Sekarang Coraima lancar berbicara, sebenarnya sedikit merepotkan Salvador. Kenapa wanita harus banyak protes dan ingin mengatur- aturnya? Seolah, dia selalu cari- cari alasan untuk mengelak darinya. Tapi sangat menyenangkan mendengar suara Coraima memelas saat terangsang dan juga saat memberi arahan memasak. Jika Coraima fokus pada masakan, dia tidak tampak membenci, sedih, ataupun marah, melainkan seseorang yang bersungguh- sungguh ingin menyajikan yang terbaik. Mungkin karena itu juga penyebabnya masakan Coraima benar-benar lezat hingga ingin menghayati setiap gigitan dan detail rasa bahan makanan.
"Humm, hmm ...," dengung Salvador saat melumat volovanes. Kue scone yang habis sekali mangap itu mengeluarkan rasa krim gurih lembut, berpadu manis wortel serta krispi daun selada, kemudian tekstur empuk daging udang berbumbu, membuat Salvador mengunyah penuh penghayatan. Selagi duduk telanjang setelah bercin.ta, kelezatan makanan yang dilahapnya adalah kenikmatan level yang berbeda.
Ia mengambil satu volovanes lagi lalu menyikut Coraima yang berbaring memunggunginya, mengenakan sehelai selimut satin yang jatuh di lekukan tubuh telanjangnya. "Cora, kau tidak mau makan ini? Rasanya sangat enak, sayang."
Coraima diam saja, malah menyilangkan tangan merapatkan selimut lalu memejamkan mata berlagak ingin tidur. Coraima tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tadinya ia masuk ke kamar Salvador berpakaian lengkap sebagai chef profesional, sekarang malah berakhir telanjang dan tidur di ranjang Salvador bagai pela.cur kegemaran bos gangster.
Coraima mendengar pria itu terkekeh lalu suara krauk- krauk kulit udang yang hancur oleh kunyahannya. Coraima berusaha menyabarkan diri. Ia marah pada dirinya sendiri karena menikmati percintaan kali ini. Ia tidak pernah berhubungan badan dengan Godfreido, membuatnya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika bersama Godfreido, apalagi membandingkan perkasa mana antara Salvador dan Godfreido. Sialan! Soal romantisisme ia bisa membayangkan Godfreido, tetapi soal seks ... hanya Salvador yang jadi referensi.
Pria itu menyikutnya lagi, lebih keras, sehingga jika ia tidur, pasti terbangun. Coraima bersikeras menutup mata dan mengatup mulut rapat-rapat. "Serius, Cora? Kau tidak lapar setelah keluar 5 kali?" goda Salvador.
Coraima mendelik. "Kau menghitungnya?"
"Tentu saja. Wajahmu membuat eskpresi pasrah itu setiap keluar. Kau menyukainya, 'kan?"
Coraima tidak bisa membantah. Ia kembali memunggungi Salvador dan merapatkan selimut lagi, meskipun itu tidak ada gunanya. Jika Salvador ingin, baju zirah pun akan ditembusnya. Apalagi ia sudah tepar tanpa pakaian. Namun, pria itu sedang menyantap makanannya dengan santai di tempat tidur.
Salvador perlu asupan kalori besar sehingga ia makan sangat lahap. Sambil berbicara pada wanita yang tidak mau diajak bicara. "Aku akan pergi ke pemakaman Chef Emanuel siang ini. Ia akan dikremasi. Ia dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Aku tidak ada kaitan dengan kematiannya, jadi kau tidak perlu khawatir, Cora."
Coraima gusar sehingga akhirnya duduk bangun dan mencecar Salvador. "Siapa yang mengkhawatirkanmu? Demi Tuhan, kau pantas ditangkap polisi dan dijatuhi hukuman mati atas perbuatanmu itu."
Salvador terperangah seolah bukan ia penembak Chef Emanuel. "Coba dipikirkan lagi, jika Chef Emanuel memegang senjata yang digunakannya untuk membunuhku, aku sebenarnya membela diri," tampiknya.
"Oh, ya Tuhan ...." Coraima tertunduk memijat keningnya. Bagaimana bisa pria ini membuat dirinya adalah korban dari segala situasi? Coraima menarik napas dalam, kemudian berusaha menatap Salvador untuk mengajukan permintaan. "Aku perlu pergi ke gereja. Aku ingin berdoa untuk suamiku dan juga Chef Emanuel."
Bola mata Salvador mendelik ke atas. Suamiku? Huh, Coraima sedang berusaha memancing emosinya atau apa?
Salvador kemudian berujar gusar. "Ini bukan saat yang tepat. Kau masih terjadwal bulan madu bersama Godfreido. Bagaimana jika ada yang mengenalimu? Kau mau merusak rencanaku? Atau mau cari kesempatan kabur? Awas saja, kalau kau kabur, ada Valentina dan kedua orang tuamu, dan peluruku akan bicara lebih nyaring dari mulutmu."
Coraima merapatkan rahang sambil menghela napasnya. Ia berusaha tidak marah, tapi jadi ikut bersuara dinaikkan. "Aku benar-benar ingin berdoa, langsung di hadapan Tuhan."
"Lakukan di sini saja! Kau bisa menyuruh Latanza menyiapkan kapel untukmu berdoa."
"Ya ampun, aku juga perlu siraman rohani dari Bapa. Aku tidak bisa tertekan seperti ini."
"Tertekan? Oh, yang benar saja! Kau bicara sangat lancar dan bahkan orgasme setiap saat. Di mananya kau tertekan?"
Coraima langsung kelu. Antara logikanya dan logika Salvador benar-benar tidak sejalan. Sejurus kemudian ia berujar salah tingkah. "Setidaknya izinkan aku menelepon Mami dan Papi. Untuk tahu mereka benar baik- baik saja atau semua ini hanya settingan yang kau buat demi kepentinganmu sendiri."
"Nanti, setelah aku kembali dari acara Chef Emanuel!" sahut Salvador. Ia bergegas menyelesaikan makannya lalu mereguk mosto habis segelas langsung. Ia melenggang menuju kamar mandi.
Coraima beringsut turun dari ranjang, melilit tubuhnya dengan selimut, lalu membungkuk hendak memunguti pakaiannya. Ia ingin pergi dari kamar Salvador.
Namun, tahu- tahu pria itu kembali ke kamar dan meraup semua pakaiannya. Seraya menyengir licik, ia berkata, "Jika kau ingin pakaianmu kau bisa ambil di kamar mandi atau kau bisa keluar dari sini tanpa pakaian sehelai pun. Huahahaha ...." Ia tertawa sambil menuju kamar mandi.
"Dasar orang gila!" Coraima mendengkus keras dan memandanginya saja. Setelah Salvador masuk ke kamar mandinya, Coraima meninggalkan kamar itu mengenakan selimut Salvador. Ia berlari kecil diiringi pandangan mata para pelayan, juga Benicio yang memantau dari lantai dasar.
Coraima masuk ke kamarnya lalu bergegas mandi bersih. Ia kelelahan sebenarnya, tetapi terlalu dini untuk tidur. Mengenakan pakaian rumahan yang apik, Coraima mendatangi Valentina dan menghabiskan waktu bersama anak itu. Ia membawa Valentina ke teras samping dan duduk di kursi gantung mengasuhnya. Sambil berayun-ayun, ia melihat rombongan mobil sedan serba hitam berarak meninggalkan halaman ranch. Rupanya Salvador pergi bersama iring iringan anak buahnya.
Tanpa Salvador di rumah itu, aura depresi sangat berkurang bagi Coraima. Ia bisa leluasa bermain bersama Valentina. Anak itu mulai merangkak dan sering tersenyum memperlihatkan bakal gigi depannya.
Mereka makan bersama. Ketika siang semakin tinggi, Coraima tidur siang bersama Valentina. Menjelang senja, mereka bangun dan Coraima menyiapkan makan malam. Dokter Guinan datang untuk memeriksa lukanya.
"Sudah lumayan bagus. Lukanya mengering dan mulai tertutup. Saya rasa selanjutnya tidak perlu diperban lagi, tapi jaga saja jangan basah dan jangan mengerjakan pekerjaan berat dulu."
"Baik, Dokter. Tidak masalah. Bagaimana dengan Valentina?" ujar Coraima seraya menyorong Valentina ke hadapan Dokter Guinan.
Dokter Guinan memeriksa perut anak itu dengan stetoskopnya. "Tidak ada masalah. Kemarin benar-benar penyesuaian lambungnya saja karena jenis makanan baru."
"Oh," seloroh Coraima kecewa. Jika Valentina perlu periksa ke rumah sakit 'kan setidaknya ia ada peluang menghirup udara segar.
"Baiklah, Nyonya. Kalau tidak ada apa- apa lagi, saya pamit pulang dulu." Dokter Guinan mulai merapikan barang bawaannya.
"Bagaimana dengan Esmeralda? Anda tidak memeriksanya?"
"Saya rasa perawatnya tidak ada melaporkan perubahan. Saya akan memeriksanya jika Tuan Salvador memerintahkan, Nyonya."
"Oh."
Dokter Guinan lanjut bersiap pulang. Coraima menyelanya lagi.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya, Dokter? Setahu saya orang koma tidak seperti itu. Apa dia lumpuh?"
"Sukar dikatakan dia lumpuh karena pemeriksaan saraf dan otaknya tidak ada masalah. Sangat mungkin karena reaksi obat- obatan yang mengganggu fungsi geraknya. Sejauh ini penelitian soal ini sangat minim dan sangat eksperimental. Saya berusaha yang terbaik untuk membantunya pulih, tetapi saya rasa Anda bisa melihat sendiri, agak susah memang jika berurusan dengan keluarga organisasi seperti ini."
"Terima kasih atas penjelasannya, Dokter," ucap Coraima semringah. Ia hanya berusaha mengakrabkan diri dengan Dokter Guinan. Coraima yakin jika orang rumah banyak mendukungnya, kepercayaan Salvador padanya juga akan bertambah.
Coraima mengantar Dokter Guinan sampai teras depan. Dokter itu pulang, dan Coraima tercenung sesaat memandangi langit yang menggelap.
Salvador berjanji sekembalinya dari pemakaman, ia bisa menelepon Mami dan Papi. Namun, pria itu tidak pulang juga. Salvador tidak mungkin menghadiri pemakaman Chef Emanuel selama ini, bukan?
Coraima mengembus kecewa. Ingin rasanya ia memeriksa kamar Salvador. Mungkin ponselnya ada di sana.
Coraima masuk ke dalam rumah, niatnya hendak menyusup ke kamar Salvador, tetapi malah dia terperanjat melihat Benicio berlari melintasi ruang tengah dan buru-buru menyalakan televisi layar lebar di ruangan itu.
Televisi menayangkan berita darurat terjadi perang gangster di tengah kota Madrid, tepat di rumah pemakaman penyelenggara kremasi Chef Emanuel.
Benicio berseru nyaring. "Semuanya, kalian harus melihat ini!"
Coraima otomatis menonton tayangan itu. Pelayan dan petugas lain berdatangan ke depan televisi, juga Latanza yang membawa serta Valentina.
Tampak rekaman langsung diambil melalui ketinggian menggunakan drone. Penyiar berita menjelaskan situasi di bawah sana.
Terjadi baku tembak antara dua kelompok gangster Torres dan Os Bezos. Di sekeliling bangunan bergaya Eropa Kuno tersebut, mobil- mobil sedan terparkir tidak karuan, orang-orang menggunakannya untuk berlindung dari peluru lawan. Banyak tubuh- tubuh bergelimpangan, tewas di tempat atau terluka parah karena luka tembak. Darah berceceran dan terciprat ke sekitarnya. Letusan tembakan bersahutan tanpa henti bak ladang pembantaian.
Semua orang tegang dan ketakutan menyaksikan hal itu. Mereka berdiri mematung, pucat pasi, dan kedua tangan terkepal memanjatkan doa. Kecuali Coraima. Dia membisu karena terpikir mungkin itulah jalan keluar untuknya bisa lepas dari Salvador. Pria itu akan membayar semua perbuatan keji yang dilakukannya. Ia sangat berharap kejadian itu adalah akhir dari Salvador Torres.
Namun, kebanyakan para pelayan rumah, terutama yang wanita, malah menangis sesenggukan. "Ya Tuhan, lindungilah Tuan Salvador. Jangan sampai dia kenapa- kenapa, ya Tuhan. Tolong, kembalikan Tuan Salvador ke rumah dalam keadaan tidak kurang apa pun."
Mereka semua berdoa untuk keselamatan Salvador. Coraima keheranan. Latanza bahkan mengomeli Benicio seraya memukuli lengannya. "Tuan seharusnya ikut mendampingi Tuan Salvador. Tuan bisa membantu dan memastikan Tuan Salvador selamat."
Benicio mendesah gusar. "Salvador tidak menyuruhku ikut. Ia memintaku tetap di rumah menjaga kalian semua!"
"Huuu, hu hu huk hu ...." Latanza pergi ke pojokan dan menangis berderai- derai. Valentina yang bersamanya turut menangis karena merasakan hawa kesedihan pengasuhnya.
Coraima mendekatinya dan mengambil alih Valentina. "Biar aku menggendongnya, Latanza," katanya.
"Terima kasih, Nyonya,," sahut Latanza seraya mengusap air mata yang membasahi wajahnya, lalu menangis lagi. "Hu hu hu ...."
"Kenapa kau sesedih ini?" keluh Coraima. "Maksudku bukankah bagus jika Salvador kalah, kita bisa bebas dari kekejamannya."
Latanza terperangah mendengar ucapan Coraima. "Nyonya, jika Tuan Salvador kalah, maka Os Bezos akan menyerbu ke sini dan mengambil alih semua kepemilikan Tuan Salvador. Semua orang di rumah ini akan dibantainya tanpa kecuali, dan jika perempuan secantik Nyonya bisa jadi diambil alih Ruben Bezos, atau dijadikan hiburan anak buahnya dengan memerkosa beramai- ramai."
Coraima terhenyak menyadari hal itu, tetapi ia lekas berkilah. "Aku yakin polisi akan menangani hal ini. Para gangster akan ditangkap, semua asetnya disita pemerintah, dan tahanan seperti aku akan dikembalikan kepada keluarganya."
Latanza menggeleng menampik ucapan Coraima. "Bagi kami tidak ada kehidupan lebih baik selain bersama Tuan Salvador, Nyonya. Ia membawa orang ke dalam rumah ini berarti orang itu adalah keluarganya. Meskipun aturan Tuan Salvador sangat keras, itu juga untuk melindungi yang lainnya. Tuan Salvador tidak pernah setengah-setengah menolong orang, bahkan dengan risiko kehilangan nyawanya sendiri, karena itu kami siap mengabdi dan mengorbankan hidup kami untuk Tuan Salvador."
Coraima tidak bisa berkata-kata lagi. Latanza sudah sekian lama bersama klan Torres, Salvador pasti sudah mencuci otaknya, bahkan bisa jadi menjejalkan obat dalam tubuh mereka, seperti yang Salvador lakukan padanya.
Benicio menelepon anak buah dan setelahnya suasana jadi semakin menyesakkan. "Salvador tertembak," ujarnya lirih saat mengumumkan.
Sontak berita itu membuat suara tangis semakin keras dan doa- doa semakin gencar disenandungkan. Benicio tertunduk diam menahan amarah.
Coraima menjauh sambil membawa Valentina. "Silakan lanjutkan berdoa. Aku akan makan malam bersama Valentina lalu kami tidur."
Selanjutnya Coraima tidak mempedulikan yang lain. Ia berkutat di area dapur saja sambil mengkhayal jika Salvador nanti mati. Ia akan kabur dari kediaman itu dan kembali ke Cuddilero, lalu hidup tenang di sana. Hal yang disayangkan dari hidup bersama Salvador adalah dapurnya. Gila, dapurnya benar- benar sebuah tempat suci.
Mengabaikan suasana tegang dan prihatin di ruang tengah, Coraima makan sambil bercanda dengan Valentina. Dapur menggema suara tawa kecil dua orang itu. Setelahnya mereka ke kamar dan cepat terlelap.
Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea
Share this novel