah, sayang. Sampai jumpa lagi. Sampaikan salamku untuk Godfreido."
Coraima mengangguk dan tersenyum terharu. "Ya, Mami, akan kusampaikan. Sampai jumpa."
Panggilan video itu pun berakhir dengan Salvador memencet tutup panggilan dan terkekeh.
Wajah Coraima langsung mengeras dan air mata kebenciannya mengalir. "Kau puas sekarang, Salvador?"
Pria itu mencibir. "Tidak. Sampai kita mewujudkan keinginan Mami Papimu, baru aku puas."
Coraima mengempas bantalan kursi yang menyembunyikan tangannya. Ia sangat gusar. "Kenapa kau melakukan ini? Aku adalah istri musuhmu, Salvador Torres, tetapi yang kau lakukan padaku sangat ekstraordinari. Asal kau tahu, ini tidak akan membuatku luluh apalagi jatuh cinta padamu. Selamanya aku akan mencintai Godfreido, suamiku yang sebenarnya!"
Salvador sudah menduga ucapan demikian akan didengarnya, tetapi tetap saja ia geram. "Oh, ya ampun! Pria itu bahkan berselingkuh dan punya anak dengan Esmeralda. Kau bilang kau mencintainya? Sungguh konyol!"
"Tidak apa-apa. Justru aku bahagia menemukan Valentina, karena dia adalah bagian terakhir yang tersisa dari Godfreido. Aku akan menerima Valentina dan mencintainya sebagai anakku sendiri."
Salvador mendengkus keras dan rahangnya merapat hingga menggemeretak. Ia memutar tubuh sangat cepat lalu melangkah lebar ke dalam rumah.
Coraima takut Salvador akan mendatangi Valentina dan menghabisi anak itu. Ia berlari secepatnya, mendahului Salvador menaiki tangga ke lantai dua.
Bertepatan dengan Latanza membawa Valentina turun karena menangis terus-terusan. Agaknya bayi itu merasakan kegelisahan yang sangat kuat. Latanza mematung melihat Coraima panik dan Salvador bermuka sangar.
Coraima mengambil Valentina dari tangan Latanza. Ia mendekap erat bayi itu dan bergegas membawanya menuruni tangga. Namun, di lantai dasar, Salvador berdiri tegap dan sudah mengacungkan pistolnya ke dahi Coraima.
Latanza terdiam di tengah tangga. Ia bahkan tidak berani berkedip.
Coraima membeku, tenggorokan kesulitan menelan ludah. Ia melirik Valentina yang menangis meronta kemudian melirik mata nyalang Salavador. Bola mata itu sangat indah, tetapi kenapa menjadi sangat mengerikan?
Salvador mendesis penuh sesal. "Aku sudah bilang berkali-kali, jika kau tidak mematuhiku maka aku akan membunuhmu, Cora. Aku tidak main-main lagi denganmu."
Coraima tidak tahu lagi harus melakukan apa, tetapi mendengar tangis Valentina, ia yakin ia bisa melakukan sesuatu. Karena ia bisa bicara, bukankah seharusnya itu sekarang berguna? Kakinya gemetaran bergerak berlutut dan mata berkaca-kaca menatap lekat Salvador. "Untuk sekali saja, tunjukkan padaku bahwa kau memang seorang penyelamat. Antara aku dan bayi ini, tidak ada satu pun dari kami yang bersalah. Lalu kau tega membunuh kami? Apa yang akan kau katakan pada anak- anakmu kelak?"
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, debaran jantung Salvador dibuat gelagapan. Tangannya yang memegang pistol bergetar tipis. Coraima dan Valentina persis Corazon kecil menggendong bonekanya. Amarah Salvador berangsur-angsur menghilang. Ia menurunkan pistolnya seraya membuang muka. "Aku lepaskan kau kali ini, Cora, tapi yang berikutnya, aku tidak akan semurah hati ini."
Salvador melengos di hadapan Coraima. ia menaiki tangga menuju ke kamarnya. Latanza menepi dan tertunduk dalam hingga Salvador lewat dan menghilang ke dalam kamar.
Bersamaan Salvador menjauh, tangis Valentina mereda. Bayi itu sesenggukan mendempet di belahan buah dara Coraima .
Coraima yang lega bukan main, terengah lemas dan nyaris terseruduk jika saja Latanza tidak memeganginya. Latanza memapah Coraima membantunya berdiri. "Demi Tuhan, itu tadi nyaris sekali, Nyonya. Puji Tuhan Tuan Salvador tidak menembak kalian. Anda nekat sekali, Nyonya. Tolong jangan dilakukan lagi. Tuan Salvador tidak suka kesalahan berulang. Nyonya bakal benar- benar dibunuhnya."
Berjalan tertatih dipapah menuju kamarnya. Coraima bergumam penuh emosi. "Bagaimana bisa ini menjadi sebuah kesalahan? Aku membela hidupku. Tidak ada seorang pun mau hidup dalam kekangan seperti ini."
Latanza berusaha menenangkannya. "Anda hanya perlu menuruti keinginan Tuan Salvador, Nyonya. Jika ia ingin bayi, maka berikanlah."
"Aku tidak sudi rahimku melahirkan anak orang yang tidak kucintai," rutuk Coraima.
"Ah, Nyonya keras kepala juga rupanya," gumam Latanza. "Tuan Salvador hanya ingin membina sebuah keluarga karena ia tidak pernah memilikinya. Hanya saja, hidup dalam semua kemewahan ini, ternyata tidak serta merta membuat itu mudah. Tuan Salvador yang malang ...."
Coraima mendelik. Malang apanya? Jika ingin memiliki keluarga, kenapa mesti mengambil istri orang? Dasar gila!
Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea
Share this novel