Semua berjalan baik. Kedua pekerjaanku berjalan dengan baik dan kondisi Putri juga makin hari makin membaik. Tubuhnya terus menunjukkan perkembangan yang positif. Dia sudah kembali ceria seperti Putri yang dulu. Dalam jangka waktu beberapa bulan saja berat badannya turun drastis, membuatnya nampak lebih mungil. Rambut-rambut halus sudah mulai terlihat dikulit kepalanya yag selalu dia tutupi dengan topi rajutan buatannya. Hari ini kami mau mengajaknya jalan-jalan ke taman kota. Pagi-pagi begini udara masih segar dan taman kota lebih banyak pengunjung karena dipagi minggu seperti ini banyak yang jogging sambil mengelilingi taman.
Aku duduk dibangku taman sambil memperhatikan kedua adikku yang sedang asyik berfoto dengan kamera hape Devi. Beberapa kali aku tertawa melihat pose-pose lucu Putri yang sedang bergaya didepan kamera. Wajah pucatnya nampak lebih segar dan berseri. Aku sangat bersyukur bisa melihatnya seperti ini.
"Kak Nessa!!! Ayo ikutan kita dong," aku paling ngga suka difoto sebenarnya. Aku merasa melihat wajah orang lain disetiap foto diriku yang kulihat
"Sebentar, Putri punya sesuatu buat Kak Nessa." Putri mengambil sebuah gumpalan dari dalam tasnya yang sedang kupangku. Ternyata sebuah topi rajut persis seperti miliknya, hanya punyaku berwarna merah sedangkan dia warna pink.
"Kok aku ngga dibikinin sih?" protes Devi waktu Putri memakaikannya untukku.
"Kak Devi ngga cocok pake topi." balas Putri mengejek.
"Dasar kamu ini. Ayo kita foto-foto," Devi menarik tanganku dan Putri agak ketengah taman. Beberapa kali kami berfoto dengan berbagai gaya sampai ngga sedikit menarik perhatian orang yang lewat.
"Kok senyum kamu jelek sih Put?" Putri langsung menggerutu mendengar ejekan Devi. Kami kembali ke bangku taman untuk melihat hasil jepretan barusan.
"Kak Devi tuh, kok kalo difoto posenya gitu-gitu mulu?" Putri memperagakan gaya berfoto khas Devi dengan dua jari terancung dan lidah yang sedikit dikeluarkan dari bibirnya membuatku terpingkal melihat kedua adikku yang walau terus beradu mulut tapi mereka sangat saling menyayangi.
"Sudah-sudah. Kak Nessa bosen dengar kalian ledek-ledekan mulu. Kita makan cemilan yuk," kukeluarkan bekal yang kubawa dari rumah. Aku sengaja menyiapkan risoles dan buah potong untuk mereka. Devi memang paling bersemangat kalo diajak makan, makanya badannya paling gembul diantara aku dan Putri. Adik kecilku justru keliatan ngga bersemangat makan. Dia hanya mengambil sepotong melon dan memakannya dengan pelan.
"Kalo Putri sembuh, Kak Nessa berhenti kan kerja yang satunya itu?" pertanyaan Putri menghentikanku dan membuatku terpaku dengan jawaban apa yang seharusnya kuberikan.
"Tentu lah. Makanya kamu harus banyak makan biar cepat sembuh. Biar Kak Nessa bisa sama-sama kita lagi." apa aku bisa mengakhirinya seandainya Putri sembuh dan pria itu sama sekali belum berniat mengambil miliknya dariku? Aku masih punya hutang yang besar padanya. Lagipula apa aku akan sanggup pergi darinya sementara aku sudah merasa nyaman dengan keberadaanku bersamanya?
"Perut Putri mual tiap ada makanan masuk perut Putri, Kak." rengek Putri menolak buah yang disodorkan Devi. Kuraih tubuhnya dalam pelukanku dan membenamkan mukaku disana.
"Maafin Kak Nessa ya, karena ngga bisa terus nemenin Putri. Kalo Putri sembuh, Kakak janji bakal berhenti kerja." entah keyakinan darimana yang membuat kata-kata itu keluar dari mulutku. Aku harus lebih mementingkan adik-adikku daripada diriku sendiri. Kalopun aku harus mengingkari kesepakatan yang kulakukan bersama pria itu, aku harus siap.
***
"Kapan kamu bisa nerima ajakanku Nes?" Arga berhasil mendapatkan aku yang sendirian didalam ruang istirahat. Aku benar-benar merasa tubuhku lelah hari ini. Mungkin aku demam karena dari tadi siang badan dan mataku panas juga kepalaku terasa pusing.
"Aku ngga mau bikin omongan yang engga-engga." aku terus berusaha menghindar darinya.
"Cuma sekedar ngobrol, jalan. Kenapa semua itu harus kamu takuti sih?" protesnya. Ada amarah yang bisa kulihat dari matanya.
"Kamu sudah punya tunangan Ga. Apa kata mereka kalo liat aku jalan sama kamu?"
"Kamu takut, bakal dicap wanita murahan karena mengganggu tunangan orang?" aku mengangguk.
"Hubungan kita sudah selesai kan Ga sejak kamu memutuskan pergi? Sekarang hubungan kita ngga lebih dari bos dan karyawannya." kutarik tanganku dari cengkraman Arga.
"Tapi aku masih pingin kamu tetap jadi milikku." apa yang kamu pikirin Ga? 11 tahun bukan waktu yang sebentar. Semudah ini kamu bilang masih ingin aku jadi milik kamu?
"Jangan pernah mengucapkan kata-kata itu." desisku sinis.
"Apa kamu menolakku sekarang?" sekali lagi kuanggukkan kepalaku.
"Kamu memang angkuh Nes. Waktu aku pergi 11 tahun yang lalu, sama sekali kamu ngga memohonku utuk tetap tinggal. Bahkan sekedar memintaku berbalik pun kamu tidak." kali ini aku benar-benar melihat kemarahan dalam mata juga nada suaranya.
"Lihat diri kamu, kamu siapa?" kenapa dia? Apa kamu membawa latar belakangku sekarang? Apa kamu mau merendahkanku setelah apa yang kamu dengar dari mulutku beberapa saat lalu?
"Aku miskin dan ngga punya apa-apa. Itu kan yang mau kamu ucapin?" dadaku serasa berdetak sepuluh kali lipat sekarang akibat amarah yang kutahan. Ingin rasanya aku mendaratkan telapak tanganku dipipinya. Dia bukan Arga yang kukenal sekarang. Dulu dia sama sekali ngga pernah memandangku dengan perbedaan diantara kami.
"Kamu pintar ngomong sekarang ya, coba kita lihat, apa dalam hal lain kamu juga sudah lebih pintar?" tanpa sempat menghindar, dia mendapatkanku. Tangannya kanannya mengunci kedua tanganku dibelakang tubuhku dan tangan kirinya menarik ikatan rambutku hingga wajahku menengadah tepat didepan wajahnya. Samar-samar, aku bisa mencium bau alkohol dari mulutnya. Dia mabuk? Disiang bolong begini?
"Berhenti Arga, lepasin!" aku berusaha meronta supaya cengkramannya lepas dari tubuhku.
"Aku selalu menunggu untuk kesempatan ini." dia membungkam bibirku dengan bibirnya. Hanya sesaat sebelum pintu terbuka dan mereka disana. Carisa, ibunya Arga juga beberapa karyawan lain yang memandang kami dengan kaget.
"Apa yang kalian lakukan?!!" teriak Carisa histeris. Arga langsung melepaskanku dan mengejar Carisa yang sudah lebih dahulu berlari meninggalkan kami dengan air matanya.
"Saya bisa jelaskan." cuma itu yang sempat kuucapkan sebelum sebuah tamparan mengenai pipiku.
Share this novel