TIGA BELAS

Romance Completed 65599

Malam itu Han masih sibuk dengan komputernya. Nina masih terlalu asyik dengan candanya diruang tengah bersama Jack dan Pay, Arif sudah terbawa kealam mimpi dikamarnya. Seperempat menit kemudian, Han merebahkan tubuhnya. Mengamati kamarnya yang semakin rapi, melihat seprei biru diatas kasur. Dia tau seprei itu bukan miliknya, itu punya Nina. Mengamati vas bunga kecil diatas meja dekat cermin yang tertata rapi berdampingan dengan beberapa kosmetik. Lalu pemuda itu hanya bisa tersenyum, memeluk guling dan memejamkan matanya, walau tidak tidur, dia tetap diam tidak bergerak.

Sejurus kemudian, Han merasakan ada yang datang, dari Aromanya saja dia tau kalau itu Nina, tapi dia tidak merubah posisi atau bergerak. Han memilih untuk tetap diam. Nina merebahkan tubuhnya disamping Han, mungkin dia mengira pemuda itu telah tertidur. Pelan tapi pasti Nina melingkarkan tangannya kepinggang Han yang membelakanginya. Gadis cantik itu tidak memejamkan matanya tapi menerawang jauh entah kemana. Dari matanya yang bening itu menitikkan air mata. Desah nafasnya seakan sesak oleh isak yang tertahan, dan itu menimbulkan satu pertanyaan pada pemuda yang dipeluknya. Han dapat merasakannya karena mereka sangat dekat. Karena mereka hanya terhalang sehelai kain yang mereka kenakan.

Perlahan-lahan Han membalikkan tubuh, mengamati gadis itu dengan senyumnya. Han tau gadis itu menangis, Kemudian tangannya mengusap air mata itu dengan penuh kasih sayang.

“Menangislah didadaku Nin… curahkan semuanya disini,”Han membimbing kepala gadis itu untuk disandarkan didadanya. Tangisan Nina semakin menjadi sesampainya didada bidang yang sebenarnya berdebar kencang. Air matanya tertumpah bagaikan banjir bandang yang tertahan ribuan tahun lamanya. Han mendekapnya dengan erat, membelai rabutnya dengan sejuta kasih sayang. Sungguh roman yang tidak dapat ditebak. Perasaan yang tersembunyikan oleh senyum itu tetap menjadi sebuah kisah yang terpendam.

Cukup lama gadis itu menangis, sampai pada akhirnya dia tersenyum diantara pipinya yang basah, diantara air mata yang menggenang didada pemuda yang hanya terdiam dari tadi. Han mengusap sisa-sisa air mata yang mengikis bedak tipis diwajah Nina yang tetap ayu. Membiarkan sebagian tubuh gadis itu berada diatas tubuhnya, sambil sesekali menyibak rambutnya yang tergerai bebas.

“Tidurlah Nin.”

“Terima kasih ya, kamu telah menjadi sahabat terbaikku selama ini.’’

“Aku juga berterima kasih padamu, karena kamu juga aku jadi rajin kuliah.” Gadis itu meletakkan kepalanya kembali, kali ini dengan senyumnya bukan dengan air mata.

“Han…apa kamu pernah putus cinta?” tanya Nina tiba-tiba.

“Pernah bahkan tidak sekali,” ucap Han dengan jujur.

“Apa kamu membenci mantan-mantanmu?” tanya Nina lagi.

“Tidak, bahkan kami masih sering makan bareng atau sekedar berlibur ketepi pantai berdua kalau ada waktu.”

“Kalau dia bersama pacar barunya, apa kamu tidak sakit hati?’

“Pertama sih iya, tapi lama-kelamaan jadi terbiasa, kalau kita sudah yakin kenapa tidak.”

“yakin dengan apa?’’ Nina menatap Han.

“Dengan perasaan kita sendiri, seberapapun sakit hati itu tidak akan bisa hilang bila kita tidak berusaha untuk melupankannya walau itu sangatlah sulit.’’

“Apa kamu sekarang sudah mempunyai ganti?”

“Sementara belum, tapi aku masih ingin sendiri. Menyelesaikan kuliah, kerja lalu cari pacar lagi,” Han tersenyum mengatakan itu, setidaknya dia sudah mengungkap sedikit persaanku dan telah membuka suatu tabir atau bisa dikatakan sebuah penolakan secara halus.

Gadis itu tersenyum, memandang kearah Han dan meletakkan kepalanya lagi.

“Nin…apa kamu pernah putus cinta?”

“Pernah, bahkan tidak sekali.’’

“Ha…ha….’’ Han tertawa karena gadis itu menggunakan jawaban yang sama dengan apa yang dikatakannya beberapa menit yang lalu.

“Berapa kali?’

“Ah…aku malu mengatakannya,” Nina merebahkan kepalanya lagi.

“Kenapa harus malu?’’

“Nggak tau.’’Gadis itu semakin manja, pipinya memerah dan beberapa kali dia melihat kearah Han yang masih saja tersenyum. “Aku mengira semua lelaki sama Han.”

“Maksudnya?” Han membelai rambut gadis itu.

“Ya…berkenalan dengan cewek, jadian lalu berakhir diranjang. Setelah itu putus cari lagi dan begitu seterusnya.’’

“Ternyata?” Han mengajukan sebuah pertanyaan singkat.

“Ternyata tidak semuanya,’’katanya pasti.

“He…he….’’Tawa kecil itu membuat suasana malam itu menjadi semakin hangat. “Maaf ya Nin, aku datang kekota ini dengan sejuta harapan, berharap menemukan cinta dan dapat hidup dengan mapan. Tapi kenyataannya adalah sebaliknya. Dulu aku mengira dapat mendapatkan cinta dengan cepat, instant-lah…tapi ternyata cinta itu sangat rumit untuk dimegerti, sangat susah untuk dipahami,” lanjut Han. “Apa kamu sudah mendapatkannya saat ini?” tanya Nina lagi.

“Aku tidak tau, kalau dulu aku berharap kekasihku adalah wanita cantik sekarang tidak lagi. Kalau dulu aku berharap hidup serba kecukupan, sekarang tidak lagi. Aku hanya berharap dapat mewujudkan impianku, bersanding dengan orang yang aku cintai.

Hanya itu….”

Nina terdiam sejenak, menarik nafasnya dalam-dalam setelah mendengar curahan hati dari lelaki yang sekarang mendekapnya dengan penuh kehangatan dan lelaki itu tetaplah Han. Pemuda yang berharap menemukan pemilik sepatu kaca dalam mimpinya.

“Han…apakah kamu mau berjanji padaku?”

Han tidak menjawab, berpikir keras untuk memberikan kata ‘Ya’, takut gadis itu akan memintanya menjadi pacar atau kekasih, dia takut itu. Atau mungkin pemuda itu yang terlalu ‘gr’ sehingga mempunyai pikiran yang macam-macam.

“Han…apakah kamu mau berjanji padaku?” Gadis itu mengulang pertanyaan yang sama setelah sekian menit tidak ada jawaban.

“Ya,” dengan suara sangat pelan, seakan sangat berat namun akhirnya kalimat itu yang terucap.

“Kamu jangan marah ya?” kata Nina semakin melemah.

“Ya,’’ ucap Han lirih.

“Tapi sebelumnya aku minta maaf padamu, karena selama ini aku hanya mencari tempat bertambat untuk membuang semua rasa kecewaku. Aku tidak tau kenapa aku memilihmu sebagai dermaga untuk kusinggahi.”

Han membelai rambut Nina, menarik nafas pelan dan menghembuskannya dengan pelan namun penuh arti adalah pilihan paling tepat. Semua sesak itu telah hilang bersamanya.

“Han…apa kamu merasa kalau aku mempermainkanmu?”

“Tidak,” sahut Han yakin.

“Sebelum aku mengenalmu lebih dekat, aku sangat membenci laki-laki, terlalu sering aku sakit hati olehnya. Lalu kamu dan ketiga sahabatmu mampu merubah itu semua, aku menyayangi kalian semua,” matanya berkaca-kaca.

“Aku harus berjanji apa padamu Nin?” lanjut Han sambil menatap Nina tajam.

“Jangan mencari pacar dulu ya!” pinta Nina penuh harap.

“Kenapa?” Han tersenyum kecil.

` “Karena aku masih membutuhkan kasih sayang dari kalian, kalianlah yang mampu membuatku tersenyum. Hanya kamu dan teman-temanmu Han…’’

“Iya,” sambil tersenyum lebar, seakan Han terbebas dari semua rasa bersalah. Terbebas dari penjara praduga yang pengap. Han bebas karena tidak harus mengucapkan cinta pada gadis itu.

“Nin…aku berjanji, aku akan melakukan apapun yang kamu pinta.” “Semuanya?”

“Ha…ha…memangnya aku mailakat yang bisa memberimu apa saja?’

Sedetik kemuadian mereka tertawa. Hilang sudah isak tangis dan kepenatan yang tersimpan lama, berganti dengan tawa yang tentunya membuat mereka bahagia.

“Sekarang yang aku pikirkan adalah hubungan kita Han.”

“Kenapa?”

“Kedekatan kita sudah melebihi dari sekedar teman, tapi kita tidak pacaran kan?”

“Itu juga yang selama ini mengganjal dipikiranku, lalu menurutmu bagaimana?” “Aku juga bingung, jujur saja ya, aku senang berada dipelukanmu, aku senang dekat denganmu bahkan bahagia, tapi rasa cinta itu tidak ada sama sekali, hanya rasa sayang yang begitu besar,” kata itu mengalir dengan pelan dan penuh kejujuran.

“Akupun juga merasakan hal yang sama, bahagia bisa bersamamu, aneh ya kita ini?”

Dengan senyumnya yang tulus, gadis itu bangun. Mendekatkan wajahnya kepadan Han. Sepertiga detik kemudian bibir lembut itu sudah berada dikeningnya. Sungguh romantis, gerai rambutnya hampir menutupi seluruh wajah pemuda itu, lembut. Desah nafas itu jelas tertahan.

Malam dengan sendirinya berganti pagi, mereka berdua masih saja menjadi satu.

Saling mendekap dalam mimpi yang indah, dalam lamunan yang tentunya tanpa batas. Lamunan yang berbeda, atau barangkali jauh berbeda, walau dari tempat yang sama asalnya, dari kamar itu, dari ranjang itu dan tentunya dari dekapan itu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience