29. I'm Not Her

Romance Completed 10892

Lagu Recuerdame bisa kalian nikmati di you.tube. Ost. Coco, dinyanyikan oleh Carlos Rivera. Kalian bisa sekalian menikmati senyum manis "Salvador".

***

Pikiran pria sangat sederhana. Jika mereka tidak berburu di luar, mereka berada di rumah ingin melakukan pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu istirahat, makanan yang enak, dan kepuasan raga. Nafsu mereka menjadi lebih besar jika mereka tidak melakukan apa- apa. Salvador melangkah bersemangat menuju kamarnya untuk melanjutkan aksi me.sum.

Tiba di lantai dua, ia berpapasan dengan Latanza yang membawa Valentina keluar kamar. Anak itu menangis. Latanza kelabakan ingin masuk lagi ke kamar karena khawatir Salvador marah atas keributan itu, akan tetapi Salvador malah memanggilnya. "Latanza, kenapa lagi anak ini? Setiap hari tambah cerewet," omel Salvador.

"Da ...da...," rengek Valentina seraya menjangkau tangannya pada Salvador, tetapi Salvador mengabaikannya.

Sambil menimang Valentina, Latanza menjawabnya. "Dia semakin besar, Tuan, sudah punya banyak keinginan dan juga tidak bisa berada di kamar terus."

"Kalau begitu bawa dia jalan- jalan!" suruh Salvador.

"Sudah, Tuan. Sekarang Valentina mengantuk dan sepertinya ingin ditimang ibunya."

Bibir Salvador mengernyit kecut. "Ibu yang mana maksudmu?"

"Nyonya Coraima, Tuan."

"Hhh ...." Salvador mendesah panjang. Salvador kesal. Kalau begini, gagallah sudah rencana mengisi ulangnya. Ia mengambil Valentina dari Latanza. "Sini! Biar kubawa dia pada Cora."

Latanza menyerahkan anak itu meskipun agak ragu. Tangis Valentina sedikit reda setelah digendong Salvador.

Valentina bersungut ke pundak Salvador yang membuat Salvador mendesis. "Hissh, kau mau membuat bahuku berdarah lagi, huh? Tidak boleh!" rutuknya lalu memindah Valentina ke lengan sebelah kiri. Anak itu malah tertawa gelak dan terlihat dua gigi depannya di gusi merah muda. Ditambah pipi yang tembam kemerahan, mata bulat berbinar, Valentina sangat menggemaskan.

Salvador mendengkus tidak suka. Ia bergegas ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang mengasuh Valentina. Coraima berbaring menyamping, ia mengubit pundaknya. "Cora! Bangun, Cora!" seru Salvador.

Wanita itu mengerang tanpa membuka matanya. "Aduh, Sal ..., aku sangat mengantuk. Kau mau apa lagi? Aku masih lelah."

"Bukan aku yang perlu kamu, tapi ini, Valentina."

Coraima menoleh mengerjap- ngerjap. "Hah? Apa? Kenapa Valentina?"

Salvador menurunkan Valentina di ranjang dan anak itu merangkak menuju induk semangnya.

"Mama!" ucap bayi itu. Valentina meraba ke da.da Coraima, sehingga selimutnya tersibak dan memperlihatkan muara buah pengasihnya.

Coraima bergegas menyedekap selimutnya. "Tidak, dulce bebe, aku tidak bisa menyusuimu."

"Huaaa hu hu hu ... " Valentina menangis, bergulung-gulung di tengah ranjang.

"Ribut sekali," gerutu Salvador.

Coraima beringsut duduk, memeluk Valentina seraya menepuk- nepuk pantatnya. "Tolong ambilkan dot Valentina, Sal," pinta Coraima dengan suara mendesah malas.

Salvador terperangah. "Aku? Jadi, aku harus melayani bayi ini juga?"

Coraima menyahut tak kalah gusarnya. "Lalu kau ingin aku yang mengambilnya? Kau ingin aku merangkak keluar? Kakiku lemas. Siapa yang membuatku begini?"

Salvador menatap langit- langit seolah mendapat pencerahan. Oh, jadi seperti inikah jika aku menjadi ayah? Hissh, repotnya! Mana anak Godfreido pula! Beh! Pria itu pasti sedang menertawakannya di alam baka sana.

Ia menarik napas dalam- dalam, menyabarkan diri. "Baiklah," katanya lalu beranjak ke pintu. Dari ambang pintu ia memanggil Latanza. "Latanza! Latanza!"

Pelayan itu tidak langsung muncul, terpaksa Salvador turun dan memanggil- manggil Latanza di lantai dasar. "Latanza!"

Pelayan itu menyahut dari arah dapur. "Ya, Tuan, saya datang!" Ia tergopoh- gopoh mendatangi Salvador sambil mengocok dot. "Sebentar, sedang membuatkan dot Valentina, Tuan. Tadi mensteril botolnya dulu."

"Sini!" dengkus Salvador, merebut botol itu dari tangan Latanza, selanjutnya bergegas kembali ke kamarnya. Ia ingin Valentina lekas tidur agar ia bisa melanjutkan kesenangannya bersama Coraima.

Mendapat dotnya, Valentina segera menyedot lahap hingga terengah-engah. Coraima membaringkan Valentina di sisinya sambil menepuk-nepuk dan menyanyikan lagu pengantar tidur. Mata Coraima sendiri mengerjap-ngerjap karena sangat mengantuk.

Salvador merengut di tepi ranjang. Ia menggerutu, "Sekarang anak ini juga tidur di ranjangku. Huh, keterlaluan!"

Coraima menyahut malas-malasan. "Yang membawa kami ke sini siapa? Sudahlah, berhenti jadi egois dan biarkan kami tidur. Aku akan memasak untukmu setelah energiku pulih. Jadi, tolong jangan ganggu kami."

Salvador ingin menyahut, tetapi melihat Coraima nyaris setengah sadar menidurkan Valentina, ia pun mencoba menahan diri. Ia ikut berbaring di ranjang itu, walaupun badan sekaku batang kayu. Ia diam saja sampai nyanyian Coraima tidak terdengar lagi, berganti embusan napas lembutnya berbarengan napas Valentina. Keduanya terlelap, bahkan mulut Valentina sedikit terbuka belepotan cairan minumannya.

Salvador mengambil dot dari tangan Coraima lalu meletakkan barang itu di nakas. Ia kembali berbaring memandangi Coraima, perlahan-lahan merapikan helaian rambut yang membingkai wajahnya, kemudian ia bangun sedikit memberikan kecupan di kening Coraima. Wanita itu tidak terusik membuat Salvador sadar Coraima benar-benar kelelahan. Salvador senyum- senyum sendiri. Rasanya seperti bermain bersama lagi, tetapi sekarang sebagai suami sungguhan dan bayinya juga bayi sungguhan. Ternyata benar-benar merepotkan.

Namun, setelah kerepotan itu, terlihat rona bahagia di wajah Coraima. Berada dalam suasana sedamai itu, Salvador jadi mengantuk dan akhirnya ia juga tertidur.

***

Lagi- lagi, bangun dari tidur bersama, Coraima disuguhi pemandangan menakjubkan. Seorang pria berwajah bengis, badan penuh tato dan kulit rusak, tetapi seorang gadis mungil meringkuk damai di sisinya. Keduanya tanpa sadar mendempet sama- sama nyaman sehingga tidur sangat nyenyak. Coraima teringat harus memasak. Ia meninggalkan kamar itu setelah memunguti bajunya.

Di luar kamar, Coraima baru menyadari hari sudah malam dan satu setengah jam lagi adalah jam makan malam. Selama bersama Salvador, jadwal tidurnya kacau. Coraima tidak suka demikian karena perasaannya ikut kacau. Ia ke kamarnya dan mandi menyegarkan badan sekaligus pikirannya.

Coraima berpenampilan menawan mengenakan gaun rumahan panjang selutut bermotif bunga-bunga, ia ke dapur untuk memasak hidangan makan malam. Ia mengecek stok bahan makanan dan masak memasak banyak yang habis. Setelah mendapatkan semua bahan yang diperlukannya, Coraima ke dapur menata bumbu, kentang, dan telur. Ia akan membuat tortilla espanola.

Tortilla espanola adalah telor dadar ala Spanyol. Makanan ini mirip dengan omelette, tetapi berbahan dasar kentang dan telur. Kentang yang sudah dicuci bersih akan ditumbuk dan dimasak menjadi satu dengan paprika, bawang, dan telur. Tortilla espanola dapat dinikmati sebagai menu sarapan, makan siang, ataupun makan malam. Lembutnya adonan dan cita rasa bahan campurannya meningkatkan kelezatan makanan ini.

Benicio mampir ke dapur karena mengendus aroma sedap. "Nyonya, apa yang Anda masak?" tanyanya.

"Tortilla espanola," jawab Coraima semringah karena melihat air muka Benicio sangat bersemangat. Coraima memindah tortilla yang sudah masak ke piring lalu ia mengisi loyang dadar dengan adonan lagi. Suara desisan, asap tipis, dan dentingan peralatan memasak menjadi suara yang menggelitik saraf- saraf. Terasa sangat menyenangkan.

Benicio duduk di kursi pantri seakan menunggu gilirannya mendapatkan sajian. Coraima berbicara padanya tanpa sungkan lagi. "Salvador sering kali menyebut nama Corazon. Ada hubungan apa Salvador dengan wanita itu?"

Kening Benicio berkerut dalam. "Entahlah. Saya kira itu hanya panggilan sayangnya pada Anda, Nyonya. Mungkin ia juga menyebut demikian pada pacar- pacarnya terdahulu. Saya tidak terlalu memperhatikan."

"Oh," seloroh Coraima. Kemudian ia mengganti pembicaraan. "Stok bahan makanan menipis, aku harus berbelanja. Bisakah besok aku pergi keluar?"

Benicio tersenyum tipis. "Kami sudah punya langganan, Nyonya. Tinggal ditelepon saja, mobil pengantar akan datang membawa semua bahan yang diperlukan dan saya jamin semuanya kualitas terbaik."

Lidah Coraima kelu, hanya bisa menelan ludah. Luar biasa sekali pengaturan di kediaman Salvador. Coraima lanjut memasak dan tidak bicara lagi. Ia memikirkan kemungkinan alasan apa agar bisa melihat dunia luar. Tanpa sengaja, minyak panas terpercik ke punggung tangannya, membuat Coraima terpekik. "Kyaah!"

"Nyonya? Kenapa, Nyonya?" Benicio tersentak. Ia melompati meja pantri demi berada di sisi Coraima dan memeriksa apa yang terjadi.

Coraima segera menyapu percikan itu ke celemeknya. "Tidak apa-apa, Tuan Benicio. Hanya percikan kecil." Kemudian ia memperlihatkan bekas kemerahan di punggung tangannya pada Benicio dan sedetik kemudian suara dehaman keras terdengar.

"Ehmm! Ehemm!"

Coraima dan Benicio menoleh ke sumber suara. Salvador datang ke dapur membawa Valentina yang digendongnya sedang bersandar sambil mengemut tangan.

Benicio berjalan tenang ke kursinya tadi.

Coraima buru-buru mengecilkan api lalu mendatangi Salvador. Ia menjemput Valentina. "Dulce bebe, kau sudah bangun rupanya. Kau tidak menangis? Anak pintar."

Salvador malah menjauhkan Valentina dari Coraima. "Selesaikan dulu memasaknya, baru kau pegang Valentina. Kalau dia kena percikan minyak, siapa yang bakal kerepotan?" omelnya.

"Ya, ya, baiklah." Coraima bergegas memutar balik badan ke kompor lagi, lanjut memasak.

Salvador berteriak lantang sekaligus melepaskan kekesalannya setelah melihat Coraima dan Benicio berduaan. "Latanza! Latanza!"

Pelayan itu berlari kecil sambil menyahut. "Ya, Tuan?"

"Ini! Urus Valentina!" gerutu Salvador.

Latanza menerima anak itu lalu membawanya ke kamar atas. Salvador mendatangi pantri, duduk sambil menatap tajam Benicio yang memperhatikan saksama Coraima memasak. "Apa yang kau lakukan di sini?" tuding Salvador, bertepatan Coraima berbalik seraya membawa dua piring tortilla.

"Makanan sudah siap!" Coraima menaruhnya di depan Salvador dan Benicio. Ia berbalik lagi mengambil satu piring bagiannya.

Benicio bersemangat sekali menerima jatahnya hingga mengabaikan Salvador, membuat Salvador semakin geram. Mereka sering makan bersama, tetapi untuk kali ini Salvador ingin ia seorang yang jadi pusat perhatian. Coraima hendak berdoa makan, segera diselanya. "Aku ingin makan di ruang makan, Cora!"

"Ya, ya, baiklah." Coraima membawa kedua piring mereka ke ruang makan.

Salvador duduk di kursinya dan makan disuapi. Ia bisa saja makan sendiri padahal. Coraima menggerutu, "Kau benar-benar seperti bayi, Sal."

"Setelah ini aku tunjukkan bagian dewasanya," seringai pria itu.

"Oh, astaga!" seru Coraima yang jadi pusing tujuh keliling karena begitu selesai makan, Salvador menjadikannya makanan penutup. Renda tirai surganya teronggok di kolong meja. Pria itu membuatnya membungkuk di meja dan menyajikan kemanisan surganya untuk diseruputnya sesuka hati.

Coraima pasrah diperlakukan senafsu itu. Pandangannya ke sekitar nanar, wajahnya memerah karena panas tubuh seperti berada di depan tungku. Bibirnya tak terkendali menyebut nama penikmat surganya. "Sal ...."

"Hmm? Jangan berteriak dulu, sayang. Kita belum sampai ke bagian terbaiknya," ujar Salvador yang sedetik kemudian memanggil ajudannya. "Benicio! Benicio!"

Benicio yang berada di dapur segera datang. "Ada apa, Sal?" tanyanya seraya berusaha keras tidak memperhatikan Coraima. Wanita itu juga berpaling menyembunyikan wajah malunya.

"Ambilkan es krimku!" titah Salvador.

Tanpa bersuara lagi, Benicio lekas ke dapur dan kembali untuk menyerahkan ember es krim Salvador. Perlahan-lahan ia menyingkir dari situ, tetapi sempat memperhatikan.

Salvador menyendok es krim dan memasukkannya ke muara indah Coraima.

"Aah, Sal!" pekik halus Coraima oleh rahimnya berkontraksi akibat rasa dingin membeku. Ia berpegangan erat ke tepi meja, tubuh menggeliat bagai cacing kepanasan. "Salvador!" desahnya ketika merasakan seruput rakus mulut pria itu. Inti yang dingin berangsur-angsur menghangat dan es krim meleleh dengan cepat.

"Sal!" engah Coraima sepanjang lidah pria itu melalap sekeliling rongga sucinya sekaligus menyantap makanan kegemarannya. Decap- decap menyahuti panggilan pasrahnya.

Salvador menyeringai. Ia pegang kedua sisi punggul Coraima dan bicara padanya dari mulut ke bibir surga. "Mari kita ke bagian terbaiknya, sayang." Ia kecup bibir surga itu, lalu duduk bersandar santai seraya menarik pinggul Coraima agar duduk di pangkuannya, tentu saja sekaligus memasang pasaknya.

"Aaah!" erang lepas Coraima merasakan dirinya diisi sepenuhnya hingga rahim berdenyut-denyut menggila.

Salvador meremas pantat wanita itu. "Bergeraklah, Cora!" titah Salvador dengan rahang terkantup.

"Hiks!" isak Coraima merasa sumpek dijejali milik Salvador, akan tetapi perlahan ia bergerak, kepadatan pasak itu menjadi gesekan yang menimbulkan arus impuls- impuls kenikmatan. "Hmmph ..., Salvador ...," lirih tercandu Coraima. Pria itu cukup duduk terkekeh saja sementara ia menyiksa diri mengindik secepat mungkin di pangkuannya.

Meja makan panjang dan besar itu berderak- derak mengikuti gerakan Coraima. Rasanya sangat ja.lang berada di tengah ruangan terbuka mempertontonkan kerakusannya pada candu Salvador. Ia ingin ledakan terdahsyat yang akan mengakhiri siksaan berahinya. Coraima memelas, "Sal, kumohon, beri aku semburan milikmu, Sal. Tolonglah, aku membutuhkannya!"

Salvador juga sudah nanar keenakan. Ia bangkit dari kursi sembari mendorong Coraima kembali melekap di meja. Ia membungkuk menindih belakang Coraima dan berbisik padanya. "Apa pun untukmu, mi Corazon."

Coraima memejamkan mata mendapat deburan-deburan keras bunga api keperkasaan Salvador. Ia terisak-isak terlalu bahagia, sekaligus terasa nyeri di sudut hatinya. Apakah Salvador senafsu ini padanya karena membayangkan perempuan bernama Corazon itu? Siapa dia? Bagaimana dia bisa membuat seorang Salvador Torres terobsesi dengan cara seromantis ini?

Ooh, tidak enak rasanya diperlakukan sebagai pengganti semata. Sialan! Godfreido, kenapa kau meninggalkanku begitu cepat tanpa kita pernah bersama bercin.ta segila ini? Seperti cara Salvador bercin.ta denganku. Jika saja pernah, aku tidak akan sepolos ini menerima kepuasan batin dari pria yang mengambil segalanya dari hidupku.

Salvador mendesah puas tatkala masih menindih Coraima kemudian ia bertanya penuh perhatian. "Cora, kau bisa berdiri, sayang?"

"Entahlah," jawab lirih wanita itu.

Salvador tidak memperhatikan sorot sendu di mata Coraima. Ia menegapkan tubuh seraya memapah Coraima berdiri lalu berjalan membawanya ke kamar dekat dapur. Sampai di ranjang, Salvador merebahkan Coraima sekaligus ia juga menjatuhkan diri di sisi wanita itu.

Ia mengusap sekeliling wajah Coraima, mengenyahkan sisa peluh juga merapikan rambutnya. Coraima membisu meski menatapnya penuh tanda tanya bercampur getir. Ia cukup paham semua itu pasti karena Coraima masih terkenang Godfreido. Salvador menciumi seluruh bagian wajah Coraima sambil bersuara lembut. "Aku mengambil kembali apa yang menjadi hak milikku. Sejak semula kau tidak pernah milik Godfreido, sayang. Kau itu milikku, sejak dulu milikku ..."

Tapi itu bukan aku. Itu perempuan lain.

"...Corazon- ku."

Aku Coraima, Sal. Bukan Corazon.

*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience