DUA PULUH DUA

Romance Completed 65599

Setelah mengantar Ira, Han pulang kerumah. Belum terlalu sore, tapi tamantemannya sudah datang semua.

“Dari mana Han?”

“Dari jalan-jalan, Nina tadi pulang ya Rif?”

“Iya…Ibunya sakit.”

“Kami tadi mencarimu tapi kamu sudah tidak ada, kemana?”

“Anu Jack…aku baru saja bertemu dengan Ira.”

“Ira siapa?”

“Itu, wanita dalam Koran.”

“Ha…serius?”

Arif dan Jack mengucapkan kata-kata itu bersamaan.

“Iya.”

“Dimana?”

“Tuh, dihotel dekat kampus.”

“Gimana, cakep nggak?”

Han tidak segera menjawab pertanyaan Jack, dia tau mereka sangat penasaran dengan wanita itu.

“Aku sendiri bingung mendeskripsikannya.”

“Cakep nggak?”

“Waduh…lebih dari sekedar cantik.”

“Pucat nggak?”

“Ha…ha…aku juga mengira sama sepertimu Rif, tapi jauh dari gambaran orang sakit.”

“Benar?”

“Iya…dia itu montok habis, kulitnya kuning langsat, bibirnya merah merekah, rambutnya ah…pokoknya tidak bisa dibayangkan.”

“Iya.”

Han tau, mereka berdua tidak begitu percaya.

“Aku mandi dulu ya?”

“Mau pergi lagi?”

“Iya, jam empat mau jemput Ira, katanya pingin jalan-jalan.”

Mereka berdua hanya saling pandang, entah apa yang ada dipikiran Jack dan Arif saat itu. Langkah tergesa Han tidak mampu meyakinkan mereka. Saat Han keluar dari kamar mandi, mereka masih duduk disofa yang sama dengan posisi yang sama pula, mungkin dari tadi mereka membicarakan tentang apa yang baru saja di katakan Han. Setelah merasa rapi Han duduk didekat mereka berdua.

“Pay mana Jack?”

“Tidur.”

“Kalian ada acara tidak?”

“Tidak ada, paling-paling cuma nonton berita.”

“Ingin bertemu dengan wanita misterius itu tidak?”

“Misterius gimana?”

“Misterius menurut kalian, ha…ha….”

“Gila…cara tertawa yang hebat.”

Han melihat kearah Arif, memang dia benar karena mungkin baru kali ini Han tertawa seceria itu.

“Kalau mau, dan kalian tidak acara nanti aku kasih kabar, dimana kita harus bertemu.” “OK, aku tunggu.”

“Aku pergi dulu ya, semoga kalian tidakmembicarakan aku yang bukan-bukan!”

“Ha…ha…hati-hati Han!”

Arif dan Jack mengantar Han hingga depan pintu. Sebentar kemudian Han telah melaju pelan dijalan raya.

Han menunggu Ira ditempat parkir, diyalakan sebatang rokok sambil membaca buku yang tadi dibawa dari rumah. Cukup lama Han duduk diatas motor, sekitar satu jam lebih, namun pergerakan waktu sepertinya tidak begitu terasa. Dari balik pintu kaca Ira muncul dengan senyumnya yang sungguh-sungguh manis.

“Sudah lama Han?”

“Enggak, baru dua menit,” Han memberikan helm padanya.

“Pulang dulu ya!”

“Kemana?”

“Ha…ha…kamu…”

Belum sempat Ira melanjutkan kata-katanya, Han sudah mendahuluinya.

“Kamu lucu ya?”

Gadis itu tertawa semakin lebar, sampai matanya terpejam.

“Kemana?”

“Ke hotel dulu , aku mau mandi.”

“Wah…aku harus nunggu diluar dong!”

“Terserah mau nunggu dimana, distasiun juga nggak apa-apa.”

Selama perjalan singkat itu mereka hanya bercanda, sungguh waktu berjalan sangat cepat karena tanpa terasa Han sudah bertemu dengan pak satpam yang ramah lagi seperti tadi pagi.

Mereka langsung naik kelantai tiga setelah mengambil kunci di resepsionis yang juga cantik itu. Han hanya duduk di kursi rotan, tapi kali ini dia lebih memilih berada di teras kamar hotel. Han takut akan mengganggu acara mandi gadis itu.

“Silahkan mandi dulu, aku menunggu diluar saja!”

“Kenapa!”

“Ha…ha…takut mengganggumu.”

“Nggak apa-apa, masuk kedalam saja!”

“Tidak ah…takut.”

Han tetap ngotot berada diluar kamar. Ira kemudian mengeluarkan makanan kecil dari dalam, dan meletakkan di meja kecil. “Ya…sudah kalau tidak mau masuk, hati-hati ya?”

“Ha…ha…kamu cantik.”

“Cantik apa lucu?”

“Cantik dan lucu.”

Ira kemudian masuk kembali, Han menikmati makanan kecil itu sambil menyalakan sebatang rokok.

Kini Ira keluar lagi dengan aroma yang sangat khas, orang-orang kaya. Baju yang dikenakannya pastilah buatan desainer pribadi, celananya pastilah dijahit oleh penjahit pribadi. Semuanya serba pas dan cocok. Han hanya memandangnya dengan penuh kagum.

“Orang kota mandinya lama ya?” sebenarnya Han tidak ingin menyindirnya.

“Biasa, sudah lama tidak mandi.”

Han tau jawaban itu juga asal dan sekenanya saja, entah kenapa dari tadi mereka belum menbicarakan hal-hal serius, hanya bercanda dan tertawa.

“Mau makan dimana Han?”

“Dimana saja, asalkan produksi dalam negeri.”

“Kenapa?”

“Produk luar itu belum tentu sehat, apalagi dikantong.”

“Ha…ha…kamu lucu ya?”

“Benar nggak?”

“Iya sih…saya juga tidak suka makanan yang gituan.”

“Jadi makan nggak?”

“Dimana?”

“Ditempat biasa aku makan mau?”

“Dimana?”

“Yang pasti temapatnya tidak ber-AC, tapi dijamin puas”

“Dimana?”

“Pedagang kaki lima.”

“Dipingir jalan, asyik juga tuh.”

“Ini bukan dipinggir jalan, ini tempat khusus untuk orang-orang yang menyukai aneka menu.”

“Terserah kamu saja deh.”

Saat gadis berkemas atau barang kali sekedar mengambil tas, Han mengirim sms pada Jack.

‘Aku menunggunya ditempat biasa’

Matahari sudah mulai tenggelam saat mereka keluar dari hotel itu. Langsung saja motor melaju pelan menuju kesuatu tempat yang menurut Han sangat menyenangkan, dimana disana para penjual berjajar dan sibuk melayani para pembeli yang rata-rata pelajar atau mahasiswa. Makanan dan minumannya juga beraneka macam. Han menyapa tukang parkir langganannya, lalu menuju kesebuah meja yang ada disudut ruang itu. Ira mengikutinya dengan senyum simpul, kebetulan sekali disana ada beberapa orang yang kenal dengan Han. Bukan hanya para penjual, tapi juga beberapa

teman kampusnya yang sudah menjadi pelanggan tetap tempat ini.

“Kamu orang terkenal ya Han?”

“Bukan…tapi kebetulan saja mereka mengenalku, dan aku mengenalnya.”

“Wah…banyak seniman ya?”

“Bukan seniman, hanya orang yang peduli dengan seni.”

“Kamu sering makan disini?”

“Tidak begitu sering.”

Han melihat Pay, Arif dan Jack datang, mereka duduk di sudut yang lain. Han purapura tidak melihat mereka, begitu pula ketiga sahabatnya.

“Mau makan apa?”

“Ah…jadi bingung, menunya buanyak banget.”

“Ya…namanya juga kaki lima, kakinya saja lima, apalagi menunya?”

“Aku mau tempe penyet Surabaya, kelihatannya sambalnya pasti pedas.”

“Iya, itu juga makanan favoritku, Cuma ditambah tahu sama telor.”

“Wah…sama aja deh.”

“Minumnya?”

“Jus mangga aja deh.”

“Aku memesan menu kesukaanku dua porsi.”

Sambil menunggu pelayan menyiapkannya, Han mulai menyinggung tentang teman-temannya yang duduk di meja yang lumayan jauh dari mereka. “Eh…kamu lihat tiga orang cowok yang duduk disudut saa itu tidak?” Han menunjuk meja yang ada di ujung sebelah barat, walaupun hampir terhalang sepuluh meja lebih, mereka tetap terlihat dan Ira menggangguk.

“Ya.”

“Yang baju biru itu pasti makan semur jamur, terus yang pakai hitam pasti makan nasi goreng pete, terus yang pakai switer kotak-kotak pasti makan mie kocok telor.”

“Ah bohong, mereka saja baru datang.”

“Ye…masak tidakpercaya denganku?”

“Kamu tau dari mana?’

“Mereka itu sering tidur denganku.”

“Ha…kamu homo?”

“Bukan, mereka teman satu kontrakan denganku, dan mereka selalu makan disini

setiap hari.”

“Oh…kalian tinggal berempat?”

“Iya.”

“Kenapa tidak diajak gabung sama kita saja?”

“Kamu tidak malu punya teman seperti mereka?”

“Malu? Tidak sebaliknya kamu yang malu berteman denganku?’’

Mungkin ucapan Han yang baru saja itu menyinggung perasaan Ira. Lalu han berusaha mengalihkan perhatiannya.

“Ha…ha…mereka itu sifatnya menjengkelkan, suka iseng suka jahil pokoknya macem-mecem. Saya jamin kamu pasti terpingkal-pingkal dengan ilah mereka. Saya panggil sebentar ya!”

Han langsung melangkah menghampiri mereka. Lalu dia berbisik supaya mereka tidak menyinngung hal-hal yang bersifat pribadi.

“Sepertinya aku baru saja membuatnya tersinggung, jadi tahan omongan! Buat dia tertawa degan joke segar kalian! Jangan menyinggung hal pribadi tentangnya. OK?”

“OK bos!”

Setelah melakukan persetujuan kecil itu mereka melangkah bersama. Han sempat melirik kearah Arif, wajahnya terlihat tegang, jalannya-pun terkesan kaku dan ragu-ragu.

“Ini teman-temanku, mau dikenalkan apa kenalan sendiri?”

“Terserah kamu deh!”

“Ok. Aku yangmengenalkan ya!. Ini namanya Pay. Pay ini Ira teman baruku.” Pay dengan sangat sopan mengulurkan tangannya.

Selanjutnya Jack dan Arif. Setelah perkenalan singkat itu mulailah mereka berbicara sendiri- sendiri. Seperti apa yang diminta Han , sahabat-sahabatnya lebih banyak mengeluarkan guyonan dari pada pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi. Malam sudah semakin larut, mungkin saat itu sudah jam sembilan lebih. Tidak terasa hampir tiga jam mereka ngobrol bersama.

“Ira mau diantar pulang sekarang?”

“Boleh.”

“Mbak Ira kalau ada mau mampir ke gubuk kami ya!”

“Iya Pay, aku pasti kesana suatu saat nanti.”

“Tapi kalau kesana ada syaratnya lho Mbak!”

“Apa Jack?”

“Setidaknya makanan ringan, atau sekeranjang buah-buahan”

“Ha…ha…iya pasti kubawakan.”

“Jangan denger omongan Jack Mbak! Seadanya saja.’’ “Ha…ha…,’’ Semua tertawa.

Mereka sepertinya sudah akrab, tinggal nanti entah bagaimana kritik dan saran yang akan di terima Han. Tentu saja kriti dan saran dari sahabat-sahabat terbaiknya itu. Mereka berpisah ditempat itu, Han mengantar Ira kembali ke hotel sedangkan teman-temannya mungkin langsung pulang. Sepanjang jalan Ira masih membicarakan tentang mereka bertiga.

Kini Han sudah duduk dikursi rotan yang berada didekat tempat tidur mewah itu.

Matanya tidak pernah lepas memandangi gadis di sampingnya.

“Kenapa Han?”

“Ah…tidak, aku hanya heran denganmu.”

“Heran?”

“Ya.”

“Apa aku terlalu aneh?”

“Bukan, sudah sering aku katakana, kamu terlalu cantik.”

“Ha…ha…,pujian kuno.”

“Aku tidak memuji, hanya ingin sedikit berbagi.”

“Tentang apa?”

“Tentang senyummu, tentang matamu, tentang rambutmu dan tentang apa saja mengenai dirimu.”

“Ha…ha…”

Lagi-lagi Han harus berdebar dengan tawa itu, huh…sungguh luar biasa, pasti tidak akan ada yang menyangka kalau dia itu dekat dengan maut. Han juga heran kenapa dia begitu sering memimpikannya, padahal Han hanya melihatnya di dalam koran.

“Apa benar, kamu yang dikoran tempo hari?”

“Mungkin.”

“Kok mungkin?”

“Ya…kamu melihatnya bagaimana, sama apa tidak?”

“Tidak.”

“Maksudnya?”

“Jauh dari bayanganku, kukira kamu itu kurus, pucat, terus tidak pernah tertawa”

“Ha…ha…kamu lucu ya?”

“Ya…ya…aku memang lucu.”

Setelah puas berbincang dengannya, Han pamit pulang karena waktu sudah malam.

“Aku pulang dulu ya!”

“Kenapa?”

“Ha…ha…sudah malam dan aku rasa kamu butuh istirahat, kalau boleh besok aku datang lagi kesini?” “Dengan senang hati.”

Ira mengantar hingga ketempat parkir, sungguh senyumnya membuat hati berdebar kencang.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience