Pandangan Coraima kabur oleh peluh dan air mata di pelupuknya. Ia berujar memelas pada Salvador. "Apa yang harus kuingat tentangmu, Sal? Meskipun kau memberiku surga, tidak menjadikanmu orang yang tepat. Kau adalah teror dan ketakutan yang ingin kulupakan. Aku berharap tidak pernah mengenalmu."
Ucapan itu menyakitinya seperti sebuah karma. Salvador berujar dingin. "Aku tidak akan membiarkan keinginan itu terwujud, Cora. Kau milikku sekarang. Aku akan membuatmu mengingatku sepanjang waktu." Sebelumnya ia ingin menutup percintaan mereka, akan tetapi Salvador membatalkan niat itu. Ia memacu Coraima lebih giat lagi hingga wanita itu memohon tanpa bisa berkata-kata selain menyebut namanya.
"Ohh, Sal ...," pelas Coraima di antara getaran luar biasa yang diberikan tuas keperkasaan Salvador. Ia seharusnya tidak memprovokasi Salvador, tetapi ia tidak bisa berbohong mengenai perasaannya. Pun ia tidak bisa mendustakan bagaimana tubuhnya mendambakan Salvador. Remasan kuat dinding rahimnya setiap detik mereka bersama menjadi pernyataan yang membuat Salvador berbesar hati.
"Oh, Cora," sahut Salvador disertai seringai puas di wajahnya. Di atas segalanya, ia senang kejujuran Coraima. Keterbukaannya, senang mengutarakan pendapat dan terlebih lagi senang membuka paha untuknya. Bukankah itu berarti Coraima mulai nyaman bersamanya?
Namanya disebutkan bersama embusan napas. Salvador mengecup bibir Coraima sebagai balasan. Ia menangkup kasar bibir itu hingga berdenyut meradang, bersamaan dorongan sedalam-dalamnya hingga menyentuh langit-langit surga wanita itu. Di sana ia tembakkan bunga apinya. Letusan dahsyat yang tidak sanggup ditampung Coraima.
Mereka sama-sama menggeram puas. Barulah Salvador melepaskan ciumannya. Coraima terbaring setengah sadar, engahannya berlomba mencari udara. Salvador tidak menarik diri dari wanita itu. Ia tetap menindihnya dan membiarkan pasaknya tetap tersumpal, meskipun di dalam berdenyut-denyut menyembur. Salvador terkekeh di tepi telinga Coraima. "Apakah kau sanggup melupakanku ketika setiap inci tubuhmu berteriak memujaku?"
Sepasang mata hangat Coraima mengerjap-ngerjap sayu. Ia menggeleng lemah lalu terisak. "Itu membuatku membenci diriku sendiri, Sal. Aku telah menjadi pengkhianat."
Sorot mata Salvador melembut dan ia memberikan kecupan ringan di bibir Coraima, menenangkannya agar tidak perlu merasa buruk. "Kau tidak mengkhianati siapa pun, sayang. Justru kau kembali padaku, ke tempat kau seharusnya berada. Bersebelahan dengan hatiku."
Perkataan itu sesuatu yang tidak akan diucapkan orang seperti Salvador, Coraima menampik dalam hati. Mata mereka bertatapan dan sesaat pikirannya tersedot ke dalam mata aquamarine itu. Ia melihat pantulan kembang api yang sangat indah melalui mata itu. Bias warna merah rubi, biru, hijau, dan cahaya neon. Coraima merasa dirinya sedang mabuk. Mungkin tanpa disadarinya Salvador telah memberinya obat perangsang lagi karena itu tubuhnya bereaksi demikian. Mata Coraima berangsur-angsur terpejam karena tertidur.
Salvador tersenyum penuh kasih. Ia mengecup ringan bibir Coraima berkali-kali lalu keningnya. Setelahnya, barulah ia menarik diri perlahan-lahan. Salvador duduk di tepi ranjang dan mendesah keras kesakitan. "Aargh!" Pundaknya berdarah lagi, meresap ke perban sehingga terlihat bercak darah. Namun, itu tidak apa- apa karena diliriknya Coraima tertidur pulas dengan wajah damai.
Salvador menyelimuti Coraima lalu ia beranjak dari ranjang. Langkahnya agak tertatih setelah pinggul lelah memikul kenikmatan. Ia mengenakan jubah tidurnya, bertepatan suara ketukan di pintu.
Benicio bersuara dari luar. "Sal, Tuan Jeronimo datang menjengukmu."
Salvador tercenung. Jeronimo datang pasti bersama Paloma. Ia ingin menguji apakah Coraima mengenali Paloma, begitu juga sebaliknya, tetapi melihat kondisi Coraima, sepertinya kali ini bukan saat yang tepat. Salvador mengikat tali jubahnya, lalu keluar kamar. Ia menutup pintu rapat-rapat. "Di mana dia?" tanya Salvador.
"Ada di bawah, di ruang tengah," jawab Benicio.
Salvador merapikan rambut dengan jemarinya, lalu ia turun menemui Jeronimo. Ayah angkat beserta istrinya sedang duduk di sofa. Jeronimo berdiri dan merentangkan tangan bersiap memeluk anak kesayangannya itu.
"Salvador, syukurlah kau baik- baik saja, Nak!"
Salvador balas merentangkan tangan dan mereka berpelukan. "Ya, ayah, aku baik- baik saja. Sebutir peluru tidak akan menyakitiku."
Paloma turut berdiri dan bergantian memeluk Salvador. "Tetap saja, Sal, mendengar kau tertembak, kami sangat cemas memikirkanmu."
"Yah, aku rasa eraku belum berakhir," kekeh Salvador.
"Kau ini!" cebik Paloma.
Jeronimo bereaksi gusar. "Kau selalu menggampangkan situasi, Sal. Saatnya kau mulai memikirkan siapa penerusmu dan juga mulai menghasilkan keturunan. Huh, kau terlalu lama bermain- main saja ke sana kemari tapi tidak ada satu pun yang membawa anakmu."
"Ayah, aku tidak mau berurusan dengan perempuan yang merepotkan dan ragu bisa mengasihi anakku kelak."
Paloma menyelanya. "Oh, tapi kau yakin dengan istri Godfreido sehingga kau memilih dia sebagai calon ibu anak-anakmu? Hmm, Sal, kau sangat berdedikasi."
Salvador tertawa dan berujar. "Katakanlah, Godfreido menyiapkannya untukku, Paloma. Kau akan mengetahuinya setelah melihatnya."
"Oh, ya? Di mana dia? Aku jadi ingin segera menemuinya."
"Di atas, sedang tidur."
"Tidur? Jam segini?" rutuk Jeronimo yang segera disikut Paloma.
"Ih, sayang, apa kau tidak mengerti? Itu artinya Salvador baru saja menidurkannya."
"Oh." Jeronimo berseloroh singkat. Sedikit ia terbawa emosi layaknya seorang ayah mertua ingin melihat calon menantunya. Ia sudah pernah melihat Coraima melalui foto, akan tetapi tetap saja perlu bertemu langsung dan melihat sendiri bagaimana aslinya wanita itu. Melihat wajah Salvador berbinar-binar, agaknya wanita itu menjalankan fungsinya dengan baik.
Paloma duduk lagi di sofa. "Kalau begitu, nanti sajalah aku menemuinya. Kau perlu menyiapkannya secara khusus, Sal agar wanita itu tahu dia tidak akan disia- siakan. Setelah itu, jika ia masih membencimu karena perbuatanmu pada Godfreido, dia perlu menata otaknya."
Jeronimo duduk kembali, begitu juga Salvador, duduk di sofa tunggal dan bersandar santai. Pelayan datang membawakan set minum teh, dan juga sepiring kue turron.
Teh dituangkan, mengepulkan uap panas tipis yang menyebarkan aroma kapulaga dan kayu manis. Warnanya cokelat keruh bercampur su.su kental. Aroma teh itu membuat Jeronimo antusias. Ia bergegas mencicipi minuman itu dan juga mencamil turron yang renyah. "Hmm hmmm, pas sekali ada kue dan teh ini di saat-saat seperti ini," katanya.
Paloma juga turut mencicipi. "Hmm, Teh Negro kali ini lebih berasa, Sal. Turron-nya juga. Baru kali ini aku menyantap yang seenak ini. Almondnya terasa, juga renyahnya. Karamelnya tidak merusak kerenyahannya. Kau menyimpan banyak kue ini? Jika masih ada, aku ingin membawanya pulang."
"Huahahaha." Salvador tertawa lepas. Berbangga hati ia memuji koki barunya. "Semua ini adalah resep Coraima. Jika ada makanan yang membuatku ingin kembali menyantapnya, maka itu adalah masakannya."
Jeronimo kelu. Bagaimanapun, sebagai laki-laki ia bisa memahami apa yang membuat seorang pria seperti Salvador senang. Ia mengunyah turron sampai habis dan juga meminum tehnya hingga ludes. Setelahnya mereka berbincang-bincang akrab.
"Apa kau ingin mengambil alih Os Bezos, Sal?" tanya Jeronimo.
"Tidak, Ayah. Biarkan saja mereka bisa bubar atau bergabung dengan klan lain, aku tidak ambil pusing soal itu. Yang jelas jika menyerang lagi, aku akan habisi mereka tanpa sisa. Lagi pula, polisi mengawasi gerak-gerik klan kita. Aku tidak ingin menarik perhatian sehingga nanti menghambat bisnisku dengan Sergio Montenegro. Orang- orang sudah melihat bagaimana kondisi Ruben Bezos dan itu cukup memberi mereka pelajaran untuk tidak membuat masalah denganku."
"Sal, kau jadi terlalu lembek sekarang," rutuk Jeronimo.
Salvador malah tertawa. "Ayah, zaman sekarang pertarungan kita bukan lagi bunuh- bunuhan, tetapi dengan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Kita matikan bisnis lawan agar semua orang berpindah ke kita. Setelah itu, desakan ekonomi akan membuat mereka mati dengan sendirinya dan mereka tidak punya pilihan lain selain menjual jiwa mereka pada iblis. Huahhaha."
Jeronimo berdecak tidak puas. Paloma membujuknya dengan gurauan. "Ah, sayang, begitulah humor gelap Salvador. Aku yakin maknanya orang-orang sekarang tidak sefanatik dulu. Mereka bisa menilai dan memilih sendiri pihak mana yang lebih menguntungkan. Media sekarang sulit dikendalikan, jadi sebisa mungkin Salvador harus main cantik agar publik tidak mengidentikkan klan kita dengan kelompok teroris."
Ucapan Paloma lebih bisa masuk akal bagi Jeronimo. Zaman sudah banyak berubah, hanya ia saja mungkin yang masih tidak bisa mengikuti pemikiran anak muda sekarang. Adapun ia merasa tenang karena Salvador juga santai- santai saja. "Aku ingin berkenalan dengan Coraima kapan- kapan dan bicara langsung padanya. Ia bakal melahirkan keturunanmu. Jika bisa aku juga tidak ingin menciptakan permusuhan dengannya."
Salvador berpikir sebentar. "Hmm, rencananya setelah sembuh aku akan membuat pesta jamuan. Kalian bisa datang hari itu sekalian menilai sendiri kemampuannya. Dia layak atau tidak. Saat ini aku sedang mencuci otaknya. Dia akan jadi wanita penurut dan berbakti pada suami."
"Baiklah, kalau begitu aku nantikan acara itu," ujar Jeronimo. Ia berdiri bersiap berpamitan. Ia memeluk Salvador sambil menasihatinya. "Jaga dirimu, anakku. Semoga Tuhan selalu melindungimu."
Jeronimo beranjak, giliran Paloma memeluk Salvador. Wanita itu bergumam meledek Salvador. "Mencuci otaknya atau kau sedang berusaha membuatnya jatuh cinta?"
Salvador terkekeh saja. Paloma memegang kedua tangannya dan menatap lekat wajah Salvador. "Sal, kau tidak bisa membohongiku. Aku mengawasimu tumbuh dewasa. Aku bisa melihat bagaimana jika suasana hatimu berubah. Dan saat ini aku senang melihatmu seperti ini. Kau sangat tenang, jauh berbeda dengan sebelumnya. Jika tertembak, kau akan langsung membasmi lawanmu tanpa ampun, tapi sekarang kau punya rencana yang lebih logis dan tidak anarkhis. Itu suatu kemajuan menurutku."
"Terima kasih, Paloma. Aku rasa aku sudah tiba di masa di mana aku ingin hidup lebih lama dan melihat anak- anakku tumbuh besar," ucap Salvador yang membuat Paloma tersenyum haru.
Jalan hidup orang tidak ada yang tahu. Hari ini, besok, atau sedetik kemudian, jika Tuhan berkehendak, siapa saja bisa berubah. Sosok Salvador sebagai penyelamat dalam kebakaran itu kemudian menjadi anak angkat Jeronimo, memberi harapan pada Paloma bahwa Corazon, anak angkatnya, juga selamat dan aman di suatu tempat serta mendapat limpahan kasih sayang dari orang yang menemukannya. Jika dia masih hidup, usia Corazon sudah matang dan mungkin sekarang sudah menikah dengan seseorang, atau bahkan sudah beranak pinak.
Paloma nyaris meneteskan air mata yang segara diusapnya. "Aku pulang dulu, Sal. Aku harap kau segera sembuh dan aku bisa melihat calon ibu anak-anakmu itu."
"Ya, Paloma, doakan saja secepatnya," sengir Salvador.
Kedua orang itu meninggalkan kediamannya. Salvador melepas kepergian mereka di teras rumahnya. Setelah tidak tampak lagi mobil rombongan Jeronimo, Salvador mengernyit kesakitan.
"Ouch!" erangnya seraya menyentuh pundak kanannya.
Benicio menghampirinya sambil melirik jam tangan. "Dokter Guinan akan tiba sebentar lagi, Sal. Aku tidak tahu lagi bagaimana menjelaskan pada Dokter Guinan kalau kau sendiri yang tidak menjaga cederamu."
Salvador mendengkus saja padanya. Ia lalu masuk ke dalam rumah dan duduk berselonjor di sofa sambil menonton televisi. Benicio duduk formal di dekatnya menjelaskan melalui gawai draft kerja sama klan Torres yang bernaung di bawah nama perusahaan Torres Inc dengan Clearo, perusahaan penyelenggara balap F1 milik Sergio Montenegro. Ia dan Sergio akan berbagi saham 50:50, yang artinya ia dan Sergio memonopoli kompetisi balap tersebut. Perusahaan lain jika ingin ikut harus bergabung dengan Torres Inc. Torres Inc menjadi perusahaan raksasa yang semakin gemuk dengan cara kapitalis.
Setelahnya, Salvador menanyakan soal Perusahaan Reyes.
"Tanda tangan Tuan Reyes di surat- surat itu sudah dicek dan kemiripannya 99%, jadi kita tidak khawatir diduga pemalsuan, Sal. Tinggal tanda tangan Nyonya Reyes saja lagi."
Salvador mangut-mangut. Nanti setelah Coraima bangun, ia akan mengajaknya bicara di ruang kerja dan menjelaskan rencananya pada Coraima. Jika hati wanita itu sudah condong kepadanya, tentunya tidak susah membuatnya bekerja sama.
Dokter Guinan datang dan Salvador harus menyerahkan dirinya diperiksa pria itu. Dokter Guinan membuka perbannya dan berdecak sambil geleng-geleng. "Sal, sudah kubilang 'kan, kau jangan banyak beraktivitas dulu sampai lukamu benar- benar tertutup," omelnya.
Salvador malah merengut dan menyahut tanpa rasa sesal. "Dokter, ini bukan salahku. Ini salah Coraima. Dia tidak puas sekadar berdiam diri bersamaku!"
Dokter Guinan terperangah. "Bagaimana bisa ini salahnya, Sal? Kamu ini mengeles saja! Kalau begitu kau kusuntik penenang saja biar kamu yang diam!" ancam Dokter Guinan.
Salvador mencibirnya. "Kalau begitu Anda malpraktik namanya."
Dokter Guinan meringis sebal dan cepat- cepat membungkus luka Salvador. "Kau ini! Huuuuh!"
Salvador mengulum senyum. Ia melirik ke kamar atas di mana Coraima berada. Dalam hati berujar, tidur nyenyak, mi Corazon karena setelah kau bangun aku akan kembali mengisimu.
*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea
Share this novel