DUA PULUH EMPAT

Romance Completed 65599

“Kamu jadi pulang kapan?”

“Mungkin minggu depan, kenapa sudah bosan dekat denganku?”

“Bukan begitu, malah sebaliknya.”

“Ha…? “

“Takut kalau kamu pergi.”

“Ha…ha…memangnya kenapa?”

“Entahlah Ira, aku bingung harus ngomong apa?”

“Orang sepertimu bisa bingung?”

“Aku masih belum begitu mengenalmu, tapi aku berharap banyak.”

“Maksudnya?”

“Tentang beritamu dikoran yang membuatku berusaha untuk bisa bertemu dan sampai saat ini. Mimpiku terlalu tinggi untuk bisa menikahimu dan itu tidak mungkin” Ira terdiam, begitu pula dengan Han. Pemuda itu hanya memandang beberapa pasang orang yang lalu lalang di lorong hotel itu. Sepertinya mereka tidak begitu peduli dengan Ira dan Han yang sedang duduk dikursi depan kamar. Mungkin orang-orang kaya memang seperti itu, tidak mau tersenyum pada orang lain?

“Han…apa yang kamu pikirkan?’

“Tidak jauh beda, masih saja kamu.”

“Boleh tau nggak?”

“Ya…masih seputar mimpi tentangmu, menikah lalu hidup berbahagia selamanya, tapi siapa aku dan siapa kamu yang masih belum bisa aku pecahkan? Aku belum bisa menemukan alur cerita yang tepat untuk ending kisah bahagia itu. Apalagi tokoh yang ada?”

“Tokoh yang kamu maksud adalah aku dan kamu?”

“Ya…tapi apa mungkin, aku bukan pangeran, aku bukan siapa-siapa. Aku juga tidak mempunyai sepatu kaca. Jangankan harta, orang tuapun tidak jelas dimana? Bagaimana aku bisa meminangmu? Memang kamu bukan ratu, tapi kecantikanmu itu

melebihi ratu manapun, semuanya…sempurna untuk seorang wanita.”

“Itu dari luar Han, apa kamu tau apa yang ada didalam tubuhku? Virus yang paling mematikan dan paling ditakuti. Siapa saja akan enggan menyentuhku, semua orang yang dekat denganku kemungkinan besr akan mati”

Han terdiam mendengar kata-kata itu. Suasana menjadi sangat hening, hanya terdengar bunyi sepatu dari seorang pelayan yang berjalan di ujung lorong.

“Apa yang kamu harapkan dariku Han?”

“Kasih sayang.”

“Hanya itu?”

“Iya.”

“Cinta?”

“Aku punya pendapat lain tentang cinta.”

“Apa?”

“Cinta datangnya dari hati. Cinta adalah hak yang dimiliki seseorang dan cinta itu tidak dapat kita berikan atau kita terima dari siapapun, dia adalah hak yang wajib kita jaga. Menurutku, sepasang manusia hanya mampu memberikan kasih sayang dan itulah yang kita lihat. Bagai mana mereka berpacaran, saling memegang, memeluk, mencium dan sebagainya adalah bukti bahwa mereka saling menyayangi.”

“Apa kamu mengatakan itu pada banyak orang?”

“Iya.”

“Apa pendapat mereka?”

“Relatif, ada yang setuju ada yang tidak, menurutmu?”

“Aku tidak tau!”

“Sebenarnya hanya satu yang akutakutkan dari ini semua!”

“Apa? Takut mati?”

“Bukan, aku takut bila orang mengira bahwa aku menikahimu karena kamu kaya”

“Ha…ha…itu bukan sebuah alasan yang tepat untukku.”

“Kenapa?”

“Entahlah…tapi kekayaan itu tidak abadi.”

“Ya…tapi tetap saja orang akan berkata seperti itu, apalagi media massa, mereka pasti akan memberitakannya.”

“Lalu?”

“Seorang gelandangan menikahi gadis kaya, mungkin itu yang akan mereka tulis” “Tidak Han…itu tidak akan terjadi. Kamu punya bakat kenapa tidak kau gunakan itu?”

“Apa?”

“Menulis! Aku tau kamu seorang penulis, gunakan itu untuk menjadi sedikit terkenal atau setidaknya kamu mempunyai sebuah sebutan yang lebih baik dari pada seorang gelandangan!”

“Misalnya?”

“ Seorang penulis menikahi dengan gadis HIV positif, mungkin itu lebih baik dan lebih menggegerkan?”

“Ha…ha…kamu lucu ya?”

“Tapi aku masih ingin tahu alasanmu yang sebenarnya untuk menikahiku?”

Han terdiam cukup lama, dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kali ini dia benar-benar bingung. Lalu Han mengeluarkan sebungkus rokok dari tas pinggangnya. terlebih dahulu Han meminta ijin pada Ira untuk menyalakannya. Gadis itu mengangguk pelan, dia tau Han sedang bingung.

“Aku tidak tau apa yang akan terjadi setelah ini, namun satu yang perlu kamu ingat, semua yang akan aku katakan adalah sebuah kejujuran!”

“Aku harap kamu benar Han!”

“Begini, mungkin ini adalah sebuah garis takdir dimana aku harus dipertemukan denganmu. Yang kedua ini adalah sebuah penebusan dosa dariku. Yang ketiga aku sedang mencari sebuah kasih sayang yang sangat tulus dan itu hanya ada padamu. Yang keempat, aku ingin menjadi mukjijat untuk dirimu, aku dan orang lain. Hanya itu yang bisa aku katakana”

“Han…boleh aku bertanya?”

“Iya!”

“Pertama tentang penebusan dosa?”

“Oh…maksudnya begini, aku dulu orang yang sangat-sangat memuakkan. Aku adalah petualang yang hebat, dari kota kekota dari rumah kerumah dan dari ranjang ke ranjang, semua kulakukan. Dari hati ke hati yang kubuat menangis, lalu sampailah aku dikota ini dan menemukan makna sebuah kehidupan, keras, menyakitkan, kejam dan aku berusaha menjadi lebih baik.”

“Bagaimana dengan mukjijat yang kamu maksud?”

“Itu kata-katamu, kamu bilang bila saj ada yangmau menikah denganmu, itu adalah mukjijat dari Tuhan, mungkin aku terlalu munafik. Tapi…aku ingin membuktikan, Tuhan Maha Kuasa dari segalanya, mungkin saja aku mati bersamamu, mungkin juga kita akan bahagia sampai tua, siapa yang bisa menentukan kematian selain Dia? Lalu…walau ini hanya sekedar mimpiku, orang akan melihat bahwa HIV bukanlah hal yang menakutkan, bukanlah sebuah jalan kematian yang mengerikan, tidak selalu menderita, mereka juga bisa bahagia.”

Tanpa sadar Han memegng tangannya dengan erat. Gadis cantik itu hanya tersenyum diantara tetes air matanya yang mengalir pelan. “Ira…tunggulah aku beberapa saat saja tidak akan lama.”

“Untuk apa?”

“Untuk menikah denganmu, untuk sebuah kehidupan bahagia bersama, untuk

seorang anak yang kau impikan, untuk apa saja yang kita harapkan.”

“Kenapa harus menunggu?”

“Biarkan aku menbersihkan diriku, biarkan aku menjalani hidup ini apa adanya, dan biarkan aku menjadi seseorang yang lebih terhormat dari sekarang, biarkan Tuhan menunjukkan kuasa-Nya pada kita.”

“Tapi Han?”

Ira terdiam. Tidak melanjutkan kata-katanya.

“Kenapa?”

“Ini bukan masalah ekonomi, bukan pula tentang yang lain tapi…”

“Tapi apa?”

“Tentang usia Han!”

“Usia?”

“Ya…kamu jauh lebih muda dariku. Itu yang aku tidak bisa terima!”

Han terdiam. Matanya tajam memandang memandang gadis di depannya. “Han…kita berbeda usia sembilan tahun. Itu akan menjadi masalah saat aku mulai tua. Aku tidak mau itu terjadi Han!”

Ira tiba-tiba saja memeluk pemuda di hadapannya. Tangannya gemetar, dadanya berdebar kencang.

Han masih terdiam. Dia tidak menyangka kalau Ira lebih tua darinya.

“Han. Dengan mengenalmu, lebih dari mukjijat yang aku harapkan. Tapi sepatu kacamu bukan untukku. Carilah gadis lain Han!”

“Tidak. Aku mau kamu!”

“Han!”

Pelukan itu semakin erat. Seerat keinginan untuk menjadi satu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience