Ini adalah kali ketiga Putri menjalani kemoterapinya, kali ini kondisinya cukup lemah sesudah menjalani proses tersebut. Aku sama sekali ngga tega meninggalkannya. Karena kondisinya yang tiba-tiba memburuk, dokter menyarankan untuk dia tetap tinggal dirumah sakit. Aku harus meminta izin untuk libur kerja hari ini supaya aku bisa terus menjaganya sampai keadaannya membaik dan cukup stabil. Aku juga sepertinya harus mengambil libur untuk menemani pria itu. Tapi bagaimana caranya aku meminta izin padanya? Nama, no telepon juga kantornya saja aku ngga tau. Ya sudahlah, dia juga ngga akan rugi apa-apa kan kalo aku libur beberapa hari ini.
Kurapikan topi yang menutup kepala Putri yang kini sudah bersih dari helaian rambut. Dia masih tertidur setelah meminum obatnya. Makin hari tubuhnya makin kurus. Dia akhir-akhir ini jadi susah sekali makan. Apalagi sesudah menjalani proses kemo, dia pasti akan memutahkan habis isi perutnya. Apa lagi yang harus kulakukan Tuhan supaya bisa membuat adikku ini sembuh? Seandainya aku bisa menggantikan dia merasakan sakit ini, aku rela.
"Devi jagain Putri sebentar ya. Kakak mau pulang kerumah dulu, mau ambil baju ganti" aku langsung membawa Putri ke rumah sakit tadi pagi dan masih belum sempat membawa pakaian ganti untuk kami.
"Sekalian beliin roti ya Kak, siapa tau waktu bangun nanti Putri mau makan." kuambil tasku dan bergegas untuk pulang. Aku ngga mau lama-lama meninggalkan Putri.
Dari halte aku masih harus berjalan sekitar sepuluh menit untuk sampai di rumah kontrakan sederhana kami. Jalanan yang kulewati sempit dan becek juga kawasan sekitarnya cukup kumuh untuk ukuran kota sebesar ini. Hanya kontrakan ini yang mampu aku bayar dengan jumlah gajiku selama ini. Sebenarnya aku cukup risih tiap melewati jalanan sekitar rumah karena para tetangga yang kurang bersahabat denganku. Entah itu hanya perasaanku saja atau mereka memang bersikap sinis padaku. Bukannya memuji diri sendiri, aku memang sering dilirik oleh para lelaki dilingkungan ini termasuk para suami ibu-ibu yang tiap hari berkumpul di tukang sayur yang mangkal ngga jauh dari rumah kontrakanku. Dilingkungan ini rata-rata para wanitanya sudah berkeluarga karena itu aku termasuk bujangan incaran disini. Aku berusaha untuk ngga menghiraukan mereka, karena aku terlalu sibuk untuk hal itu.
"Makanya Bu, kita harus hati-hati jaga anak gadis jaman sekarang. Salah-salah nanti jadi wanita ngga bener," kuhentikan langkahku mendengar suara sumbang itu. Wajar lah kalo mereka ngomong begitu. Obrolan biasa antar ibu-ibu.
"Iya juga sih. Pergaulan mereka harus dijaga, ngga boleh bergaul sama sembarang orang. Kita harus tau latar belakang keluarganya juga. Soalnya penampilan bisa menipu." kulemparkan senyumku pada mereka sambil melanjutkan langkahku.
"Yang keliatannya baik aja ternyata busuk juga. Kita harus hati-hati banget Bu, di lingkungan kita ini juga katanya ada wanita begitu." aku kenal suara ini. Dia tetangga sebelahku yang tiap pagi suka memutar musik dangdut dengan nyaring dan cukup mengganggu.
"Masa sih?"
"Ngga percaya? coba aja pagi-pagi periksa di halte, pasti kalian percaya. Dia sering diturunin disana sama Om-om bermobil mewah." walau mencoba berpositif thinking, ini jelas-jelas tentang diriku. Aku memang pernah sekali bertemu Bu Iin waktu itu. Bagaimana mungkin dia bisa mengambil kesimpulan secepat itu sementara aku cuma sekali bertemu dengannya saat turun dari mobil pria itu. Dan dia ngga mungkin bisa melihat siapa yang bersamaku karena kaca mobil yang kutumpangi gelap, dan jelas-jelas pria itu bukan Om-Om seperti yang dia bilang. Aku memang wanita bayaran ataupun panggilan seperti yang dia bilang, tapi kurang pantas rasanya aku diperlakukan seperti ini olehnya. Aku ngga pernah menyulitkan siapapun dan ngga pernah mengusik kehidupan pribadi mereka. Dan sekarang, aku harus menerima perlakuan ngga adil ini? Apa salahku pada mereka?
"Berarti bukan hanya anak gadis dong yang dijaga? laki-laki kita juga harus dijaga ya. Supaya ngga di goda sama wajah cantiknya itu?" hanya itu yang sempat kudengar saat dengan cepat aku masuk rumah. Telingaku rasanya panas. Aku merasa marah, sedih dan sakit hati pada mereka. Seburuk inikah aku di mata mereka? Nafasku terasa sesak karena menahan semua perasaan ini. Selalu begini, aku ngga pernah bisa meluapkan perasaanku. Aku hanya bisa diam menahan semuanya. Inilah aku, terus menjadikan diam sebagai pelindungku. Dengan diam, ngga ada yang bisa menyakitiku lebih jauh karena mereka pasti akan berhenti saat mereka sudah bosan. Mereka ngga akan mendapatkan apa yang mereka inginkan, yaitu perlawanan dariku. Aku harus terus bertahan dengan semua ini, aku hanya harus fokus pada kesembuhan Putri dan menahan apapun yang membuatku merasa tersakiti.
Kuganti rok yang sudah kukenakan dari kemarin malam dengan rok selutut dan kaos biruku dengan kemeja lengan pendek. Kuambil beberapa pakaian ganti untuk Putri dan diriku sendiri serta beberapa perlengkapan untuk menginap di rumah sakitnya. Kuhampiri lemari berpintu kaca dan mengambil kotak kayu hitam tempat aku menyimpan uang dari pria itu. Masih ada cukup banyak jumlah uang disana yang bisa kupakai untuk jaga-jaga siapa tau perawatan Putri membutuhkan biaya lebih diluar dari uang yang masih ada direkeningku. Hari ini pria itu memberikan dua kali lipat dari yang biasa kuterima darinya. Dengan getir kupandangi pantulan wajahku di cermin dan memegang bibirku. Sejumlah inikah harga bibir dan tubuhku?
Para ibu-ibu itu mungkin masih ada di depan saat aku keluar nanti. Terserah lah mereka mau ngomong apa, yang penting aku bisa secepatnya sampai di rumah sakit. Dengan mantap kubuka pintu depan dan benar mereka masih disana. Aku masih bisa melihat tatapan sinis dari mereka saat aku berjalan melewati mereka. Masih juga kudengar mereka mengeluarkan bisik-bisik untuk membicarakanku.
Share this novel