Chapter 16 - Buku Soyga

Horror & Thriller Series 1020

Jam 8 Pagi
4 April 1970

Selepas 5 tahun berlalu

“Suri ram ram ramm~”
Kedengaran suara seorang wanita sedang menyanyi di dalam sebuah rumah kayu, wanita melabuhkan punggungnya duduk di atas sebuah kerusi berhadapan dengan sebuah meja solek. Lantas tangannya mencapai sikat yang berada di atas meja solek tersebut, perlahan dia mengemaskan rambutnya di sisi bahu.

Wajahnya keputih-putihan, bibirnya dicalitkan dengan pewarna bibir membuatkan wajahnya kelihatan lebih mempersona. Rambutnya yang hitam dan ikal diikat sanggul, dia sedang mengenakan baju kebaya berwarna kuning. Di pergelangan tangannya terdapat seutas gelang tangan perak, terukir bentuk burung pada gelang itu.

Krekk.. Krek.. Krekkk..

Kedengaran lantai kayu rumah itu berdetak menandakan ada orang yang sedang berlari ke arahnya.

"Cantiknya..."

Sapa satu suara membuatkan wanita itu menoleh ke belakang, lantas senyuman terukir di bibirnya tatkala melihat seorang budak perempuan sekitar umur 4 tahun sedang berdiri sambil bercekak pinggang di hadapannya.

"Anak bunda juga cantik..." katanya lantas menarik tangan budak tersebut diribakan di atas pehanya.

"Lihat... Bunda cantik, Melati juga cantik!" kata wanita itu kepada Melati yang sedang menatap wajahnya di dalam cermin.

"Melati!"

Sedang asyik mereka menatap wajah di cermin, tiba-tiba kedengaran suara seorang budak perempuan berlari ke arah mereka. Kelihatan budak itu sebaya dengan Melati sedang memakai baju kebaya berwarna Kuning dan bersanggul tinggi. Melati pula sedang memakai kurung berwarna kuning dan tiara yang diperbuat daripada emas disisipkan pada sanggulnya.

"Iya Afra?" saut Melati mengukir senyum.

"Melati lakukannya lagi, aku mahu lagi!" pinta Afra.

"Pergilah bermain di luar tapi di sekitar rumah saja ya?" kata wanita kebaya kuning itu.

"Baiklah!"

Afra dan Melati lantas berlari-lari keluar dari rumah kayu itu sambil berpegang tangan. Kelihatan taman di hadapan rumah kayu itu cantik dihiasi bunga-bunga yang tergantung di dahan-dahan pokok epal, kelihatan akar-akar bunga yang panjang melilit pohon-pohon di sekeliling rumah kayu tersebut. Ajaib, bunga itu segar walaupun tidak ditanam di dalam tanah namun mampu bertahan hidup di atas pokok.

"Afra lihat ini betul-betul." jawab Melati lantas memejamkan matanya, tangannya dihayun-hayunkan ke udara membuat bulatan beberapa kali di udara.

"Wahh! Hebatnya..." jerit Citra teruja selepas melihat beberapa biji permata tiba-tiba muncul udara, permata itu tidak semena-mena terjatuh di atas tanah apabila Melati berhenti.

"Cukup?" soal Melati. Riak wajahnya tenang seolah-olah sudah terbiasa melakukan hal seperti itu.

"Sudah-sudah." jawab Afra ringkas lalu mengutip permata di atas tanah satu per satu untuk dijadikan koleksinya. Melati hanya melihat telatah Afra yang teruja akan kebolehan Melati.

"Afra tidak mahu berlatih?" soal Melati tiba-tiba membuatkan Afra yang tadi sedang melutut di atas tanah lantas bangun dan memandang ke arah Melati, riak mukanya berkerut menandakan dia sedang takut. Tangannya mulai menggigil, perlahan wajahnya ditundukkan ke arah tanah. Melati yang menyedari tentang perkara itu mulai mendekati Afra selangkah demi selangkah, tangan kiri Afra ditarik perlahan lalu digenggam oleh Melati.

"Tidak mengapa... Aku akan ada disini menemani..." pujuk Melati.

__________________________________________________

"Dimana suami adinda?" soal Cempaka sambil melabuhkan punggungnya duduk di atas sebuah kerusi di ruang tamu rumah kayu milik ayahnya itu.

"Ke pekan mencari makan..." jawab seorang wanita berbaju kebaya kuning melabuhkan duduknya di sebelah Cempaka. Wanita itu menjenguk-jenguk kepalanya ke arah keluar tingkap rumah kayu itu, riak mukanya gelisah seperti ada sesuatu yang ditakutkannya.

"Kenapa?" soal Cempaka mulai hairan dengan tindakkan wanita itu.

"Kanda yakin tiada siapa yang mengikuti kanda kemari?" soal wanita itu.

"Jangan risau, tidak ada siapa yang mengetahui aku berkunjung kemari..." jawab Cempaka cuba menghilangkan kerisauan di hati wanita tersebut.

"Apakah engkau sudah berbincang sama suamimu?" soal Cempaka.

"Be-belum lagi kanda..." jawabnya ringkas.

"Jangan dilewatkan... Aku risau sekiranya Kekanda Hazrin mengetahui tentang hal ini." tegas Cempaka.

"Cempaka... Jika ada sesuatu berlaku padaku, dinda mohon bawa Melati dan Afra keluar dari perkampungan ini... Dinda dapat merasakan ada kuasa yang tidak baik sedang mendekati dinda, perasaan dinda kuat mengatakan masa dinda sudah tidak lama..." jelas wanita itu memujuk Cempaka membuatkan Cempaka yang tadi sedang duduk lantas berdiri, riak mukanya terkejut mendengar ungkapan dari wanita itu.

"Apa yang engkau katakan ini? Bunda mereka harus berada di sisi mereka walau apapun! Apa yang akan terjadi kepada mereka di sana sekiranya engkau tidak berada di samping mereka? Tidakkah engkau memikirkan tentang hal itu?" bentak Cempaka tidak bersetuju.

"Cempaka..." sayu suara wanita itu memujuk, tangan Cempaka lantas ditarik perlahan-lahan Cempaka melabuhkan punggung duduk semula di atas kerusi.

"Aku tiada pilihan lain..." rayu wanita itu, sebuah buku yang berada di atas meja di ruang tamu itu dicapai dan perlahan wanita itu menyerahkan kepada Cempaka.

"Apa ini?" soal Cempaka.

"Buku Soyga..." balas wanita itu ringkas.

"Ba-bagaimana?" Cempaka mulai gelisah, dia seolah tidak percaya apa yang diungkapkan wanita itu. Buku yang terkenal dengan pembelajaran ilmu hitam sedang berada di dalam genggaman wanita di hadapannya, buku yang ditakuti makhluk di atas muka bumi. Cempaka lantas menepis tangan wanita itu membuatkan buku yang berada di dalam genggamannya wanita itu terpelanting tidak jauh dari mereka.

"Jangan!" tegas Cempaka, mukanya mulai merah menahan perasaan amarahnya.

"Aku tidak akan masuk campur tentang hal ini, sudah cukup aku membantu engkau sampai ke tahap ini. Ini sudah keterlaluan Linsing!" bentak Cempaka marah, lantas mengambil langkah meninggalkan rumah kayu itu.

Linsing bangun dari duduknya perlahan-lahan mencapai buku soyga yang sedang berada di atas lantai rumah kayu tersebut. Air matanya mulai menitis tatkala buku yang berada di dakapannya ditatap.

"Siapa lagi yang sudi membantu?" soalnya sendirian.

"Bunda! Bundaaaa!"

Sedang Linsing menatap buku itu kedengaran suara Melati dan Afra menjerit di halaman rumah, Linsing lantas membuka langkah berlari keluar tatkala tangannya sempat menghempaskan buku tersebut di atas meja.

"Tuanku Kasturi!"

Jerit Linsing terkejut melihat seorang wanita memakai gaun putih yang labuh, mukanya kelihatan putih bersih, namun bibirnya pucat seperti tiada darah yang mengalir, dari kelopak matanya terlihat biji matanya yang dipenuhi dengan warna hitam tidak mempunyai mata putihnya. Dikepalanya disarung mahkota putih yang tajam dan terdapat manik-manik yang berjurai.

Permaisuri Kasturi sedang berada di hadapan rumah kayu milik bapanya itu, kelihatan tangan Permaisuri Kasuti sedang menggenggam tangan Melati dan Afra menghadap ke arah Linsing yang berada di muka pintu rumah kayu tersebut.

"Jadi benarlah apa yang aku rasakan selama ini..." ungkap Permaisuri Kasturi, kelihatan riak mukanya tenang.

"Tuanku Kasturi... Aku-"

"Semangat jahat di war-warkan orang kampung, mereka tidak dapat tidur lena kerana dapat merasakan semangat ini semakin kuat... Aku menjejaki semangat itu sehingga kesini..." ungkap Permaisuri Kasturi tidak mempedulikan apa yang disampaikan Linsing.

"Anak ini..." Permaisuri Kasturi mengangkat tangan kanannya yang sedang menggenggam tangan Afra.

"Dia mempunyai darah manusia bercampur darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya." ungkap Permaisuri Kasturi.

"Anak ini..." kali ini Pemaisuri Kasturi mengangkat tangan kirinya yang sedang menggenggam tangan Melati.

"Ada darah bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya, namun... Dia mempunyai semangat jahat yang tidak patut berada di dalam perkampungan ini..."ungkapnya sepatah demi sepatah, Linsing hanya menunduk tatkala menunggu Permaisuri Kasturi menghabiskan ayatnya.

"Jadi, siapakah bapa mereka?" soal Permaisuri Kasturi, namun Linsing tidak menjawab persoalan itu. Lidahnya kelu tidak dapat menjelaskan keadaan sebenarnya pada Permaisuri Kasturi, lantas dia membuka langkah perlahan mendekati Permaisuri Kasturi.

"Manung Linsing! Jelaskannya wahai puteri bongsu keluarga kuning?" bentak Permaisuri Kasturi tidak dapat menahan amarahnya.

"A-anak aku sama seorang keturunan manusia..." jelas Linsing singkat. Permaisuri Kasturi yang mendengar penjelasan itu hanya berdiam diri seketika wajah bengisnya kembali tenang.

"Manusia? Bohong..." balas Pemaisuri Kasturi mengukir senyuman seolah-olah tiada perasaan marah yang tersemat dihatinya.

"Tuanku... Akan aku bawa mereka keluar dari perkampungan ini dengan segera!" balas Linsing yang sudah mulai melutut di hadapan Permaisuri Kasturi.

"Keturuan bangsawan tidak dibenarkan hidup sealam dengan manusia..." ungkap Permaisuri Kasturi tenang memberi harapan kepada Linsing.

"Ma-maka mereka harus tinggal disini?" soal Linsing.

"Namun..." Pemaisuri Kasturi tidak menyambung ayatnya, terlihat senyuman sinis terukir dibibirnya.

"Semangat yang menguasai anak ini tidak dibenarkan hidup di alam ini!" tegas Pemaisuri Kasturi, tangannya yang sedang menggenggam tangan Afra dilepaskan lantas digunakannya untuk mencekik Melati.

Kelihatan Afra menangis teresak-esak berlari ke arah Linsing dipeluk erat tubuh wanita itu, manakala Melati masih berada di dalam dakapan Permaisuri Kasturi yang sedang mencekiknya.

"Tidak! Ampunkan patik! Jangan hukum anakanda Melati, jadikan patik Puteri kedua keluarga kuning menggantikan tempatnya!" pinta Linsing bersungguh-sungguh memohon simpati Permaisuri Kasturi.

"Makhluk seperti ini tidak patut wujud! Apa sudah engkau lakukan Linsing?!" tegas Permaisuri Kasturi lagi.

"Relung! Relung masa..." cadang Linsing cuba menenangkan amarah Permaisuri Kasturi.

"Baiklah, jika Melati tidak dibenarkan hidup di dalam alam kita mahupun alam manusia. Maka hantarkan dia jauh menggunakan relung masa. Cuma aku pinta jangan Tuanku membunuhnya, dia adalah puteri keluarga kuning!" rayu Linsing menegaskan bahawa Melati adalah ahli keluarga kuning yang dilindungi oleh keturunan meraka sejak beberapa abad terdahulu.

Maka keluarga itu tidak akan dihukum bunuh sekiranya mendapati mereka melakukan kesalahan namun akan diberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahan mereka. Itulah perjanjian turun temurun keluarga putih terhadap keluarga kuning.

"Engkau mencabar aku..."

"Tidak Tuanku... Aku hanya meminta budi baik Tuanku, janganlah menghukum Melati. Dia tidak bersalah..." rayu Linsing sudah mulai menitiskan air matanya, dia tidak sanggup melihat Melati dibunuh didepan matanya. Seorang ibu mana yang tidak menggadaikan segalanya hanya untuk keselamatan anak-anak mereka terjamin.

"Gelang ini..." tangan Linsing lantas membuka seutas gelang perak di pergelangan tangannya.

"Akan menjadi kunci kepada semangat itu... Aku mohon selamatkan Melati." Linsing menyusun kata lalu memberikan gelang perak itu kepada Permaisuri Kasturi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience