25. Fideua

Romance Completed 10892

Pengaruh obat dan kondisi badan yang tidak fit membuat Salvador tidur lelap seperti bayi. Pria itu tidak terusik sedikit pun ketika Coraima beringsut lepas dari dekapannya.

Hari sudah malam, Coraima harus menyiapkan makan malam sekaligus jam minum obat Salvador. Ia membersihkan diri ala kadarnya, lalu berpakaian dress rumahan dan keluar kamar. Ia mencari Benicio terlebih dahulu. Belum sempat memanggil pria itu, ia melihat Benicio sedang berdebat dengan Lorena di teras depan.

"Salvador tertembak. Tidakkah kau tahu betapa cemasnya aku?" cecar Lorena.

"Saya tahu, Nona Lorena, tapi Salvador sedang butuh istirahat. Ia tidak ingin diganggu siapa pun. Tuan Salvador akan menghubungi Anda jika ia butuh sesuatu."

Lorena terisak. "Aku hanya ingin melihatnya, walau sebentar saja."

Benicio berusaha menenangkannya. "Saya jamin ia baik- baik saja, Nona. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Huh, setelah Coraima hadir, aku diabaikan. Wanita itu menguasai Salvador sekarang. Bagaimana bisa Salvador dibutakan seperti ini?"

"Nona, sebaiknya jaga ucapan Anda. Saya masih berbaik hati mengingatkan Anda, Salvador tidak suka disepelekan seperti itu. Anda pastinya menyadari sebelum Anda Salvador juga punya pendamping dan kehadirannya tersingkir setelah Anda datang. Jadi, siklusnya memang demikian. Ia mengganti wanita sesuka hatinya ...."

"Seperti ia berganti pakaian," sambung Lorena diikuti muka merengut. Ia mendengkus lalu terdiam ketika beradu pandang dengan Coraima. Wanita itu memasang tampang tak bersalah. Lorena mencibir. Coraima berpenampilan sangat biasa, apa menariknya bagi Salvador? Lorena memutar badan seraya berpamitan. "Baiklah, aku pergi. Katakan pada Salvador aku mendoakan kesembuhannya dan juga jika ia punya waktu, tolong telepon aku. Aku sangat rindu padanya."

"Baik," sahut Benicio. "Hati- hati di perjalanan, Nona!"

Lorena tidak menyahut lagi lalu masuk ke mobilnya dan pergi.

Benicio membalik badan. Ia melihat Coraima berdiri di tempat sehingga menghampirinya. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"

Coraima sungkan. "Eh? Tidak terlalu penting, hanya saja tidak terlihat seorang pun dalam rumah, jadi terasa aneh. Aku butuh teman bicara menemaniku di dapur."

Benicio melirik jam tangan kemudian kembali menatap Coraima. "Baiklah, saya ada waktu luang. Saya akan menemani Anda."

"Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuan Benicio."

Mereka pun ke dapur. Coraima memilih-milih bahan. Kebetulan ada terong ungu yang masih segar. Ia memasukkannya ke keranjang.

"Apa yang akan Anda masak, Nyonya?" tanya Benicio.

"Berenjana con vigreta," jawab Coraima.

Ia akan membuat berenjana con vigreta sebagai makanan pembuka. Terong digoreng kemudian dibalur madu, disajikan bersama tumis tomat sebagai topping.

"Anda berasal dari mana, Tuan Benicio?" tanya Coraima mengakrabkan diri.

"Catalonia, Nyonya."

Coraima mengerling padanya. "Anda suka fideua?"

Benicio semringah teringat masakan khas kotanya di mana ia akan menikmati fideua dalam piring besar dan makan bersama- sama saudara- saudaranya. "Suka sekali, Nyonya."

"Kalau begitu, kita akan membuat fideua!" seru Coraima. Ia ke kamar pendingin lalu memilih seloyang cumi dan udang, menghabiskan stok bahan makanan laut.

"Kita? Nyonya, saya tidak pandai memasak," sela Benicio.

"Jangan khawatir, saya hanya perlu bantuan Anda mengadon pastanya. Tangan saya belum sembuh benar."

Benicio mangut- mangut. "Oh, baiklah. Kalau soal itu saya bisa membantu."

Setelah bahan yang diperlukan terkumpul, mereka kembali ke dapur utama. Benicio harus melepas jas serta jam tangannya, kemudian membuka kancing tangan kemejanya, dan menggulung lengan baju hingga ke siku.

Ruangan gaduh oleh suara memasak dan berbincang-bincang. Coraima mengarahkan Benicio teknik mengadon pasta fideua.

Pasta fideua adalah pasta khas negeri matador. Teksturnya tipis mirip bihun di Indonesia, tetapi ukurannya pendek- pendek.

Coraima mengolah sayur- sayuran dan bumbu. Awalnya aroma gurih penggorengan terong, ketika dibalur madu, bertambah wangi manis karamel. Tumisan tomat dicecerkan di atas terong goreng tadi.

Cumi-cumi dan udang yang sudah disiangi ditumis bersama kaldu ikan, bawang putih, dan minyak zaitun, sedikit tambahan cabai agar ada sensasi pedas. Ia menambahkan fideua, lalu diaduk hingga matang merata. Masakan itu matang sempurna dan disajikan ke piring dengan tambahan irisan jeruk nipis. Jeruk nipis bukan hanya sebagai pemanis, tetapi juga bagian dari bahan yang akan meningkatkan rasa jika air perasannya ditambahkan saat hendak memakan fideua.

Mau tidak mau indra pengecap Benicio bereaksi. Bau sedap dan makanan lezat di depan mata, air liurnya terbit sehingga bibirnya berdecap beberapa kali. Ketika sepiring fideua dan berenjana con vigreta lewat di depan matanya, perutnya keruyukan sangat nyaring.

Coraima terdiam seraya melayangkan lirikan padanya. Muka Benicio merah padam seolah wibawanya runtuh. Coraima tertawa mengulum senyum. Piring pertama tadi rencananya untuk Salvador, tetapi karena Benicio di dekatnya, ia mengutamakan menyajikan untuk Benicio.

"Duduklah, Tuan Benicio dan silakan makan." Coraima menyodorkan fideua dan berenjana con vigreta ke tengah meja pantri.

Benicio jadi segan. "Untuk saya?" tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.

Coraima mengangguk.

Benicio bergegas duduk di depan hidangan itu. Ia mengambil berenjana con vigreta menggunakan tangan, membuka mulut hendak melahap terong itu, bertepatan suara membentaknya.

"Hei, apa kau lupa siapa tuan rumah ini?!" Salvador muncul berkacak pinggang.

Coraima dan Benicio menoleh bersamaan. Salvador melangkah memburu ke arah Benicio.

Benicio meletakkan berenjana con vigreta kembali ke piring. "Sal, aku hanya ...."

"Minggir!" seru Salvador, menggeser Benicio dari kursi dan ia yang bersiap makan. "Porsi pertama adalah milikku," katanya.

Benicio diam saja, sementara Coraima meringis. "Kami kira kau masih tidur," gerutu Coraima.

Ia lapar dan aroma masakan sampai ke hidungnya, siapa yang tidak akan terbangun kalau demikian? "Sekarang aku sudah bangun. Aku ingin makananku dan kau harus menyuapiku!"

"Ya, ya, aku tahu. Sebentar, aku menyiapkan untuk Tuan Benicio dulu." Coraima mengambil piring baru dan menata isinya. Ia menyajikannya di sebelah Salvador sehingga Benicio duduk berdampingan dengan Salvador.

"Mari kita berdoa dulu," ucap Coraima. Berdiri berhadapan dengan kedua pria itu, ia menyatukan kedua tangan, mata terpejam dan merapal doa makan yang agak panjang.

Benicio dan Salvador saling pandang, kemudian keduanya memimik Coraima berdoa.

"Amin."

"Amin!" sahut Benicio dan Salvador bersamaan lalu mulai makan.

Pada akhirnya Salvador memandangi Benicio melahap makanan lebih dulu darinya karena ia menunggu Coraima menyuapinya.

"Ayo, Sal, buka mulutmu. Aaa ...."

Salvador menganga, tetapi masih lekat menoleh pada Benicio. Melihat bagaimana Benicio mengangguk-angguk tanpa bisa berkata-kata. Salvador tahu Benicio ingin memuji, tetapi terlalu sibuk mengunyah karena masakan Coraima sangat lezat.

Sepotong terong goreng madu masuk ke mulutnya dan ketika dikunyah, jus sayuran itu meleleh dalam mulutnya, bersama kekentalan madu yang manis lembut, kealamiannya terasa sehingga jika memejamkan mata, terlihat keasrian pedesaan serta lahan bunga tempat lebah- lebah jantan memanen serbuk bunga dan membawanya ke sarang ratu mereka.

"Bagaimana? Enak 'kan?" tanya Coraima, menyadarkan Benicio dan Salvador.

Kedua pria itu harus menelan dulu baru bisa bicara. Harus diakui, makanan pembuka saja sudah membuat mereka meratap ingin lagi. "Iya, sangat enak, Cora," jawab Salvador.

"Sangat enak, Nyonya," ucap Benicio.

Coraima semringah. "Silakan lanjutkan makannya!"

Benicio bergegas makan. Ia menyuap sendiri sehingga bisa mendahului Salvador. Salvador mendelik sebal pada Benicio. Melihat pria makan bersamanya di saat biasa ia berduaan saja dengan Coraima, rasanya seolah melihat Benicio ikut kencan dengannya.

"Sal," panggil Coraima bersuara lembut membuat Salvador memperhatikannya. Ia menyuapkan sepotong berenjana con vigreta lagi. "Ayo, buka mulutnya. Aaa."

Oh, ya, Coraima hanya miliknya. Salvador bisa pongah Coraima ada khusus untuk melayaninya. Sesuatu yang tidak bisa dinikmati Benicio.

Masakan Coraima melebihi ekspektasinya. Bukan hanya lezat dan mengenyangkan, tetapi juga ada rasa haru yang meresap dalam hatinya ketika makanan itu sudah masuk ke perutnya. Benicio teringat saudara- saudaranya saat mereka masih anak-anak. Apakah mereka juga bisa merasakan fideua selezat ini? Jika mereka ada, ia ingin mereka bergabung bersamanya.

"Ada apa, Tuan Benicio?" tanya Coraima melihat pria itu makan lahap, tetapi tatapannya menerawang.

Benicio menoleh pada Coraima. Dalam hati berujar, apa rahasia wanita ini dan masakannya sehingga seorang Salvador Torres mempertahankan hidupnya? Benicio tersenyum tipis lalu bercerita, "Selalu ada sebuah cerita dari setiap masakan."

"Benar sekali, Tuan Benicio!" sahut Coraima. "Penemuan fideua dikaitkan dengan cerita yang indah. Seorang pria bernama Gabriel Rodriguez Pastor, (Gabriello dari kios di distrik pelabuhan Grau di Grandia), bekerja sebagai juru masak di sebuah kapal dan Juan Bautista Pascual (Zabalo) adalah kru termuda sekaligus asistennya di kapal.

"Dikatakan, kapten kapal sangat lahap makan nasi, sehingga para kru kapal sangat sedikit mendapat jatah arros a banda, hidangan yang biasa disajikan. Untuk mengatasi masalah itu, Gabriel punya ide menggunakan pasta sebagai pengganti nasi dengan harapan agar kurang menarik selera sang kapten.

"Di luar dugaan, masakan tersebut ternyata sangat disukai dan pamornya tersebar di restoran-restoran daerah pelabuhan seperti Pastaora House di mana mereka memasak "fideua" pertama."

"Anda mempelajari makanan sampai ke sejarahnya? Wah, saya tidak menyangka sampai sebesar itu kecintaan Anda pada masakan," ungkap Benicio.

Coraima termangu. "Kebetulan saja, Tuan Benicio. Saya mempelajarinya karena saya mencari tahu apa yang membuat saya tertarik menjadi juru masak. Saya tidak mengingat masa kecil saya dan saya bahkan tidak bisa bicara, tetapi saya selalu punya keinginan memasak yang terbaik. Makanan yang lezat selalu membuat saya merasa nyaman seolah saya menemukan diri saya kembali. Jadi, saya pikir kenapa saya tidak membaginya dengan orang lain?"

"Itu artinya memasak adalah panggilan jiwa Anda, Nyonya."

"Bisa jadi," sahut Coraima, akan tetapi alasan itu tidak pernah menutup tanya dalam dirinya. Coraima kembali menyuapi Salvador, tetapi tercenung karena pria itu diam membisu dan menatapnya lekat. Entah terharu atau hendak mengejeknya, tetapi Coraima secara spontan mengejeknya duluan. "Kenapa, Tuan Torres? Bukan hanya Anda yang punya cerita soal makanan, saya juga punya!"

Salvador tidak membalasnya karena dalam hati ia berharap alasan Coraima menjadi seperti sekarang adalah karena dirinya. Namun, apa gunanya jika perasaan itu tidak berbalas? Salvador menggerutu saja, "Cepat suapi aku! Aku masih lapar!"

Coraima mencebik ketus sambil menyendok fideua. "Iya, iya, ini juga sudah disiapkan dari tadi! Kau saja yang melongo. Kenapa? Apa karena masakanku luar biasa lezat?"

"Beh, sombong!" cibir Salvador.

Coraima balas menudingnya. "Jika kau tidak tahu kehebatanku memasak, kau tidak akan menjadikanku juru masak di rumah ini, ya 'kan? Itu membuatku curiga kau mengincarku sejak lama. Benar 'kan? Karena itu kau membunuh Chef Emanuel setelah aku tiba di sini. Kalian orang kaya memang punya obsesi yang aneh. Dasar orang gila."

"Heh, apa kau bilang?!"

"Orang kaya. Aku bilang kamu orang kaya. Yang gila itu orang," cetus Coraima tanpa rasa bersalah.

Lidah Salvador langsung kelu. Ia memicingkan mata dan menggerutu dalam hati. Awas, nanti di kamar aku buat kamu tergila-gila! Dasar Cora! Ada- ada saja alasannya. Meruntuhkan semua pertahanannya, membuatnya bagai bocah lagi, yang ketar ketir karena kepolosan seorang gadis kecil.

*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience