DUA PULUH LIMA

Romance Completed 65599

Pagi-pagi sekali Han bangun. Secepat kilat dia berlari kekamar mandi. Setelah itu Han memacu motornya menuju hotel tempat Ira menginap. Debu yang mulai menyengat seakan tidak di rasa olehnya.

Setelah sampai di hotel dia langsung bertanya pada seorang resepsionis.

“Maaf Mbak, Ira sudah cek out?”

“Sudah, tadi menunggu Mas Han lama sekali.”

“Sekarang?”

“Baru saja berangkat dengan taksi.”

“Ya sudah terima kasih Mbak!”

“Sama-sama Mas.”

Han berlari menghampiri motornya. Memacunya lagi menuju ke Bandara.

Beberapakali lampu merah tak di hiraukannya. Untung saja pos-pos polisi di setiap persimpangan itu hanya di tempati oleh beberapa anak jalanan dan pengemis yang sedang beristirahat. Han bangun kesiangan. Seharusnya setengah jam lalu dia harus mengantar Ira ke Bandara.

Setibanya di Bandara dia langsung berlari mencari-cari Ira. Tapi Ira tidak di temukannya. Han lalu menayakankan tentang keberangkatan pesawat tujuan Jakarta, dan pesawat itu sudah berangkat sepuluh menit yang lalu.

Han lalu melangkah keluar lalu terduduk lesu di kursi taman depan bandara. Dia hanya mengamati orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. Sudah hampir dua jam dia duduk di kursi itu. Nafasnya jarang-jarang tapi panjang. Sudah berpuluh-puluh batang rokok yang menemaninya.

Dengan langkah lesu pemuda itu meninggalkan Bandara. Motornya bergerak pelan. Melintasi jalan-jalan kota lalu dia menghentikan motornya di tepi jalan. Pemuda itu lalu duduk di kursi taman kota. Memandang lampu merah yang berganti warna setiap satu menit sekali. Gedung pemerintah di hadapannya tampak sepi dan sunyi. Hanya bendera merah putih yang berkibar congkak. Secaongkak pintu pagar yang berdiri kokoh.

Dua orang gadis duduk di kursi panjang sebelahnya. Han tidak menoleh sedikitpun. Pemuda itu masih sibuk dengan penyesalannya. Menyesal karena tidak bisa mengantar Ira pulang. Asap dari rokoknya membubung tinggi namun tidak bisa menjangkau bendera yang tadi.

“Bagaimana dengan sepatu kacanya?”

Han terperanjat mendengar suara gadis disampingnya. Pemuda itu melihat kerah kedua gadis yang mebicarakan sepatu kaca. Tapi Han tidak mengenal mereka. Tapi dia menyimak tentang obrolan siang itu.

“Anggi, apa kamu percaya tentang sepatu kaca?”

“Tidak Wie, sepatu kaca itu kan hanya dongeng”

“Tapi apa kamu percaya kalau ada pengeran?”

“Percaya, kalau pangeran sekarangpun masih banyak. Di Inggris, Brunei, Solo bahkan Yogya ini!”

“Tapi apa mereka punya sepatu kaca?”

“Tidak harus seorang pangeran yang menemukan sepatu kaca! Gelandanganpun bisa!” Han tiba-tiba saja menyela obrolan kedua gadis itu.

Kedua gadis itu memandang kearah Han dengan tatapan tajam. Han lalu mengulurkan tangannya.

“Han,” ucapnya singkat.

Dengan sedikit ragu-ragu Anggi menyambut salam perkenal itu.

“Anggi,”

Seorang gadis lagi terlihat lebih ragu. Cukup lama Han harus mengulurkan tangannya.

“Dwie,” ucap gadis itu sambil cepat-cepat melepaskan tangan pemuda aneh di hadapannya.

“Apa kamu percaya sepatu kaca?” “Hmm…gimana ya Mas?”

“Dia itu percaya Mas Han!” Anggi menunjuk kearah Dwie yang tersipu malu.

“Apa Dwie suka tomat?”

Dwie yang mendapat pertanyaan seperti itu terlihat bingung.

“Kagak nyambung banget sich Mas!?”

“Ha…ha…maaf saya tidak pernah berbicara dengan gadis secantik kamu jadi gini

deh. Bingung!”

Untuk kesekian kalinya Dwie terdiam.

“Dasar orang aneh!” itu yang ada di hatinya.

Han lalu melangkah pergi meninggalkan mereka berdua tanpa sepatah katapun.

“Dasar orang aneh!”

“Hus…kalau dia dengar kan nggak enak Wie!”

“Biarin, memang dia itu aneh kan?”

“Ha…ha…tapi kamu suka ya?”

“Ih…amit-amit.”

“He…kalian masih membicarakan aku?”

Kedua gadis itu terkejut, karena tiba-tiba Han muncul di belakang mereka.

“Nich…buat di baca, jangan di buang sembarang tempat!”

Han memberikan dua lembar kertas. Setelah itu dia melangkah pergi meninggalkan kedua gadis itu. Memacu motornya pelan. Sementara Anggi dan Dwie masih terpaku.

“Apaan Wie?”

“Semacam cerpen.”

“Coba lihat!” Anggi menyahut kertas yang di pegang Dwie.

“Lihat, judulnya sepatu kaca.”

Dwie lalu membaca deretan huruf-huruf kecil itu. Sebuah cerita mingguan yang terkesan aneh.

“Wie…kalau kamu penasaran kamu bisa telphon dia lho! Nich ada email dan nomer handphone segala!”

“Tapi itu kan untuk kritik dan saran.”

“Ha…ha…ketahuan kalau kamu menyukainya!”

“Apaan sich!”

Dwie membaca cerpen itu dengan tenang. Tidak di hiraukan olehnya ratusan orang yang lalu-lalang di hadapannya. Tidak pula dengan sahabatnya yang duduk disebelahnya. Dihayatinya kata demi kata, kalimat demi kalimat.

“Indah,” gumannya lirih.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience