DUA PULUH TIGA

Romance Completed 65599

Sudah satu minggu Ira berada disini, Satu minggu pula Nina pulang. Selama itu pula Han hampir melupakan gadis yang sering menemaninya. Sama sekali dia tidak terlintas dalam cerita-cerita yang di buat Han. Selalu saja Ira dan Ira yang menjadi tokohtokoh yang ditulisnya. Wanita cantik itu telah memaksa otaknya untuk menjadikannya masuk dalam kisah-kisah singkat. Tapi tiba-tiba saja Han teringat Nina malam ini. Ya…gadis itu yang selalu menemani mimpinya. Han meraih hanphone yang tergeletak didekat komputer. Pemuda itu ingin menanyakan kabarnya.

Han lalu menulis pesan singkat pada Nina

‘Nin..IBu gimana? Kapan kembali, kangen nich!?’

Lama Han menunggu balasan dari Nina. Sepertinya Dia merindukan aroma tubuhnya, merindukan desah nafasnya yang pelan. Han beranjak dari ranjang, mengunci pintu kamar dan melangkah kearah almari pakaian. Tak satupun baju Nina yang ditemukannya, dibagian lain juga tidak ada sama sekali.

“Ah…Nina, biarkan aku memeluk bajumu yang harum itu, tapi dimana?” kata itu yang terucap dari dalam hatiknya.

Memang beberapa hari ini Han tidak membuka almari pakain yang sebelah, karena satu minggu yang lalu lemari itu penuh baju-baju Nina. Tapi kini tak satupun yang tertinggal. Han mengamati sekeliling, tetap…ruangan ini tidak berubah sama sekali, tapi…foto diatas meja dekat cermin itu tidak ada lgi.

Han seperti orang bingung, lalu diraihnya handhone itu dan mencari nomer nina.

‘nomer yang anda…’

Beberapa kali Han mencoba namun hanya kata-kata itu yang terdengar.

“Nina…dimana kamu?”

Tubuhnya seperti lemas dan terbaring begitu saja dilantai. Beberapa menit kemudia dia lalu berdiri melangkah tergesa kearah pintu, mungkin Nina menitipkan sesuatu pada sabat-sahabatnya. Han menuju kamar Arif. “Rif Nina kemarin ada nitip sesuatu nggak?”

Namun Arif sudah tidur, dia tidak menjawab pertanyaan. Han tidak ingin mengganggu tidurnya, dia menjauh dari ranjang dengan pelan.

“Ada.”

Han kaget oleh suara itu, ternyata Arif terbangun. Dia cepat-cepat melangkah kearah sahabatnya yang masih terbaring.

“Apa?”

“Ini.”

Arif mengambil sebuah amplop dari bawah bantalnya, amplop itu sudah terlihat lusuh. Dengan cepat Han menyambarnya.

“Kenapa tidak kau berikan dari kemarin-kemarin, ini kan amanat?”

Sepertinya Han marah atau sekedar jengkel menerima pesan itu, kenapa baru disampaikan sekarang? Dan Arif hanya menjawabnya sambil kembali memposisikan dirinya untuk tidur.

“Justru karena itu amanat makanya kuberikan sekarang.”

“Maksudnya?”

“Nina minta, jangan diberikan sebelum kamu menanyakannya! Apa aku salah?”

Han terdiam, lalu meninggalkan kamar itu. Kembali lagi kekamarnya dengan sejuta tanya tentang isi surat yang masih digenggamnya dengan erat. ‘Han…mungkin surat ini tidak akan pernah kamu baca’ Sebuah awal kalimat yang mengundang tanya.

‘Aku tau Han…mungkin aku yang terlalu berharap banyak padamu, tapi aku rasa tidaklah saah bila aku ingin selalu dekat dan dekat denganmu, terima kasih atas semua yang kamu berikn, juga terimaksih pula untuk teman-teman. Han…terasa sangat indah bisa memelukmu, tersa sangat indah sekali Han. Aku tidak menganggapnya sebagai mimpi, itu nyata…nyata Han. Aku tau kamu menyimpan cintamu untuk orang lain, atau kamu memang benar bila mengatakan bahwa cinta adalah milik pribadi seseorang yang tidak akan bisa kida berikan atau kita dapatkan. Aku suka kata-kata itu Han! Menurutmu mereka yang berpacaran bukan saling memberikan cinta tapi yang mereka berikan adalah kasih sayang, iya kan? Aku juga tau kamu memimpikan sorang wanita, entah siapa itu tapi sepertinya dia sangat berarti buatmu. Aku tau itu sejak awal, sejak kita bertemu dan tidur bersama aku tau. Kamu gelisah bersamaku bukan karena takut, tapi kamu membayangkan wanita lain bukan aku, aku harap itu salah.

Han…aku memutuskan untuk cuti kuliah dulu, aku ingin membuang kenangan burukku, aku ingin belajar darimu, ingin mengnal dan mencari cinta dalam diriku. Semoga wanita yang kamu impikan kamu temukan, berikan semua kasih sayangmu buat dia, dia tidak akan mati Han…dia akan selalu hidup disimu, aku tau itu. Yakinlah…kamu benar. Berikan dia apa yang kamu punya. Semoga bahagia selalu…Nina.

Tanpa terasa Han telah menjadi cengeng dengan selembar kertas biru itu. “Nina…kapan kamu kembali?”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience