Coraima membuka mata dalam keadaan terkejut. Kamar terang dari cahaya luar karena matahari sudah tinggi dan tidak ada seorang pun membangunkannya. oh iya, karena Salvador ada bersamanya. Coraima duduk lalu menoleh ke samping dan ia terpana pada pemandangan dua makhluk di sisinya. Valentina dan Salvador sama- sama meringkuk dengan Valentina berada dalam kungkungan Salvador bagai mencari suaka pada pria itu.
Coraima tersenyum haru. Jika ada ponsel, ia ingin sekali memotretnya agar bisa memperlihatkan pada Salvador betapa serasinya ia dan Valentina, seperti ayah dan anak. Namun, seketika senyum itu pias karena tersadar siapa sebenarnya ayah bayi itu. Coraima terhenyak oleh perasaannya sendiri.
Tidak ingin terlarut oleh rasa getir, ia bergegas beranjak dari ranjang dan pergi mandi. Seharusnya ia bangun pagi untuk memasak bersama para koki. Menu sudah diatur, tetapi tetap saja ia harus hadir karena ia baru mengetuai mereka. Memalukan ia kedapatan mangkir karena keasyikan bercin.ta dengan tuan rumah.
Selesai mandi, Salvador dan Valentina masih tidur juga. Coraima bahkan berpakaian dan berdandan di kamar itu, keduanya tidak terusik. Ketika keluar kamar, ternyata Latanza sudah menunggu di depan pintu. Coraima langsung memberi tanda jangan bersuara. Ia menutup pintu di belakangnya lalu berujar pelan pada Latanza. "Valentina dan Salvador masih tidur. Lebih baik kita jangan mengganggu mereka."
"Tapi, Nyonya, bagaimana jika Tuan Salvador marah?"
Salvador mungkin akan mengomel, tetapi ia tidak akan berbuat lebih dari itu. Coraima yakin demikian. "Tunggulah sebentar lagi. Aku akan ke dapur dulu, setelah itu baru aku akan membangunkan Valentina."
Latanza tidak berkomentar lagi, meskipun waswas. Ia tetap menunggu di depan kamar sementara Coraima ke dapur.
"Pagi, Chef!" sapa para juru masak yang sudah sibuk di dapur mengerjakan bagian masing-masing.
"Pagi!" sahut Coraima.
Ia mengontrol pekerjaan mereka. Empanada, pastel puff pastry berisi daging cincang berbumbu khas Spanyol, sudah dibuat dan disajikan ke ruang makan. Hidangan utama berupa nasi paella sedang dipindahkan ke wadah saji. Kepulan asap makanan itu membuat aroma kelezatan menyebar ke penjuru ruangan.
Juru masak bagian hidangan penutup membuat turron, semacam kue semprong yang terbuat dari almond. Bagian luarnya disalur karamel sehingga tampilan kue manis itu mengilat menggoda.
Masakan yang padat mengenyangkan, serta sajian kue turron yang sangat manis akan memperbaiki perasaan para anak buah klan yang tengah berduka. Coraima menyisihkan sebagian empanada dan turron untuk Salvador. Nasi paella-nya ia buat sendiri karena tahu Salvador akan sangat sensitif soal makanan utama.
Salvador sedang asyik terlelap sampai ketika ia merasa tepukan- tepukan kecil di wajahnya lalu ada yang meraba- raba dadanya. Salvador mengerang malas, terbesit gerutuan apa yang sedang dilakukan Coraima padanya, tetapi ketika sadar tangan yang menepuk wajahnya tangan yang sangat kecil, Salvador terbelalak seketika. Valentina si bayi duduk di sisinya dan menyentuh wajahnya. "Da ... da ...," ucap Valentina.
"Hissh!" desis Salvador sembari terjengkit. Ia nyaris membentak bayi itu, tahu-tahu Valentina malah tertawa geli, memamerkan gigi pertamanya pada Salvador.
Salvador tercenung seketika. Anak- anak akan ketakutan lalu menangis jika melihat wajahnya tetapi Valentina malah tertawa dan sorot berbinar-binar.
Ucapan Corazon terngiang. "Suatu saat kau akan menginginkannya, Sal. Mereka lucu seperti malaikat."
Salvador tidak jadi marah, akan tetapi ia merasa gengsi berduaan saja dengan Valentina. Ia salah tingkah Valentina merangkak ke dadanya. Salvador lekas duduk lalu memanggil 'sang istri'. "Cora! Cora! Coraima!"
Namun yang dipanggil tidak juga datang. Salvador turun dari ranjang dan bergegas mengenakan jubah tidur Coraima. Ia ingin keluar kamar. Valentina tertinggal sendirian di ranjang, maka ia merangkak ingin mengikuti orang dewasa yang dikenalnya.
Salvador melirik bertepatan bayi itu berada di tepi ranjang dan sesenti lagi jatuh. Secepat kilat Salvador menangkap Valentina. "Aaah!" Salvador mengerang kesakitan karena pundaknya bergerak tiba- tiba. Ia jadi kesal pada Valentina. "Kau mau cari masalah, hah?! Kenapa tidak diam dulu? Kalau kamu jatuh tadi, apa yang bakal terjadi pada kepalamu?" cecar Salvador.
Muka Valentina sendu, lalu bibirnya melempem dan menangislah dia. "Huuu ... hu hu huaaa ...."
"Hisssh, menangis lagi!" gerutu Salvador. Ia menggendong Valentina ke luar kamar. "Cora!" panggilnya.
Latanza tidak ada lagi di depan kamar, karena ia pergi makan. Salvador membawa Valentina ke dapur.
Mendengar tangisan bayi, Coraima buru-buru cuci tangan lalu melepas celemeknya. Ia berlari kecil menuju kamarnya. Di tengah jalan nyaris bertubrukan dengan Salvador dan Valentina.
"Oh, sayang, kenapa kau menangis? Apa Papi Salvador memarahimu?" pelas Coraima sambil mengambil Valentina dari tangan Salvador. Bayi itu berhenti menangis.
Valentina mengemut tangannya, memandangi berganti dua orang itu berdebat.
Salvador ingin menjelaskan ia marah Valentina hampir jatuh, tetapi ia benci menjelaskan. Alih-alih ia mengecam Coraima. "Kau seharusnya tidak meninggalkannya bersamaku dan jangan sebut aku papinya. Dia bukan anakku."
Coraima mendengkus. "Oh, ayolah, Sal. Situasinya sudah sangat buruk bagi Valentina. Kau tidak perlu menambah-nambah dengan kearogananmu."
"Aku arogan?"
"Iya. Aku yakin kau suka bayi, tapi kau tidak ingin menunjukkannya. Ini rumahmu sendiri, tidak ada alasan kau bersikap jaga imej di sini dan mau kau akui atau tidak, Valentina adalah kerabatmu. Bagi Valentina, kamu adalah satu-satunya kerabat yang dikenalnya."
Salvador berpaling seraya bersedekap. "Kenal bagaimana? Aku bahkan tidak bicara padanya." Aku bahkan membunuh ayahnya. Apa yang kau harapkan dariku?
"Kalian bertemu nyaris tiap hari, tentu saja Valentina mengenalimu. Ia mungkin menganggap sebagai sosok ayah."
Ucapan itu membuat lidah Salvador kelu. Kalau Coraima sudah bicara, susah sekali menampiknya. Saat sedang gamang, Coraima malah menyerahkan Valentina ke tangannya lagi. Salvador keki. "Heh, apa-apaan ini?"
"Aku harus menyelesaikan masakanku atau kau tidak akan makan. Pegang dulu dia!" ujar Coraima lalu bergegas ke dapur lagi.
Valentina dan Salvador bertatapan. Anak itu melepas emutan tangannya dan menangkup wajah Salvador sambil bersuara riang. "Da ... da."
"Hisssh!" ringis Salvador. "Kau melepoti wajahku dengan liurmu. Menjijikkan. Dasar bayi!"
Valentina malah tertawa gelak dan lagi- lagi Salvador dibuat tidak berkutik oleh senyum malaikat kecil tersebut.
Coraima mengeluarkan panci paella dari dalam oven. Panci kecil yang bisa menjadi wadah bersantap langsung untuk porsi satu orang. Pembantunya menyiapkan empanada dan turron, serta secangkir kopi. Coraima membawa hidangan itu pada Salvador. Ia pura-pura tidak memperhatikan kelakuan Salvador dan Valentina.
"Nah, kau mau makan di mana, Sal?"
Di dapur masih ada para juru masak berberes- beres. Salvador mencebik, "Di ruang makan saja." Ia melangkah ke ruang makan.
Latanza muncul kelabakan melihat Valentina digendong tuannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi ada kesibukan lain ...."
Salvador menyodorkan Valentina ke tangan Latanza. "Bawa dia!"
"Ba- baik, Tuan!" gagap Latanza, tetapi lega karena Salvador tampak tenang-tenang saja. Latanza segera membawa Valentina ke lantai atas.
Salvador duduk di kursi makan utama. Panci paella diletakkan di hadapannya. Coraima berbalik hendak kembali ke dapur, tetapi Salvador menarik pergelangan tangannya. Ia menoleh dan mendapat tatapan lembut pria itu.
"Pundakku sakit menggendong Valentina tadi. Sekarang juga masih sakit. Kau harus tanggung jawab," tuntut Salvador.
"Iya, iya, aku tahu. Aku ke dapur sebentar mengambil anggur. Tidak lengkap makan paella tanpa secicip anggur merah," ujar Coraima. Salvador melepaskannya.
Coraima perlu anggur untuk mengurangi ketegangan yang dirasakannya. Melihat Valentina akrab dengan Salvador, lalu dirinya sendiri melayani Salvador selayaknya suaminya, seolah segalanya tentang Godfreido menjadi pudar. Padahal Salvador adalah penyebab kematian Godfreido, akan tetapi sekarang pria itu menjadi pengisi kekosongan tersebut. Secara nyata, perlahan-lahan tapi pasti, Salvador menggantikan Godfreido sepenuhnya.
Tidak, ini tidak bagus, Cora! Kau tidak boleh melupakan Godfreido. Ia pria yang tidak tergantikan dalam hidupmu, batin Coraima saat mengambil botol anggur dari rak. Tangannya gemetaran. Coraima buru- buru menuang anggur itu dan meminumnya. Berangsur-angsur ia menjadi tenang, kemudian mendatangi Salvador sambil membawa anggur itu.
Salvador sedang makan empanada. Ia tercenung melihat Coraima datang dan anggur sudah dibuka. "Oh, aku kira kau ingin bersulang atau meminumnya untuk merayakan sesuatu," katanya.
Coraima tersenyum lalu duduk di sisinya. "Aku merasa sangat bersemangat dan aku minum supaya lebih sejuk."
Mata aquamarine Salvador mengerling. "Bersemangat, ha?" sindirnya.
Coraima mengernyitkan keningnya. "Kenapa? Aku tahu orang-orang sedang berduka. Bukannya aku tidak simpati," kilah Coraima, mengira Salvador menyindirnya seolah ia bergembira saat suasana sedang berkabung.
Salvador menyengir santai. "Bukan soal itu," katanya.
"Lalu soal apa?"
"Nanti kuberitahu. Sekarang suapi aku dulu. Aku sudah sangat kelaparan."
Coraima menuruti keinginan pria itu, menyuapi bayi dewasa yang sikap memaksanya sangat sulit ditolak. Mereka juga berbagi makanan. Coraima turut menyantap sebagian nasi paella. Sisanya, mereka mencamil empanada dan turron sambil menyesap anggur.
Salvador mengunyah turron. Rasa manis almond memanjakan lidahnya. Sisa karamel yang melengket di bibirnya ia jilat beberapa kali. Ia mengamati Coraima mendongak saat meminum anggur. Agaknya Coraima kepanasan sampai perlu pendingin sebanyak itu. Senyum penuh arti tersungging di bibir Salvador. Ia kecup leher Coraima sambil membisikinya, "Temani aku mandi, Cora."
Coraima mengulum senyum menahan geli embusan Salvador di lehernya. "Iya, Sal, aku temani," sahut Coraima. Mereka meninggalkan meja makan dan naik ke lantai atas.
Coraima memandikan Salvador seperti sebelumnya. Menjaga perban lukanya tetap kering, mengeramas rambut, membersihkan wajah, serta menggosok seluruh badannya tanpa terkecuali sehingga Coraima cukup yakin Salvador sedang terangsang. Namun, pria itu tenang saja, menikmati dilayani dengan telaten hingga selesai.
Mereka ke kamar. Coraima memilih-milih baju Salvador dalam walk in closet. Rak-rak penuh aneka jenis pakaian pria dan aksesoris modis. Sesuatu yang akan dikenakan pria eksekutif elegan seperti Godfreido. Kesenduan menguasai pikiran Coraima. Jika malang tidak terjadi, seharusnya saat ini ia sedang memilih-milih baju untuk suami yang sebenarnya, bukan orang lain.
Salvador tidak memberikan kesempatan Coraima memikirkan hal lain selain dirinya. Saat Coraima memunggunginya, ia mendempet Coraima dengan tubuh telanjangnya.
"Sal?" desah Coraima ditekan ke rak sehingga ia berpegangan ke sana. Coraima tidak berkutik. Selain ditodong keperkasaannya, tangan pria itu mendekap ke depan dan menggiling gundukan buah daranya sambil memberikan remasan gemas.
"Bukankah kau sedang bersemangat, sayang?" bisik Salvador. "Kau menyukainya? Akan kuberikan kenikmatan setiap siang dan malam untukmu, Cora."
Coraima terpejam menikmati sentuhan Salvador. Ia menggigit bibir agar tidak mengucapkan ya. Pun ia tidak protes ketika pria itu melucuti seluruh pakaiannya sehingga mereka sama-sama telanjang di tempat penuh pakaian. Pria itu menyodokkan tuasnya dari belakang dan mengguncangnya hingga barang-barang di rak turut bergetar.
"Sssaaaal!" erang Coraima tertunduk terdongak simultan terombang rasa menggelora yang dipompakan Salvador ke dalam tubuhnya.
"Lepaskan saja, Cora, jangan memikirkan lemariku berantakan. Ada banyak pelayan yang akan membereskannya," nasihat Salvador.
Coraima nyaris kehilangan akal sehat sehingga ucapan pria itu adalah hal paling masuk akal yang didengarnya. Ia mengerang tegas. "Aaaahh!"
Salvador semakin kuat mengentak tubuh Coraima membuat bicaranya terengah- engah. "Iya, sayang, terus remas, Cora! Oh, mi Corazon ...."
Coraima memukul rak, bahkan menarik beberapa lapis pakaian yang tersusun di sana, mencari sesuatu yang bisa dicengkeram kuat- kuat olehnya.
Salvador menyibak rambut Coraima yang tergerai untuk menyusuri punggung Coraima dengan ciumannya. Ia menjilat sepanjang tulang belakang hingga tengkuk Coraima sambil memberikan cubitan- cubitan geregetan pada bulir dara wanitanya. Napasnya berembus keras di permukaan kulit Coraima.
Di ruangan itu terdapat beberapa cermin dan Salvador bisa melihat dirinya sedang menyatu dengan Coraima. Memandang tubuh dan wajahnya yang rusak bagai kenangan buruk sedangkan Coraima begitu lembut dan manis bagai mimpi indah. Salvador tidak tahan melihat dirinya sendiri. Coraima juga sudah sangat putus asa. Ia dekap wanita itu, diangkatnya sedikit agar bisa dibawanya.
Coraima panik. "Kita mau ke mana? Sal, aku belum selesai!" cecarnya.
Salvador tertawa geli yang mana itu menghibur hatinya. "Kita ke ranjangku, sayang. Aku puaskan kau di sana."
Di ranjang, ditindih leluasa oleh Salvador dan berlutut menjejalkan tuasnya sedalam mungkin. Coraima dalam kekuasaan penuh pria itu. Ia menangis dalam kepasrahan yang luar biasa hingga surga layak menjadi imbalannya. "Salvador Torres kenapa kau melakukan ini padaku?" Bukan siksaan dan kekejaman, tetapi diberi candu kenikmatan yang membuatnya ketagihan. Sebuah kesempurnaan semu, tetapi ia menginginkannya.
"Recuérdame(*), mi Corazon ...," desah pria itu seperti lagu yang disenandungkan hatinya setiap hari selama mereka terpisah.
(*) ingatlah aku.
Recuérdame, mi corazon. Te llevo en mi corazón y cerca me tendrás.
Ingatlah aku, Corazon-ku. Aku bawa selalu kau dalam hatiku agar kau merasa aku selalu di dekatmu.
Tetapi kenapa Coraima tidak bisa mengingatnya sama sekali?
*** Bersambung... Follow my insta.gram love.chamomile.tea
Share this novel