TUJUH BELAS

Romance Completed 65601

Ini sudah hari ketiga setelah Han menghubungi kantor Ira, belum juga ada yang menghubungi. Malam ini dia hanya duduk didepan komputer, sambil bermain game.

Bahkan saat Nina masuk dan memeluknya dari belakang Han hanya diam saja.

“Ada apa Han, kok cuma main game, novelnya sudah selesai?” “Belum,’’ sahut Han singkat.

“Aduh sayang…kok jadi males gini kenapa?” Nina seakan memberi semangat pada Han.

Nina mengucapkannya dengan manja, Han tau dia ingin menghiburnya. Nina membelai rambutnya lalu duduk dipangkuan Han, memandangnya dengan penuh kasih.

“Ya…sudah tidur saja, biar lebih tenang,” lanjut Nina sesaat lemudian.

“Entar dulu belum ngantuk.”

“Apa mau jalan-jalan?” Nina memberikan sebuah usul.

“Enggak ah!” jawab Han singkat.

“Makan?” tanya Nina lagi.

“Masih kenyang.”

Dia lebih mirip dengan ibunya bila berkata seperti itu. Sedangkan Han hanya seperti anak kecil yang sedang ngambek karena tidak dibelikan mainan. Nina lalu melangkah keatas tempat tidur merebahkan tubuhya begitu saja. Han menjadi merasa bersalah padanya, mungkin sikapnya keterlaluan. Diapun pada akhirnya mengikutinya, memposisikan dirinya disamping gadis itu.

Udara malam ini terasa sangat panas, kipas kecil itu seperti enggan mengeluarkan angin. Walau diantara mereka tidak ada pembicaraan namun saat Han menoleh padanya dia tersenyum, dia tau kalau pemuda sedang memikirkan sesuatu. Nina hanya membelai rambut Han dengan pelan tanpa bicara sedikitpun.

Han masih saja terbawa hayalannya, saat tiba-tiba saja handponenya berbunyi. Sebuah pesan baru diterima, nomer yang belum dikenal. Hatinya berdebar saat membacanya.

‘Ini siapa ya, ada perlu apa sama Ira?’

Singkat memang kata-kata itu, namun bagaikan sebongkah batu es yang diletakkan didadanya, sejuk. Han lupa kalau disampingnya ada Nina. Pemuda itu langsung membalasnya.

‘Maaf ya…aku ingin kenallan sama mbak Ira, boleh ga?’.

Jari-jarinya cepat menekan tombol-tombol kecil itu.

“Siapa Han?” tanya Nina yang dari tadi terdiam.

“Em…anu teman baru,” sahut Han sedikit gelagepan.

“Cewek ya?” tanya Nina penasaran.

Han terdiam sesaat.

“Kalo iya?” tanya Han sesaat kemudian menyakinkan hatinya. “Hmm…gimana ya?”Nina tersenyum.

“Ha…ha…kamu tidak marah kan?”

“Hmm…gimana ya?”

Han tau gadis senang karena dia sudah tersenyum lebar, tidak seperti tadi senyum yang dipaksakan. Han lalu memeluknya, dia tau kalau Nina masih membutuhkannya. Han tau dia masih butuh semangat untuk rasa percaya dirinya. Walau sebenarnya dia ingin mengirim sms lagi, namun ditahan saat itu. Han takut membuat Nina sakit hati. Untuk mengalihkan perhatiannya dari sms yang baru diterimanya tadi, dia harus mencari topik lain.

“Nin…”

“Apa?”

“Enggah jadi ah…malu.”

“Kenapa sih?”

“Janji dulu!” pinta Han.

“Janji apa?” tanya Nina penasaran.

“Kalo kamu tidak akan marah.”

“Memang aku suka marah sama kamu?” “Mau nggak?” tanya Han lagi.

“Iya deh…apa?”

“Janji nggak marah?” tanya Han sekali lagi.

“Iya…iya,” sahut Nina meyakinkan.

“Emm…kamu kalo tidur sering tidak pake baju ya?” tanya Han malu-malu.

“Ha…ha…emang kamu tau?” Nina balik bertanya. “Sering,” lanjutnya.

“Hah…sering?” Han seakan tidak percaya.

“Iya, ha…ha....”

Gadis itu memukulinya dengan bantal, sepertinya Nina sudah tidak teringat sms tadi. Han sudah sedikit tenang walau harus dengan beberapa kali mendapat cubitan dipinggangnya.

“Emang kenapa kalau aku tidak pakai baju, naksir ya?” canda Nina.

“Emm…nggak kok, aku sudah biasa dengan yang gituan.”

“Gituan apa?”

“Yang nggak pake baju.”

“Oh…jadi kamu bohong ya selama ini!?” Nina tampak geram.

“Enggak.’’

“Lho…yang barusan kamu omongin.”

“Tuh…kambingnya Pak No tidak pake baju, ikan koi-nya Pay juga tidak pakai baju, apalagi dipasar, lelem ayam, burung dan yang sahabat-sahabatnya telanjang, aku juga tidak naksir,’’ Han tampak serius memberikan penjelasan itu.

Lagi-lagi hujan bantal dan guling, beberapa kali cubitan dan pukulan juga mendarat telak dipinggang perut dan paha. Dia sangat bahagia malam itu, begitu juga Han.

“Sudah ah…aku mau tidur,” Han memalingkan wajah dari Nina.

“Idih…cowok kok ngambek.”

“Siapa yang ngambek,’’ Han menutup wajahnya dengan bantal.

“Han….’

“Apa?” jawab Han pelan.

“Peluk…,’’ kata Nina manja.

“Ogah ah,” canda Han.

“Kenapa?”

“Kamu masih pakai baju.”

Kali ini cubitan itu benar-benar terasa sakit, tapi Han malah tertawa terpingkalpingkal. Saat dia akan mencubit lagi, Han memilih untuk lari dan keluar kamar. Sesampainya didepan pintu, Pay, Arif dan jack melihat kearahnya yang sedang berdiri didepan pintu sambil membawa bantal.

“Wah…kayak penganten baru saja, jam segini sudah ada didalam kamar,

keringetan lagi,” celetuk Pay.

Han hanya tersenyum pada Pay, dia tau mereka meledeknya.

“Han…sini!”

Pay melambaikan tangannya padanya, lalu dia melangkah kerahnya yang sedang duduk disofa sambil menonton televisi. Dia merangkul Han dan membisikkan sesuatu padanya.

“Han…kamu sebaiknya pacaran sama Nina saja, tidak usah mencari wanita dalam koran itu.”

“Kenapa?”

“Kurang apa sih Nina, cantik punya, bodynya melebihi artis Hollywood, hartanya pasti tidak sedikit. Kembali kekamar sana, katakan padanya kalau kamu mencintainya, setelah itu bercintalah dengannya.”

“Ha…ha…tidak mau ah!”

“Kenapa?”

“Ketika aku harus telanjang, maka saat itu pulalah dihadapanku harus telah terbaring seorang gadis yang aku cintai, aku sayangi dan sebaliknya dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Kalian juga harus tau, saat aku benar-benar harus telanjang yang aku lakukan bukanlah sebuah dosa. Sudah cukup semuanya, aku tidak ingin mengulang hal yang sama...dan aku harus menemukan wanita itu walau bagai manapun caranya ha...ha....”

“Walau setelah itu kamu harus mati?”

“Mati? Hidup mati kita sudah ada yangmenentukan, kita tidak akan tau kapan datangnya. Iya kan?”

Mereka semua memandang Han. Mungkin Han terlalu sok suci, tapi dia tidak ingin melakukan itu, dia tidak ingin melukai perasaan Nina atau membohohongi dirinya sendiri. “Sory ya, kalian semua terlalu baik. Aku bangga bisa berteman dengan kalian, sekali lagi aku minta maaf atas ucapanku baru saja.”

“Ha...ha..., sudah kubilangkan dia lelaki yang hebat?” Arif mengcapkan itu sambil memandang kearah Pay dan Jack.

“Ha...ha...kami juga bangga punya teman sepertimu.”

Pay yang dari tadi diam kini ikut berkomentar sambil menepuk bahu Han.

“Sudah, kembali lagi kekamar nanti Nina menyangka kita membicarakan yang

bukan-bukan.”

Han menuruti saran Jack, melangkah lagi kedalam kamar. Menghampiri Nina yang terbaring.

“Nin...saya nyerah, jangan pukul lagi ya!”

Nina hanya memandang kearahnya, sedetik kemudian dia membuka tangannya seakan meminta Han untuk segera berada didekapannya, dan pemuda itu segera melakukan itu. Menjatuhkan tubuhnya pelan-pelan di atas tubuh Nina. Denganpemuh sayang…

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience