DUA BELAS

Romance Completed 65601

Pada suatu sore yang cerah, dimana burung-burung pipit bernyanyi riang di atas pucuk-pucuk cemara. Saat tukang bakso sedang asyik ngerumpi dengan beberapa ibu-ibu langganannya. Saat anak-anak kecil sedang berkejar-kejaran didepan gang rumah mungil itu, Han dan Arif duduk diteras marmer sambil menikmati secangkir kopi manis. Kepulan asap rokok mereka berdua membubung tinggi keangkasa lepas.

“Han…apa Nina tau kalau kamu tidak menyukainya?”

“Aku menyukainya Rif, tapi aku belum bisa menentukan apakah aku akan menjadi kekasihnya.”

“Kenapa?”

“Nah…alasan itulah yang sedang kucari. Dan kata-kata itu datangnya dari sini!” Han menunjuk dadanya sendiri.

“Kalo suatu saat nanti dia tau kamu tidak menyukainya, apa ya…yang kan terjadi?” pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.

“Semoga tidak terjadi apa-apa, lagian belum tentu kan dia menyukaiku? Kamu sendiri kan yang bilang aklau cinta datangnya dari hati?” “Ha…setiap hari dia disini, masak tidak menyukaimu?”

“Mungkin juga dia suka salah satu dari kalian.”

“Ha…ha…kalau dia menyukaiku, pastinya dia akan tidur dikamarku, bukan kamarmu!” sergah Arif cepat untuk meyakinkan sahabatnya. “Rif, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu.” “Apa?”sahut Arif.

“Aku belum bisa memastikan, itu hanya perasaanku saja,” Han tampak ragu.

“Eh…ngomong-ngomong bagaimana kabar wanita dalam Koran itu?”

“Masih nunggu balasan, kemarin aku dan Jack sudah kirim e-mail, menanyakan alamatnya,”

“Ya…kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku pasti mendukungmu. Tapi kamu jangan sampai membuat Nina kecewa atau sakit hati,” Arif menunduku seakan mencari sesuatu yang hilang. “Bagaimana caranya?”

“Setidaknya kamu tidak merubah sikapmu padanya, tetaplah baik, sayangi dia seperti kamu menyanyangi adikmu, atau apalah…yang penting dia jangan sampai tau kalau kamu mempunyai idaman lain!” Arif meberikan sebuah pendapat yang menurutnya paling baik.

“Sampai kapan itu harus kulakukan?”

“Sampai semua benar-benar telah siap, Kamu, Nina dan kita semuanya.” Pembicaraan mereka terhenti saat seoarang pemuda datang.

“Mas…maaf mengganggu, ini rumahnya mas Han ya…?” Pemuda itu bertanya dengan sopan setelah memarkir motornya didekat pintu pagar.

“Iya…ada yang bisa saya Bantu?”Arifpun tidak kalah sopan dengan pemuda yang baru datang, walaupun pemuda itu jauh lebih muda dari Arif, namun tetap saja dihormatinya.

“Mas Han-nya ada?”

“Ini Han!” Arif menunjuk kearah Han yang hanya tersenyum.

“Oh…iya perkenalkan Mas, saya Dedi.” sambil mengulurkan tangannya pada Han, kemudian pada Arif. Perkenalan singkat itu membuat mereka lebih akrab.

“Ada apa Ded, kok mencari Han?”

“Oh…gini Mas, saya sangat berterima kasih pada Mas Han.”

“Kenapa?”

“Karena Mas Han telah bisa menumbuhkan semangat hidup pada kaka saya,” kata Dedi dengan mantap.

Han dan Arif saling pandang, tidak mengerti perkataan pemuda lima belas tahun itu.

“Maksudnya?’’ Han melontarkan sebuah pertanyaan pada Dedi.

“Karena Mas-lah, kakak saya bisa kembali tersenyum,” ucap Dedi lagi dengan mantap.

“Kakakmu siapa?” tanya Arif.

“Nina.”

“Nina?” celetuk Han dan Arif bersamaan. “Iya.’’

“Oh…kamu adiknya Nina?” tanya Arif sekali lagi meyakinkan pendengarannya.

“Iya… Mas Arif.”

“Lho, memang selama ini kakakmu tidak pernah tersenyum?” Han menanyakan itu sambil tersenyum ramah.

“Seperti itulah, sering melamun,” ucap Dedi seakan mengenang apa yang terjadi pada Nina kakaknya.

“Kenapa?” tanya han lagi penasaran.

“Biasa Mas Han, semacam trauma.”

“Oleh apa?”

“Oleh cinta.” Dedi tersenyum sambil mengucapkan kata itu.

“Jadi kakakmu baru putus cinta?” tanya Han lagi.

“Iya, tapi saya harap Mas Han tidak menyinggungnya dalam waktu dekat ini.” Lagi-lagi Han dan harif hanya bisa saling pandang, tersenyum lalu menganggukanggukkan kepala mereka.

“Kak Nina bilang kepada saya, kalau dirumah ini dia menemukan suasana baru, penuh kedamaian. Penuh kasih sayang yang dia harapkan selama ini. Katanya di rumah inilah dia menemukan semua yang dia inginkan!’’ Dedi memberikan sebuah penjelasan yang cukup panjang dan jelas.

“Ha…ha…biasa saja, kebetulan diantara kami berempat tidak ada yang punya saudara perempuan, jadi saat ada cewek yang datang, perhatian langsung tertuju padanya, ha…ha…,” Arif tertawa sambil menepuk bahu Dedi.

“Mas…sekarang dia dimana?”

“Lagi jalan-jalan ke mall sama Pay dan Jack, paling sebentar lagi juga pulang,” sahur Arif.

“Kalau begitu saya pamit dulu ya.’’

“Kenapa, tidak menunggunya datang?” tanya Han.

“Tidak Mas,’’ sahut Dedi singkat.

“Wah…padahal kita mau makan malam bersama,” lanjut Han sambil mengamati pemuda dihadapannya.

“Terima kasih,” Dedi menunduk hormat.

“Iya deh…hati-hati ya,’’ kata Han lagi.

“Mas Han…jangan bilang padanya kalau saya datang kesini ya!” Dedi tersenyum simpul.

“Iya…hati-hati.’’Kemudian Han dan Arif mengantarnya hingga depan pagar. Melambaikan tangan dengan senyum lebar yang sangat bersahabat. Dedi menghilang disebuah tikungan gang itu. Mereka berdua kembali duduk diteras.

“Ternyata perkiraanmu benar Han,’’ kata Arif sesaat kemudian.

“Tentang apa?” Han mengerutkan dahinya.

“Sesuatu yang aneh pada gadis itu.’’

“Aku lebih tenang sekarang, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal dihatiku,’’ kata Han singkat.

Meraka berdua tersenyum lagi, kembali menikmati suasana sore itu dengan senyum yang lebih lepas, dengan kelakar-kelakar manis yang selalu dikuti tawa lebar.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience